Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Bimbingan agar tidak Salah Langkah

FD/Riz
22/7/2018 15:00
Bimbingan agar tidak Salah Langkah
(MI/MUHAMMAD IRFAN)

KEDEKATAN anak-anak dengan teknologi tak bisa dimungkiri. Mulai mencari hiburan, membantu pekerjaan sekolah, sampai kecanduan gim daring di gawai. Semua disadari Ahli Digital Forensik Indonesia, Ruby Alamsyah, Kamis (19/7).

Ditambah lagi internet sekarang digunakan untuk mempermudah pekerjaan sehari-hari. Pelajar dan anak-anak menjadikannya sebagai alat mencari apa pun kebutuhan pembelajaran sekolah. "Semakin besarnya penetrasi internet, otomatis perkembangan dunia gim dan gawai anak-anak sangat luar biasa besar serta mudah diakses anak-anak," sebutnya.

Tren perkembangan ke arah yang baik cukup signifikan, tetapi pengguna negatif juga dapat terjadi akibat kekurangan, kesalahan atau minimnya petunjuk dari bimbingan orang dewasa, baik orangtua maupun guru.

"Orangtua atau guru itu kadang suka lupa memberi gadget atau smartphone ataupun tablet kepada anak tanpa bimbingan yang tepat, maka anak bisa terjerumus," terangnya. Contohnya batasan usia dalam gim.

Tidak hanya gim, penggunaan internet dan gawai pun harus difilter. Memang awalnya mereka menggunakan untuk pekerjaan rumah dari sekolah, tapi terjerumus situs-situs dewasa. "Ini murni akibat ketidaktahuan dan keteledoran orangtua. Nah, jika penggunaan gadget tidak tepat, atau sharing akun dengan orangtua dipakai untuk mengakses device yang sama oleh anak," terangnya. Dengan demikian, akses internet bagi anak-anak harus diikuti pengetahuan dan kesadaran orangtua.

Senada dengan Ruby, Kabid Pemenuhan Hak Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Reza Indragiri Amriel, juga melihat teknologi berdampak pada abnormalitas psikolog. Dalam bidang psikologi forensik, Reza menyebutkan permasalahan ini tidak hanya berfokus pada kelainan semata. Pasalnya, jika persoalan itu sebatas klinis atau kelainan kejiwaan, akan berimplikasi pada bagaimana proses pengobatan, terapi, hingga rehabilitasi.

Ia juga khawatir jika informasi sangat beragam dikonsumsi mereka yang belum cukup umur. Pada aspek itu, restriksi atau safeguard belum begitu memadai. "Akses ke informasi-infomasi yang tidak ramah anak tetap relatif mudah untuk dimasuki. Nah, safeguard-nya relatif masih kurang," lanjutnya.

Pengawasan yang tepat ialah membangun pendekatan dan aturan main. Sebaliknya, pelarangan akan menstimulasi anak menggunakan gawai dengan cara yang salah. Dia menyebutkan, tetap ada risiko negatif yang bisa dialami anak ketika menggunakan gawai secara tidak bijak. Seharusnya, titik kesadaran awal seperti itu yang dibangun.

"Gawai sebagai reward bermakna bahwa akan diberikan kepada anak secara terbatas, hanya ketika anak melakukan perbuatan-perbuatan yang dinginkan orangtua," terangnya.

Hacker

Sayangnya, teknologi pun membawa sisi buruk. Di dunia teknologi ada sejumlah anak menjadi pelaku tindak kejahatan siber seperti black hacker sehingga perlu sosialisasi dan edukasi di semua tingkat pendidikan, termasuk kementerian.

"Misalnya, terkait masalah hacking, lalu batasan seseorang melakukan hacking yang melanggar UU berikut sanksinya," jelas Kepala Unit 4 Subdit 1, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, AKPB Rita Wulandari Wibowo, saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (18/7).

Edukasi bagi anak bisa melalui video berdurasi pendek dan dikemas menyenangkan. Bagi orangtua perlu parenting coach, agar mereka mengenal apa yang dimaksud dengan hacking dan indikasinya. Selain itu, juga perlu dilakukan training of trainer kepada guru-guru.

"Dalam tingkatan masyarakat kita hidupkan lagi organisasi kepemudaan seperti karang taruna, pramuka, di sana mereka juga kita bekali ilmunya tentang bagaimana mencegah dan menangani pelaku maupun yang menjadi korban. Dengan hal ini, maka akan tercipta jaringan sehingga kita akan mudah mengarahkan," tambah Rita.

Pemerintah juga harus membuat wadah-wadah yang bisa menampung bakat-bakat anak tersebut, misalnya, dengan menggelar kompetensi yang berhubungan dengan teknologi.

"Perlu ada penjelasan dan pengarahan bahwa hacker tidak bisa dihilangkan atau dimatikan, tetapi bagaimana kita menciptakan suatu program atau sistem agar mereka terarah sehingga kalau memiiki skill seperti itu dapat menjadi tenaga ahli di bidang cyber security, konsultan IT, paling tidak dapat menggugah mereka untuk mengasah kemampuannya, tapi tidak dengan merusak," jelas Rita.

Lebih lanjut Rita menjelaskan, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri yang dipimpin Brigjen Pol A Rachmad Wibowo yang baru berdiri sejak pertengahan 2017, melakukan pengawasan selama 24 jam nonsetop melalui satgas patroli siber. Selain itu, Rita menuturkan pihaknya memberdayakan infrastruktur yang dimiliki dalam bentuk intelligence tools yang fungsinya mem-profiling dan memonitor semua kegiatan aktivitas di dunia internet.

Pernyataan Rita diamini Ruby. Ia menilai sebenarnya konotasi hacker di Indonesia lebih banyak negatif. Padahal, hacker sejatinya white hacker (hacker putih) itu jauh lebih baik. "Anak-anak yang jago hacker, bisa diarahkan menjadi IT security, penelitian IT security-nya, atau lainnya. Biarkan, jika ia bisa meretas situs, tetapi pemerintah atau perusahaan nantinya diarahkan ke arah positif karena aksi itu bisa dibayar. Pasti akan dijadikan white hacker," tentunya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya