Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DINDING itu dipenuhi goresan tinta yang dibentuk dalam berbagai rupa. Gambaran-gambaran imajiner itu ditumpahkan ke media kertas untuk bisa ditangkap makna visualnya oleh siapa pun yang memandang.
Pada sebuah bidang putih, terlihat sepasang kekasih dengan objek pohon dan akar-akar yang menyerupai manusia. Sebuah origami kertas berbentuk bangau terselip di dalamnya.
Ada pula gambar yang mengisahkan perjalanan manusia dari remaja hingga dewasa yang digambarkan dengan jatuh bangunnya hingga ia berhasil mendapatkan sayap.
Pameran lukisan bertajuk Kode yang diadakan di Galeri Kertas, Studio Hanafi, Depok, Jawa Barat, kali ini memang mencoba menghadirkan karya-karya segar berbasis eksperimental.
Kode-kode umum yang muncul dari tubuh manusia dan lingkungan diolah menjadi kode-kode baru dari tangan ketiga perupa yang terpilih dari 30 peserta yang diseleksi Farhan Siki, street artist asal Yogyakarta. Mereka ialah Alivion (Mas Sultan Ali Akbar), Eka Apriansah, dan Vicky Saputra.
Karya Alivion, misalnya, menggunakan pendekatan ilustratif yang jika ditampilkan secara kompilatif akan menghadirkan sebuah narasi implisit layaknya sebuah cerpen. Dalam salah satu karyanya berjudul The Diary, misalnya, Alivion menyajikan sebuah visual diary.
Ia mengaku, sangat sulit merangkai bahasa, apalagi menulis. Ia pun merasa ada banyak hal yang tak perlu ia ceritakan ke orang lain. Itulah sederet alasan di balik karya visual Alivion.
Selain gambar, Alivion membuat instalasi rupa. Ada sebuah cermin yang memiliki tulisan find yourself di atasnya. Ada juga gambar lima mata yang sangat menarik dan sebuah sayap dari Icarus yang mendekati matahari, dibentuk menggunakan kertas dan kardus untuk kepentingan galeri kertas.
"Kalau konsep dari karya saya sendiri. Saya di sini ingin sampaikan tentang bagaimana transisi dari remaja hingga dewasa karena itu yang saya rasa sendiri," tutur alumnus Desain Grafis, Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia), Jakarta itu.
Berbeda dengan Evalion, Eka Apriansah menghasilkan karya dengan bertumpu pada kekuatan desain, pemilihan warna, komposisi gambar, dan objek gambar yang sangat menarik. Dalam setiap karyanya, Eka memilih warna hitam putih seperti terlihat dalam gambar sebuah kepompong yang berada di sebuah gurun tandus dan bebatuan yang ia beri judul Proses.
"Hidup itu proses. Proses itu indah. Karya-karya saya ingin memberikan motivasi agar orang tidak mudah menyerah, sekaligus menyikapi apa yang saya rasakan pada orang lain begitu juga sebaliknya. Karya saya merupakan bentuk simbiosis mutualisme. Kita harus belajar untuk hidup dengan sesama makhluk hidup," beber mahasiswa Desain Komunikasi Visual Universitas Indraprasta (Unindra) Jakarta.
Sementara itu, Vicky Saputra mungkin yang paling unik di antara ketiga perupa muda itu. Gambar-gambar yang ia sajikan selalu menyisipkan kalimat atau kata-kata. Gambarnya yang berjudul Mengejar Ekor, misalnya, menggunakan dua media. Pertama kertas plastik transparan yang berisikan semacam puisi dan di belakang keras itu terlihat gambar api unggun.
"Saya coba menampilkan warna tulisan dengan gambar. Kadang-kadang tulisan itu bukannya menjelaskan karya itu sendiri, tapi malah mereka berdialog, mereka kadang menentang satu sama lain," ungkap mahasiswa Desain Komunikasi Visual Universitas Bunda Mulia, Jakarta, itu.
Sang mentor, Farhan, menganggap karya yang mereka perlihatkan jika dibandingkan dengan 27 orang lainnya, lebih kental dan tak perlu penjelasan lagi dalam mengartikan karya mereka. "Sisanya, mereka hanya menjelaskan atau memperkuat karya mereka melalui omongan saja dan tidak mampu menarik secara visualnya," ujar Farhan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved