Deretan Aktivis Muda Lingkungan, dari Indonesia pun Ada
Abdillah Marzuqi
24/4/2019 16:05
Searah jarum jam: Kakak-beradil Isabel dan Melati Wijsen (AFP); Jamie Margolin (Instagram Jamie Margolin); Greta Thunberg (AFP)(AFP/Instagram Jamie Margolin/AFP)
NAMA Greta Thunberg, belakangan ini semakin dikenal sebagai dunia. Sosoknya yang baru berusia 16 tahun mengundang kekaguman karena kegigihan dan keberaniannya berjuang untuk lingkungan. Demi lingkungan pula, remaja Swedia ini berani membuat kampanye dan mengkritik parlemen negaranya dan juga berbicara di parlemen negara lain, termasuk parlemen Inggris.
Gadis yang bercirikhas rambut di kepang dua itu mengawali aksi untuk lingkungan dengan membuat aksi mogok sekolah bernama Skolstrejk for Klimatet pada 2018. Aksi itu dilakukan setiap jumat di depan gedung legislasi. Aksi itu untuk mendorong para anggota legislatif berbuat lebih nyata untuk mengatasi pemanasan global. Aksi yang awalnya dicemooh itu justru mendapat simpati banyak orang dan menyebar ke negara-negara lain.
Thunberg kemudian diundang berbicara di COP24 dan bahkan dinominasikan oleh tiga orang anggota parlemen Norwegia sebagai kandidat penerima Piala Nobel. Terkait momen Hari Bumi 22 April, Thunberg diundang berbicara di depan anggota Parlemen Inggris.
Nyata, bukan hanya Thunberg yang muncul sebagai aktivis muda lingkungan. Dari berbagai negara, termasuk Indonesia, anak-anak muda juga membuat gerakan untuk menyelamatkan kelestarian alam, berikut diantaranya:
- Litia Baleilevuka, 21, Fiji
Litia harus berurusan dengan kehancuran yang disebabkan oleh Topan Winston pada 2016. Saat itu usianya baru 16 tahun. Topan kategori 5 itu memporak-porandakan negaranya. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal bahkan nyawa. Kehancuran itu menyadarkan Litia sadar bahwa perubahan iklim lebih dari sekadar kenaikan permukaan laut.
Sebagai aktivis representasi Pulau Pasifik, Litia memastikan suaranya didengar luas. Pada konferensi perubahan iklim COP24 di Polandia, Litia berbagi kisah tentang Cyclone Winston yang menghancurkan desa ibunya. Dia juga aktif mengedukasi dan mengimplementasi mitigasi perubahan iklim di negara asalnya.
Pesan Litia sederhana, akhiri penggunaan bahan bakar fosil sekarang juga. Perusahaan penghasil polusi dan negara produsen emisi telah menyebabkan kerusakan parah terhadap Fiji. Negaranya mungkin kecil, tetapi tekad Litia besar.
- Marinel Ubaldo, 21, Filipina
Michael Nagle Marinel Ubaldo berdiri di depan Wall Street Bull. Ia mewakili komunitas yang berdiri di depan perusahaan minyak, gas, dan semen terbesar di dunia yang paling bertanggung jawab atas krisis iklim.
Marinel melawan beberapa perusahaan pencemar karbon terbesar dan terkaya di dunia. Usai selamat dari Topan Super Haiyan yang melanda Filipina pada 2013, Marinel menjadi saksi dalam investigasi hak asasi manusia pertama di dunia mengenai tanggung jawab perusahaan atas perubahan iklim.
Badai menghanyutkan rumahnya dan semua isinya, tetapi ketahanan dan tekad Marinel untuk hidup tetap ada. Kerentanannya berubah menjadi aksi perlawanan terhadap perusahaan bahan bakar fosil yang berkontribusi terhadap krisis iklim. Dia ingin para pencemar itu mendengarkan suaranya. Marinel menceritakan kisah hidupnya di New York Climate Week tahun ini.
"Saya di sini di depan Anda, bukan hanya sebagai penyampai statistik iklim seperti yang Anda lihat di berita. Saya di sini sebagai manusia. Berusaha mengingatkan Anda bahwa kita perlu menghargai lagi kehidupan. Kisah saya hanya satu dari banyak. Saya berbicara atas nama komunitas yang rentan dan terpinggirkan. Semoga suara kita didengar," ucapnya.
- Jamie Margolin, 16, Amerika Serikat
Jamie sempat frustrasi karena suaranya tentang perubahan iklim diabaikan begitu saja. Jamie pun menginisiasi gerakan Zero Hour. Jamie dan beberapa temannya mengirim pesan kepada pejabat terpilih bahwa jika mereka tidak mengambil tindakan iklim, generasi muda yang akan menderita.
Saat ini, Zero Hour aktif mobilisasi Gen Z. Youth Climate March perdana yang digelar Juli tahu lalu diadakan di national mall di Washington, D.C. Saat itu, ribuan anak muda keluar untuk menyerukan perlindungan iklim di tengah guyuran hujan.
- Melati dan Isabel Wijsen, Bali
Kakak beradik asal Bali ini membuat gerakan bernama Bye Bye Plastic Bags. Gerakan itu berawal pada 2013 dengan membuat petisi untuk mendesak pemerintah Bali melarang penggunaan kantong plastik.
Meski berhasil mengumpulkan 100ribu tandatangan dari seluruh dunia, petisi itu masih susah mendapat perhatian pemerintah. Keduanya pun sempat melakukan aksi mogok makan. Gerakan ini mungkin juga bisa dilihat sebagai salah satu yang mendorong akhirnya Gubernur Made Mangku Pastika mengeluarkan aturan pelarangan penggunaan kantong plastik yang diterapkan mulai 2018.
Melati dan Isabel menjadi salah satu penerima Bambi Awards di Jerman pada 2017. Hingga kini, mereka pun terus konsisten mengkampanyekan penghentian penggunaan kantong plastik di berbagai daerah di Indonesia. (M-1)