Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
JIKA ditanya perihal cerita percintaan sejoli, dengan jawaban apa Anda akan bereaksi? Pasti (paling tidak) terngiang Romeo dan Juliet meski dijawab dalam hati. Romeo dan Juliet karya Shakespeare menceritakan sepasang kekasih karena ‘terblokade’ oleh kedua keluarga mereka yang bermusuhan. Namun, Eduard Douwes Dekker (Multatuli) memiliki sudut pandang lain dan memberi ‘sayatan’ lebih mendalam perihal kehidupan sepasang insan. Saidjah dan Adinda.
Terasa asingkah di telinga apabila diucapkan? Sekalipun dikenal, apa karena (telah) menjadi nama duta pariwisata Kabupaten Lebak, Banten, atau nama perpustakaan? Mereka terdekap dalam balutan novel Max Havelaar, yang menyingkap realitas sosial lewat perspektif romantisme, hingga mereka ‘diakhiri’ betapa kejam dan keji masa kolonialisme.
“Cerita inti dari novel Max Havelaar itu, ya ada di kisah Saidjah Adinda. Sebenarnya cerita ini menggambarkan kesengsaraan yang dirasakan oleh rakyat di tanah jajahan itu (Kabupaten Lebak). Multatuli ingin menyampaikan bahwa praktik yang dilakukan oleh penguasa kolonial di tanah jajahannya, di Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum merdeka) ini, sangat menyengsarakan, dan ini real terjadi di masyarakat, dan hebatnya Multatuli mengangkatnya dalam sebuah roman,” ujar Ubai, sapaan akrab Ubaidillah Muchtar, Kepala Museum Multatuli, kepada Media Indonesia pada Sabtu (13/4).
Saat itu, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830 menerapkan kebijakan yang sangat menyakiti dan menyengsarakan rakyat Indonesia, yakni cultuurstelsel, atau sistem tanam paksa. Penjajahan itu pun sangat menindas rakyat karena ternyata Adipati Lebak dan Demang Parangkujang (sebut saja elite-elite di Kabupaten Lebak) justru menjadi antek Belanda, membantu Belanda memeras rakyatnya sendiri.
“Multatuli memberikan ilustrasi yang sangat tepat, (bahwa) kolonialisme itu bekerja tidak hanya di tataran elite, tetapi juga sampai ke kalangan pribumi. Salah satunya yang menimpa keluarga ayahnya Saidjah, yang kehilangan kerbau sebagai alat produksi (untuk kebutuhan menenggala di sawah dan sebagainya), dan juga akhirnya berefek pada kisah percintaan anaknya, yaitu Saidjah dengan Adinda, yang sampai terputus oleh praktik kolonial,” ungkap Ubai.
Ketika itu, rakyat harus membayar pajak yang sangat tinggi. Jika tidak mampu membayar, mereka (para elite di Lebak, juga sesama penduduk pribumi) akan merampas hasil bumi, kerbau, dan hewan ternak lainnya milik rakyat mereka sendiri. Praktik tersebut pun memiskinkan rakyat Banten.
Saidjah, seorang lelaki Badur, memiliki kerbau kesayangan. Kerbau itu dipelihara sejak kecil. Ketika ayahnya sudah tidak sanggup lagi membayar pajak, kerbau itu pun akhirnya melayang, pindah tangan secara paksa ke antek Belanda sebagai ganti pembayar pajak.
Padahal, kerbau itu menjadi andalan untuk menggarap sawah keluarga Saidjah. Mereka pun jatuh miskin. Ibunda Saidjah sudah tidak mampu bertahan terhadap keadaan keluarga dan di akhir riwayatnya, ia berpulang ke pangkuan Sang Mahakuasa. Ayah Saidjah yang terus mengalami tekanan karena keadaan (juga), memutuskan untuk pergi ke Bogor, dan ia malah ‘diamankan’ pasukan Belanda.
Saidjah sedih dengan keadaan pahit tersebut. Namun, ia tidak mau terlalu larut dalam kubangan kepedihan. Di sela getirnya, ia teringat dengan Adinda, teman main sejak kecil dan tengah menjalin cinta dengannya. Mereka sebenarnya telah dijodohkan orangtua masing-masing sejak kecil. Sejak kejadian yang menimpa orangtuanya, Saidjah bertekad dan bermaksud mengadu nasib ke Batavia (Jakarta) untuk mencari uang agar dapat membeli kerbau lagi dan tentunya supaya memiliki pelabur untuk meminang Adinda.
Meski keberatan, Adinda terpaksa merelakan kepergian Saidjah demi masa depan mereka. Di bawah pohon ketapang, tepatnya di hutan jati, mereka mengikat janji. Setelah itu, Saidjah menyobek secarik dari ikat kepalanya yang biru, terlihat lusuh, dan diberikan kepada Adinda agar disimpan sebagai petaruh.
Sementara itu, Adinda memberikan bunga melati untuk Saidjah, tepat di bawah pohon ketapang, sebelum akhirnya mereka berpisah dan tak pernah bertemu kembali dalam waktu lama. Bunga melati dan sobekan ikat kepala biru menjadi saksi bisu perjuangan dan perjalanan cinta mereka demi masa depan yang tak melulu soal pilu.
Sayangnya, sebelum pertemuan mereka kembali, Adinda harus mengikuti orangtuanya pergi ke Lampung. Mereka tidak ingin lagi diperas dan justru bergerilya melawan Belanda di sana. Adinda pun membantu ayahnya. Lebur hati Saidjah tidak mendapati kekasihnya ketika ia (sudah) pulang ke Lebak. Ia hanya menemukan rumah yang kosong dan hampir runtuh. Bibi Adinda menjelaskan bahwa Adinda mengungsi ke Lampung dan menyarankan Saidjah untuk segera menyusul.
Saidjah pun menyusul dan mencari Adinda. Ketika bertemu, Adinda sudah meninggal bersama keluarganya yang dibunuh tentara kompeni. Saidjah yang berduka dan marah, mengamuk melawan tentara tersebut, tetapi dia juga ‘gugur’ setelah dadanya tertusuk bayonet.
Dalam novel Max Havelaar disisipkan pula sejumlah puisi tentang Saidjah dan Adinda. Salah satu petikannya sebagai berikut. ”Jika matahari kesasar jalan. Dan bulan lupa mana Timur mana Barat. Jika waktu itu belum juga datang Adinda. Maka turunlah malaikat dengan sayap kemilau. Ke atas bumi mencari apa yang tinggal. Maka mayatku terkapar di sini di bawah ketapang. Jiwaku alangkah berdukacita… Adinda!”
Minat baca rendah
Berdasarkan riset World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan peringkat ke-60 dari 61 negara terkait minat baca.
Sungguh miris. Ketika negara-negara di Eropa, misalnya Belgia dan Belanda, sudah mewajibkan membaca novel Max Havelaar, dan sebagai contoh kecil lainnya bahwa pelajar di Malaysia wajib membaca Bumi Manusia atau tetraloginya Pramoedya Ananta Toer, negara kita masih berkutat dan mandek dengan tingkat minat baca yang rendah. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved