Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
SOSOK Alanda Kariza dikenal sebagai salah satu pemudi Indonesia yang aktif berkontribusi untuk membahas dan memajukan isu-isu kebangsaan di kalangan anak-anak muda. Melalui Indonesian Youth Conference yang setiap tahun digelar, menandai konsistensinya dalam menyebarkan energi positif. Bagaimana pandangannya sebagai seorang pemuda terhadap kondisi Indonesia saat ini? Berikut petikan wawancara Media Indonesia yang dilakukan di sebuah co-working space di wilayah Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (27/7).
Dalam menghadapi Pilpres 2019, bagaimana seharusnya generasi muda menghadapinya dengan pikiran yang jernih?
Menurut saya, berpikir kritis, satu berita bisa diceritakan dengan gaya yang berbeda. Dengan mengonsumsi semua itu kita bisa mengolah temuan dan menarik inti sarinya dari berbagai perspektif. Mungkin sistem pendidikan di Indonesia dulu tidak terlalu mengajarkan kita berpikir kritis. Saatnya kita berpikir sebelum mengambil keputusan.
Yang agak mengkhawatirkan ialah bergantung siapa tokohnya mau partai apa pun terserah, padahal banyak hal yang jauh lebih penting. Punya menteri yang gaul saja tidak cukup, kalau programnya tidak jalan, maka sama saja. Banyak kita anak muda yang terbeli soal tokoh yang ditampilkan. Banyak politisi yang memfokuskan pada usaha mencitrakan diri dan penampilan mereka daripada membahas programnya apa saja.
Bagaimana pendapat Anda tentang praktik korupsi dan pemberantasan korupsi di Indonesia hingga detik ini? Apa yang kaum muda bisa lakukan untuk itu?
Saya selalu merasa cara yang paling efektif ialah mulai hal kecil dan mulai diri sendiri. Contoh sederhana mungkin kita menghina-hina Lapas Sukamiskin bisa semewah itu, tapi kita buat SIM berbohong apa tidak? Ketika ditilang kita bayar (petugas) atau tidak? Itu sebenarnya bentuk korupsi walaupun kecil. Jadi menurut saya, kalau kita masih melakukan korupsi kecil-kecilan, maka 20 tahun lagi korupsi besar itu akan masih ada.
Bagaimana generasi Anda seharusnya memaknai kemerdekaan Indonesia yang akan memasuki usia 73 tahun?
Kita seharusnya sudah bisa menjadi bangsa yang lebih dewasa. Ada banyak negara lain yang merdekanya belakangan, tapi prestasinya jauh lebih banyak. Menurut saya, sebetulnya tidak ada hal menghambat Indonesia untuk menjadi negara besar karena populasi termasuk 5 besar. Kita juga punya penduduk yang usianya produktif, dan masih muda, tapi bukan tanpa tantangan karena kita tersebar di ribuan pulau. Padahal, hal itu bisa menjadi aset agar kita menjadi negara besar. Menurut saya, selama ini kita belum punya sistem dan infrastruktur yang cukup untuk memanfaatkan aset-aset itu. Jadi, mudah-mudahan ke depannya kita punya sistem yang cukup baik untuk memanfaatkan apa yang kita punya dan akhirnya menjadi bangsa yang lebih besar dan lebih maju lagi.
Anda pernah diundang untuk berbicara mengenai keberagaman dan toleransi. Bisa di-share apa yang Anda sampaikan pada saat itu? Mengingat isu keberagaman di Indonesia saat ini selalu hangat diperbincangkan. Bahkan kadang dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu.
Kebetulan acaranya baru beberapa minggu yang lalu dan diundang sebagai perwakilan anak muda. Saya punya pengalaman yang cukup menarik dan membuat saya diundang ke Vatikan pada 2013. Saat itu saya sebagai perwakilan Indonesia yang merupakan mayoritas negara muslim dan pada saat itu juga umur saya baru 22 tahun. Itu merupakan pengalaman yang menarik sekali karena situasi antara mayoritas dan minoritas di Indonesia berbeda dengan negara lain.
Jadi, kunjungan saya ke Vatikan dan berbicara soal keterlibatan anak muda dalam isu-isu agama itu pengalaman yang menarik. Saya sebagai bukan orang Katolik tidak tahu sama sekali soal agama Katolik itu seperti apa, dan gereja Katolik Roma memiliki struktur organisasi sendiri. Sebelum pergi ke sana, saya belajar banyak soal agama yang bukan saya anut dan ternyata di sana sambutannya sangat baik, walaupun saya bukan orang Katolik. Mungkin pengalaman itu yang bisa saya bagikan dalam diskusi soal keberagaman.
Akan tetapi, kalau salah satu hal yang harus digaris bawahi ialah menurut saya, kalau soal toleransi itu kita tidak perlu bicara soal agama, ras atau suku, tapi bisa dari hal-hal yang lebih dekat dengan keseharian kita. Kadang-kadang kita tidak punya toleransi terhadap orang yang punya pemikiran yang berbeda.
Apalagi sekarang beberapa tahun ke belakangan ini kalau orang berbeda pilihan politik dicap macam-macam, atau kalau perempuan yang belum menikah dan mengecap perempuan yang sudah menikah prestasinya hanya menikah saja, tapi ada juga yang mengecap kenapa sekolah tinggi-tinggi tapi enggak menikah-menikah. Kalau kita punya toleransi satu sama lain, maka tidak akan ada pendapat-pendapat seperti itu. Namun, sebelum kita jauh-jauh ke masalah agama, ras, dan suku kadang-kadang kita belum memiliki toleransi terhadap pemikiran atau prinsip orang lain dan itu salah satu isu yang saya angkat dalam diskusi tersebut dan dialami oleh banyak orang juga.
Bagaimana tanggapan para audiens kala itu?
Tanggapannya bermacam-macam. Kalau di acara yang terakhir, yang datang memang orang-orang Indonesia dari berbagai kelompok agama dan memiliki pengalaman masing-masing. Kalau pengalaman di Vatikan menarik, waktu itu mereka mengundang saya sebagai perwakilan anak muda. Indonesia ialah negara yang jarang diangkat di Vatikan karena dianggap mayoritas muslim. Banyak yang tidak tahu kalau di Indonesia juga banyak populasi Katolik.
Jadi, waktu itu saya pidato dan bilang jika mau anak mudanya menjadi lebih dekat berarti anak-anak mudanya harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Sama halnya dengan pemerintah kalau anak mudanya terlibat dalam politik, maka harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Dengan pidato itu, satu ruangan itu tertawa dan saya tidak tahu kenapa mereka tertawa dan waktu itu saya takut salah dengan pidato yang disampaikan. Ternyata waktu saya meminta penjelasan dari salah satu uskup agung di sana, dijelaskan mereka tertawa karena sudah sejak lama menunggu orang yang bicara seperti itu. Ternyata yang bicara anak muda perempuan dari negara berkembang dan bukan orang Katolik, jadi mereka semacam menertawakan diri mereka sendiri.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, Anda sendiri sebagai generasi muda bagaimana melihat kondisi keberagaman Indonesia saat ini di kalangan milenial?
Menurut saya, milenial bukan generasi yang terlahir dengan internet, melainkan kita tumbuh besar dekat dengan internet. Ada banyak fitur di internet yang membentuk kita sebagai pribadi, misalnya, pertemanan sampai yang berhubungan dengan toleransi itu dengan adanya internet dan sosial media.
Jadi, kita cuma mem-follow orang-orang yang kita suka, misalnya, merasa tidak cocok pandangan politiknya lalu di-unfriend saja. Menurut saya, kalau tidak dimanfaatkan dengan baik, kita akan ada di suatu komunitas yang kita cuma mendengarkan pendapat yang mau kita dengar saja pendapatnya. Padahal, bisa saja di luar sana tidak seperti itu. Menurut saya, kalau soal milenial tantangannya di sana, bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi untuk tetap bisa memiliki toleransi yang tinggi.
Kita bisa menggunakan teknologi untuk membangun jembatan-jembatan dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda. Teknologi itu seperti pisau bermata dua, tapi kalau kita tahu cara memanfaatkannya justru bisa jadi solusi masalah-masalah yang ada termasuk soal intoleransi.
Menurut Anda, apa yang membuat keberagaman Indonesia kembali hangat dibicarakan?
Mungkin kita terbiasa mengonsumsi sesuatu. Maksudnya, kita ingin mencari sesuatu itu gampang dan tidak terbiasa berpikir kritis untuk mempertanyakan, kadang-kadang melihat sesuatu dan langsung percaya saja dengan kata-kata orang padahal belum tentu benar.
Dari sosial ekonomi, karena kita terbiasa melihat sesuatu melalui teknologi. Misalnya, di televisi ternyata ada yang menayangkan soal orang Padang, dan ternyata orang Padang itu (digambarkan) jago berdagang, pelit, hal seperti itu selalu ada. Padahal, kalau kita kupas tidak semuanya punya stereotip yang sama. Hal semacam itu bisa memantik intoleransi. Solusinya ialah kenalan dan mengobrol dengan banyak orang dan jangan bergantung dengan apa yang kita lihat.
Berdasarkan pengalaman Anda, menurut Anda apa tantangan utama yang dihadapi oleh para pemuda kita saat ini?
Tantangan pemuda Indonesia kini secara spesifik lumayan banyak. Karena Indonesia berkembang sangat pesat, apalagi sekarang banyak perusahaan rintisan yang muncul dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Ada yang siap dan mengambil kesempatan itu, tapi ada yang tidak.
Mungkin karena ekonomi Eropa dan Amerika Serikat melambat, banyak dari mereka (pemuda luar negeri) yang datang ke Indonesia dengan kemampuan yang cukup atau dianggap cukup karena mereka berasal dari luar negeri. Tantangan anak muda Indonesia ialah bagaimana bisa bersaing dengan pekerja atau bakat dari luar negeri. Selama ini kita berpikir expat menjadi bos, tapi sekarang pengusaha start-up di Indonesia punya karyawan dari 13 negara.
Kita akan menghadapi 2019 juga bagaimana anak muda Indonesia bisa punya andil di politik. Karena politik selalu menjadi bidang yang selama ini masih belum tersentuh banyak sama anak-anak muda Indonesia. Memang ikut memilih, tapi untuk mengetahui proses legislasi di DPR tidak terlalu banyak, kita cuma tahu tokoh-tokohnya, tapi prosesnya seperti pembahasan anggaran kita tidak tahu, dan menjadi tantangan bagaimana sebenarnya proses-proses tersebut sehingga kita juga punya andil dalam menentukan masa depan kita.
Menurut Anda, bagaimana agar anak-anak muda di Indonesia, dapat turut berkontribusi membangun negeri saat memasuki era bonus demografi 2030 mendatang?
Saya pikir, justru bagaimana caranya anak muda Indonesia bisa mengejar apa yang menjadi cita-cita mereka. Secara budaya kita di Indonesia sering menghadapi berbagai macam masukan dari keluarga dekat, misalnya, harus jadi dokter dan pengacara, jarang mau menjadi petani. Padahal, untuk menghadapi bonus demografi itu kita butuh bakat di semua lini. Seperti sekarang pemerintah mendorong anak-anak mudanya agar mau masuk SMK, karena di SMK berbagai kemampuan-kemampuan teknis diajarkan dan mungkin itu kemampuan yang dibutuhkan.
Setelah selesai sekolah di Inggris, hampir semua teman-teman bekerja di start-up karena mereka mendapatkan posisi dan gaji yang tinggi. Padahal, yang butuh mereka di Indonesia bukan cuma start-up, melainkan banyak posisi lain yang harus diisi. Kalau kita punya kesempatan untuk meraih itu mungkin kita bisa mengisi bonus demografi itu.
Anda lebih suka memberikan kontribusi melalui tulisan, misalnya, novel terbaru Anda yang berjudul Sophismata yang berisikan cerita cinta dengan latar belakang politik. Mengapa demikian?
Sebetulnya awalnya itu yang mau ditulis, soal kesetaraan gender supaya perempuan juga bisa berkarya. Jadi, waktu itu mencoba menulis novel karena novel itu cerita dan apa pun yang ada di novel ialah pembahasan dari tokoh-tokohnya bukan saya mau mengasih tahu ke pembaca soal sesuatu, melainkan pembaca belajar dari cerita yang ada di dalamnya.
Jadi di novel itu ada 2 isu utama, yaitu soal tantangan-tantangan utama yang dihadapi tokoh utamanya soal bekerja dan berkarier. Misalnya, menghadapi objektifikasi perempuan di lingkungan yang mayoritas laki-laki, susah naik jabatan atau dibilang untuk apa bekerja karena lebih baik di rumah saja.
Satu hal lagi yang saya angkat ialah saya melihat jarang sekali politik dikemas dengan pop. Politik selama ini dilihat sebagai sesuatu yang serius dan berat, yang akhirnya banyak anak muda yang jadi tidak mau tahu soal politik.
Bagaimana perkembangan Indonesian Youth Conference?
Dari 2010, kita sudah selenggarakan konferensinya setiap tahun. Awalnya sekitar 300-400 peserta, sekarang sudah diangka sekitar 1.500 peserta-2.000 peserta setiap tahunnya.
Jadi, masih dengan format yang sama, satu hari diisi 14-15 seminar dengan topik yang berbeda-beda dan anak-anak muda bisa berkontribusi di sana. Sekarang tidak hanya seminar, ada pameran komunitas anak muda. Jadi, Indonesian Youth Conference itu mudah-mudahan bisa menjadi tempat anak-anak muda untuk berbagi dan berjejaring. Kita buat semacam usaha sosial namanya Sinergi Muda, yang mengatalisasi potensi anak muda untuk berkontribusi pada Indonesia.
Program utamanya Indonesian Youth Conference sekali setahun dan Indonesian Youth Pitstop yaitu forum diskusi dengan tema open space yang diselenggarakan sekitar 4-5 kali setahun. Kita juga punya beberapa klaster, ada klaster pendidikan, klaster politik, klaster kesehatan, jadi anak-anak di sana bisa berkumpul dan mendiskusikan isu-isu spesifik dan mencoba melahirkan rekomendasi-rekomendasi terkait dengan kebijakan yang berhubungan dengan topik itu. (M-3)
------------------------------------
Terinspirasi sang Kakek
BAGI Alanda, aktif di berbagai kegiatan sosial sejak usia muda sangat penting. Pasalnya, ia merasa belum tentu akan memiliki energi, waktu, dan kesempatan yang sama di saat semakin dewasa nanti. Baginya semakin tua seseorang, maka prioritas hidupnya akan berubah.
Apalagi setelah kuliah, Alanda berpikir untuk bekerja, setelah itu menikah, dan berkeluarga. SMA, kata Alanda, sudah tepat berkegiatan sosial sehingga tidak menyesal di saat tua nanti.
“Alhamdulillah dari segi timeline-nya pas dan ketika usia 22 tahun, pertama kali kerja Indonesian Youth Conference sudah siap dilepas ke generasi yang lebih muda, yang masih SMA atau kuliah, dan kita memang melanjutkan regenerasi itu terus dan tidak bisa dimungkiri bahwa kadang semakin tua kita punya prioritas yang berubah,” jelas Alanda.
Tidak hanya itu, motivasi lainnya ialah terinspirasi dari sang kakek Prof dr Moenadjat Wiratmadja, ahli bedah plastik pertama Indonesia. Kakeknya ialah seorang dokter yang memiliki dedikasi untuk masyarakat karena ilmu yang dimiliki kakeknya pada saat itu masih jarang dimiliki orang lain.
“Jadi, saya ingin punya kontribusi sosial sebagus kakek saya, tapi gak bisa jadi dokter. Jadi, bantu di bidang yang lain,” imbuh Alanda.
Perempuan yang memiliki hobi menulis, membaca, dan membuat roti tersebut, saat ini bekerja sebagai manajer komunitas di Quora. Dirinya mengaku saat ini sudah tidak aktif lagi dalam kegiatan sosial, tetapi dirinya lebih berperan sebagai mentor yang menghubungkan banyak pihak. Meskipun begitu organisasi yang dirikannya masih tetap berjalan.
“Banyak organisasi yang terlalu berpusat pada pendirinya dan ketika pendirinya buat start-up organisasinya gak jalan lagi,” tutupnya. (Riz/M-3)
------------------------------
Nama: Alanda Kariza
Tempat, Tanggal Lahir: Jakarta, 23 Februari 1991
Pendidikan
2016-2017 S-2: Behavioural and Economic Science di University of Warwick
2009-2013 S-1: International Business and Marketing di Binus International
Karier
1. Manajer Komunitas di Quora Indonesia (2018-sekarang)
2. Fellow di The RSA (Royal Soceity for the Encouragement of Arts, Manufactures, and Commerce) (Januari 2017-Desember 2017)
3. Advisory Board Member di Sinergi Muda (2012-2016)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved