Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Lahir pada Musimnya

M-4
06/10/2018 03:40
Lahir pada Musimnya
(MI/Caksono)

ADA yang tak akan berlalu dari pergantian tiap musim, yakni cerita tentangnya. Milto Seran, penulis buku Musim-Musim Berlalu, secara implisit menggunakan 'musim' tidak hanya dalam pengertian yang sebenarnya, musim juga ia pakai sebagai metafora untuk mengungkapkan perubahan yang konstan, sebuah repetisi yang selalu mempunyai cela untuk bisa ditebak ke mana arah perubahan itu.

Sebagai seorang penulis, Milto menceburkan diri dalam pengalaman itu dan dengan santun ia menuntun pembaca untuk naik pada tiap anak tangga pengalaman bersamanya, secara khusus pengalaman saat ia berada di Rusia.

Pengalaman, dalam bahasa Inggris, kita kenal kata experience. Kata experience itu memiliki akar kata yang sama dengan kata experiment, expert, dan perilous. (Yi-Fu Yuan, 2011). Ketiga akar kata ini memberi bobot pada experince bahwa dalam setiap pengalaman ada eksperimen, individu harus aktif untuk menerobos tiap hal yang ia anggap tidak familier, sulit dipahami, hal-hal yang tidak tentu dan mengakibatkan ketidaknyaman. Ia juga harus tetap awas untuk menginterpretasikan situasi, sambil belajar memahami meaning di balik tiap tindakan simbolik. (Turner, 2012). Ini tidak mudah sebab ada bahaya (perilous), ketika proses trial and error justru mendapat reaksi yang tak bisa ia bendung.

Sejak awal saat tiba di Rusia, Milto Seran, anak Timor yang jauh dari keramaian, sudah mengganjal tiap tindakannya dengan sikap rendah hati. "Dengan susah payah saya menghafal kata-kata Rusia dan huruf-hurufnya yang ruwet. Dengan kesulitan yang sama, saya telah belajar melewati dan mencintai musim dingin pertama dalam seluruh hidup saya" (hal 23). Di sisi lain, Milto Seran pun enggan untuk menolak kado pertama bagi orang asing di negeri orang. "Kesunyian begitu saja mengalir turun dari candi-candi gereja" (hal 23). Untunglah, kemudian ada Germain, sahabat dari Kongo yang menemaninya, sebelum kehadiran sahabat-sahabat lain.

Sesudah melewati anak tangga pertama yang serbasulit dan mencemaskan, sebagaimana perjalanan Milto dan Germain dari Tambov ke St Petersburg, Musim-Musim Berlalu kemudian menyajikan kekuatan musik yang mengalir dari dalam gereja, satu irisan yang nikmat untuk dikaji entah dari perspektif negosiasi antara kultur dalam institusi agama (baca: gereja) dan karya seni, atau dari perspektif seni itu sendiri. Milto Seran, tampaknya memilih gagasan pertama dengan menyebut gereja sebagai pusat kebudayaan Eropa.

Kisah dari gereja

Negosiasi memang tak perlu terjadi ketika musik lahir dari dalam gereja, negosiasi terjadi justru ketika musik dibawa dari luar dan mendapat tempat di dalam gereja. Di gereja Katolik Tambov, pemusik-pemusik dari akademi-akademi musik di Moskow mampir dan mengadakan pertunjukan musik klasik bertaraf internasional, dengan menghadirkan kolaborasi antara organ dan biola, organ dan flute, organ dan saksofon, organ dan koor atau organ tunggal.

Di sana, sikap terbuka menjadi satu pintu masuk. Rupanya tidak hanya musik dan pemusik yang masuk, tetapi juga orang-orang dari latar budaya dan agama yang berbeda ikut masuk gereja dan menikmati musik di sana, tanpa harus berpindah agama.

Dengan gaya story telling Milto Seran piawai membawa ruang (space) di dalam gereja kepada pembaca. Pembaca terlibat menikmati alunan musik yang mengalir dari tangan Anna dan Mikhail, bahkan udara Tambov yang dingin membuat pembaca pun turut menggigil sambil terpana menyaksikan sepasang kekasih yang duduk bergandengan tangan, menggesek-gesekkan telapak tangan karena dingin menembus winter coat, topi dingin dan syal yang melingkar di leher (hal 76).

Kemampuan untuk menghadirkan ruang (tidak hanya tempat kepada pembaca), menjadi salah satu keunggulan buku Musim-Musim Berlalu. Tempat (place) bisa ditemui pembaca dengan meng-googling di internet, tetapi untuk ruang (space) yang berisi suasana memiliki rumus tersendiri, jika hendak disajikan dengan lezat. Orang mesti hadir dalam ruang tersebut dan dengan kehati-hatian ia membangun batas-batas dalam benak lalu menghembuskan kebebasan dalam benak pembaca. Di sana ada kode etik untuk tidak menggurui pembaca sebab hakikat dari ruang ialah sense of being free yang terkoneksi dengan sisi transendental manusia.

Pada anak tangga ketiga, Musim-Musim Berlalu tak mampu membendung kecintaan penulis pada musik. Uraian-uraian dalam bagian ini menyajikan euforia penulis saat menjumpai para musisi andal yang juga ternyata memainkan musik-musik klasik yang ia kenal. Keberanian-keberanian yang tak diduga tiba-tiba mengalir begitu saja lalu mewujud dalam tindakan-tindakan nekat penulis: mewawancarai pemusik, berkorespondensi dengan para musisi, merekam permainan para musisi, berkunjung ke rumah musisi (Ary Sutedja di Jakarta), atau bermain piano.

Penulis juga langsung terhubung dengan rumah-rumah pendidikan yang pernah menabur benih kecintaan penulis pada musik. Gairah penulis pada bagian ini mengalir begitu deras dan hampir-hampir ia sudah tak peduli lagi bahwa bahasa Rusia itu rumit, bahwa orang asing selalu bersahabat dengan kesunyian. Musik telah menjembatani diri penulis dengan orang-orang lain. Memang benar, belajar bahasa ialah aspek penting, tetapi hal tersebut perlu didasarkan pada rasa cinta. Musik mengajarkan bagaimana cinta mampu menerobos segala perbedaan.

Cerita antarkota

Pada anak tangga terakhir, Milto Seran berusaha menjahit rangkaian-rangkaian pengalaman (dengan setting berbeda): Wekeke, kampung di batas Malaka-Timor-NTT dan Abu Dhabi, Abu Dhabi dan Endah di Jakarta, Domodedovo dan pengalaman pertama ke Moskow, Krakow dan Timor yang sunyi, menjadi satu cerita. Untuk kenangan dengan lokasi yang berbeda, Milto mengisahkannya seolah-olah tak berjarak.

Pembaca yang tidak teliti bisa merasa terganggu dengan perubahan setting yang cepat ini. Hal ini bisa menjadi catatan bagi Buku Musim-Musim Berlalu.

Pada dimensi yang lain, pembaca juga bisa memaknai pilihan sikap penulis sebagai satu cara untuk menghadap-hadapkan perbedaan sambil bersikap lentur terhadapnya. Sikap hanya turut dibentuk melalui pemaknaan. Edward Bruner menjelaskan hal ini dengan cara yang sederhana, experience is culturally constructed, while understanding presupposes experience (Simatupang, 2013).

Agar pesan-pesan dari buku Musim-Musim Berlalu sampai kepada pembaca, penulis menyusun tulisannya dengan penuh kedisiplinan dan menuangkan pengalaman itu dalam bahasa-bahasa ringan yang mudah dikunyah pembaca. Milto Seran yang paham jurnalistik, menyertakan foto-foto pilihan yang memenuhi kriteria fine art photography, dalam tiap bab.

Musim-Musim Berlalu memang lahir pada musimnya: ketika ketakutan akan yang asing sering menjadi alasan untuk hadirnya bentuk-bentuk kekerasan. Musim-Musim Berlalu hadir ketika orang giat melakukan mobilitas, tetapi mereka tetap merasa hidup tanpa gairah dan 'kering'. Musim-Musim Berlalu hadir ketika rumah-rumah ibadah mulai merawat kecenderungan untuk menutup pintu silaturahim dengan penganut lain.

Musim-Musim Berlalu hadir ketika orang menjadi rendah diri karena merasa tak punya apa-apa di negeri orang lain. Musim-Musim Berlalu hadir ketika orang abai dan meragukan potensi-potensi diri serta takut pada perubahan. Bersiaplah untuk berpetualang.

Judul: Musim-Musim Berlalu (Kisah-Kisah dari Tambov, St Petersburg, Moskow, Kaliningrad, dll)

Penulis: Milto Seran

Penerbit: Nusa Indah (Ende, Flores)

Halaman: xiv + 312 hlm

Cetakan Pertama: Juli 2018

Peresensi

FX Wigbertus L Halan

Dosen LB di Universitas Ciputra Surabaya

dan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Referensi

Bryan S Turner (ed). Teori Sosial dari Klasik sampai Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Leno Simatupang, 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Seran, Milto, 2018. Musim-Musim Berlalu. Ende: Nusa Indah.

Yi Fu Yuan, 2011. Space and Place the Perspective of Experience.

USA: University of Minnesota Press.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya