Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
BAHASA Indonesia merupakan bahasa yang kita tuturkan setiap saat dan kita pelajari di setiap jenjang pendidikan. Namun, nyatanya hal itu tidak menjamin diri kita bersih dari kesalahan. Masih banyak kata yang kerap kita tuturkan sehari-hari tanpa disadari penggunaannya salah. Sebagai contoh, kata yang dapat saya kemukakan ialah seronok.
Bisa kita amati, ketika melihat biduan dangdut bernyanyi mengenakan pakaian terlalu terbuka dengan goyangan yang hot di panggung, apa yang terlintas di benak kita? Menurut saya, tidak sedikit yang berpikiran negatif dan tidak jarang pula yang berkomentar bahwa pakaian dan goyangan biduan tersebut amat seronok.
Rupanya pandangan tersebut senada dengan judul berita berikut: ‘Dinilai Seronok, Goyangan Dewi Perssik Timbulkan Pro dan Kontra’ (Tribunjateng.com, 30/4), ‘Dianggap Seronok, Hiburan Dangdut di Gebyar Bumiayu Fair Diprotes’ (Kumparan, 5/9), dan ‘Duh Malunya, Terkecoh Logo, Ibu ini Pakaikan Kaus Bergambar Seronok ke Anaknya’ (Okezone, 13/4).
Kata seronok kerap dikonotasikan negatif dan diartikan sebagai tidak sopan, porno, atau mengundang nafsu berahi. Padahal, jika diselisik, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) seronok berarti ‘menyenangkan hati; sedap dilihat (didengar dan sebagainya)’. Sungguh bertolak belakang makna aslinya dengan pemahaman yang sudah lazim di khalayak umum bukan?
Pemaknaan suatu kata yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia sungguh berbeda dengan makna yang sebenarnya di kamus kita. Mengapa demikian? Hal itu karena masyarakat kita cenderung memaknai sebuah kata dari segi pengucapannya (ragam lisan).
Seperti halnya kata acuh. Kita sering memaknai kata acuh ialah tidak peduli. Padahal, artinya berlawanan dengan anggapan itu (peduli). Hal itu disebabkan kita sering mendengar istilah ‘acuh tak acuh’ sehingga akhirnya kata ‘acuh’ dimaknai tidak peduli.
Selain itu, ada pula hal yang menarik lainnya, yakni perbedaan pemaknaan antara negara kita dan ‘negeri jiran’. Ternyata mereka memahami kata seronok dengan konotasi positif, sesuai dengan arti yang tertera di KBBI. Namun, tidak dengan kata pejantan. Mereka memaknai penjantan dengan konotasi negatif, yaitu gigolo. Sementara itu, kita memaknainya dengan konotasi posotif, yaitu lelaki sejati, seperti judul lagu Sheila on 7, Pejantan Tangguh.
Rupa-rupanya, kesalahkaprahan ini tidak hanya terjadi pada kata seronok, tetapi juga kata wacana.
Kesalahan kata wacana yang kian populer dituturkan kalangan remaja kerap digambarkan untuk sebuah rencana yang gagal atau omong kosong. Lucunya, dalam KBBI kata wacana yang berkelas kata benda itu berarti komunikasi verbal; percakapan (biasanya berupa khotbah, pidato, atau diskusi), tentu tidak ada hubungannya sama sekali dengan rencana gagal terjadi atau omong kosong.
Salah kaprah yang terjadi di khalayak umum seperti ini tampaknya sudah menjadi hal lumrah. Mereka menggunakannya berulang kali, tanpa ada yang mengoreksi atau mengingatkan sehingga yang lain pun akan menganggapnya benar dan biasa saja.
Kebiasaan memang sulit untuk diubah, tetapi mari kita coba untuk meminimalkan salah kaprah ini.
Karena itu, berusaha untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan tepat dan benar sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Jangan sampai nantinya keterampilan berbahasa Indonesia kita jauh lebih buruk ketimbang orang asing yang terus memperdalam budaya dan bahasa Indonesia. Sungguh memalukan bukan nantinya?
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved