Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Muda Berpolitik, Kenapa Tidak

Galih Agus Saputra
31/3/2019 00:40
Muda Berpolitik, Kenapa Tidak
(Kiri) Pegiat Antikorupsi ICW, Donal Fariz, Caleg PKS, Pipin Sopian, Caleg PSI, Rian Ernest, Caleg Golkar, Puteri Komatudin, dan Caleg Nasde(MI/Galih)

APRIL ini menjadi bulan politik. Kampanye terbuka pun sudah dimulai. Gegap gempita politik pun kian ramai dengan kehadir an calon legislatif (caleg) muda.

Berdasarkan kajian anatomi Daftar Caleg Sementara (DCS) Pemilu Legislatif 2019, dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang dirilis September, setidaknya 21% caleg berusia milenial (21-35 tahun) dan 68% caleg usia produktif (36-59 tahun).

Parpol yang paling banyak mengusung caleg milenial ialah PSI sebanyak 240 orang, 98 caleg dari Gerindra, dan 142 caleg di PPP. Sisanya caleg berusia produktif sebanyak 392 caleg di PKS, disusul PAN dengan 383 caleg, dan Golkar 367 caleg.

Namun yang menjadi pertanyaan, seperti apa kemampuan mereka? Apa alasan mereka terjun ke dunia politik? Visi, misi, dan program kerja mereka? Ibarat pelesetan di media sosial saat ini, “politik itu berat Milea, Dilan aja gak sanggup”. 

Guna mengulik kesiapan mereka, Kamis (21/3), Sahabat Indonesia Corruption Watch (ICW), mengundang caleg-caleg muda dalam dialog Muda-Mudi Berebut Kursi di kantor ICW, Jakarta Selatan. Caleg yang diundang Pipin Sopian dari PKS, Puteri Komarudin (Golkar), Rian Ernest (PSI), dan Silkania Swarizona (NasDem), dipandu pegiat Antikorupsi ICW, Donal Fariz. 

Mereka sudah turun ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing dan mendengarkan suara konstituen. Jadi, sebenarnya apa saja yang sudah mereka dengarkan? Pipin yang berupaya merebut perhatian pemilih di dapil Jawa Barat VIII, khusus daerah Kabupaten Purwakarta, Karawang, dan Bekasi ini ternyata pernah menjadi anggota staf dewan di komisi I, II, dan III. Ia menilai ada tiga tahapan orang memilih caleg. Pretama, mengenal caleg terlebih dahulu, menyukai, dan memilih. “Setelah saling mengenal, memahami, kemudian barulah kita saling menolong,” kata Pipin.

Berupaya mengenali calon pemilihnya pun dilakukan Puteri. Meski ayahnya merupakan mantan ketua DPR, Ade Komarudin, perempuan satu ini berbeda pandangan dengan sosok sang ayah. Melalui sosialisasi ke lapangan, Puteri memahami masalah rentenir yang memberatkan warga selama ini.

Namun, bukan berarti saat sosialisasi caleg harus menjadi raja. Menurut Rian dari Dapil I, Jakarta Timur, sentuhan lawak mampu mendekatkan dirinya dengan masyarakat. “Karena kalau mau menjadi pejabat lagaknya sudah seperti raja, pemilih nantinya juga antipati. Tapi kalau lihatnya apa adanya, suka ngelawak itu malah jadi seneng. Bisa dari hati ke hati,” katanya.

Sementara itu, Silka yang kini menjadi Caleg Dapil II, Kabupaten Sidoarjo, mengungkapkan memutuskan terjun ke politik karena latar belakang pendidikannya. Silka yang lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya, pada 2017, itu merasa memiliki bekal ilmu yang cukup untuk menjadi caleg.

Nyatanya kondisi lapangan berbeda jauh dengan kuliah. Pengalamannya membuka matanya untuk mengembangkan daerah dan masyarakat di dapilnya. Perempuan yang mengaku mendapatkan pengalaman unik saat kampanye itu melihat banyak UMKM di Sidoarjo yang dapat dikembangkan menjadi produk unggulan. 

“Saya ingin tingkatkan lapangan pekerjaan karena di Sidoarjo banyak sekali potensi yang dapat dikembangkan, misalnya, industri atau perikanan karena banyak sekali tambak yang potensinya luar biasa untuk masyarakat, terutama
ibu-ibu,” tutur Silka, yang saat ini juga tengah menempuh studi Pascasarjana Kajian Gender di Universitas Indonesia.


Modal

Bicara kampanye, tidak lepas dari biaya. Terkadang biaya itu yang menjerat para legislatif dalam korupsi. Sebenarnya, seberapa banyak biaya yang dikeluarkan mereka?

Silka mengaku ia mengeluarkan Rp40 juta-Rp50 juta untuk kampanye, sedangkan Puteri menghabiskan dana sekitar Rp500 juta-Rp600 juta. “Salah satunya paling banyak keluar itu di pertemuan terbatas. Itu sebenarnya bisa untuk S-2 lagi ya,” kata Puteri sambil tertawa.

Sementara itu, berdasarkan laporannya ke KPU per Januari, Rian sudah mengeluarkan dana Rp300 juta. Tidak jauh beda, Pipin mengaku sudah mengeluarkan dana sekitar Rp100 juta-Rp200 juta.

“Mayoritas sumbangan. Memang relatif lebih mudah bagi kami karena memiliki sistem tandem dari DPR-RI, DPRD kabupaten, dan provinsi. Semua digabung jadi satu,” kata Pipin.

Sementara itu, soal strategi, Pipin mengaku sudah menyiapkan cara mendapatkan mayoritas suara dari para pemilih pemula. Menurutnya, saat ini mereka juga cenderung lebih pro kepada penantang ketimbang petahana, walau belum begitu yakin dengan sikapnya.

Senada dengan Pipin, Rian mengatakan dengan memberikan fakta dan rancangan konkret ketika terjun ke lapangan membuatnya yakin dipilih para pemilih rasional.  “Yang pasti-pasti dulu saja,” jelas Rian.

Sementara itu, Puteri yang berdiskusi dengan masyarakat berupaya mengenalkan tiga fungsi DPR, yaitu sebagai legislasi, pengawas, dan anggaran hingga dengar pendapat masalah para pemilih dan upaya pencarian solusinya.

Sikap pemilih Indonesia yang lebih terbuka dan cerdas, kata Silka, membuat konstituen lebih jeli memilih. Mereka, kata Silka, tidak hanya memandang partai, tapi juga sosoknya. Konstituen harus melihat sejarah, visimisi, dan gagasan sosoknya.

“Pendekatan personal seperti blusukan ialah cara yang paling baik bagi saya. Saya dapat meyakinkan masyarakat bahwa NasDem layak, partai koalisi pemerintah, antimahar, dan punya representasi yang layak untuk dipilih,” tutur Silka. Jadi, sudah saatnya anak muda yang berkontribusi. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya