Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
BARU saja diluncurkan, buku karya Saiful Mujani seperti membuka tabir akan perilaku pemilih Tanah Air, termasuk soal faktor agama. Buku berjudul "Voting Behavior in Indonesia Since Democratization" yang ia susun bersama R William Liddle dan Kuskridho Ambardi itu memang membutuhkan waktu hingga 2 dekade untuk tuntas.
Salah satu yang jadi perbincangan dari buku itu ialah keberadaan para pemilih rasional. Namun, sebesar apakah dampak mereka pada pemilu dan hal-hal apa saja yang memengaruhinya? Berikut penuturan Saiful kepada Media Indonesia, Kamis (19/7), di Jakarta, mengenai hal tersebut dan berbagai dinamika dalam perilaku pemilih.
Apakah perilaku pemilih kita yang Anda temukan dari riset panjang itu mengejutkan atau sebetulnya sudah terbaca sejak awal?
Saya melihat pola pemilih Indonesia itu stabil dari waktu ke waktu. Jadi tidak ada kejutan. Faktor utama yang berpengaruh terhadap pilihan masyarakat itu adalah persepsi atas kualitas persona calon atau tokoh. Partai yang punya tokoh yang dipersepsikan berkualitas akan mendapat suara lebih banyak. Namun untuk calon presiden, kualitas persona yang dimaksud adalah persepsi atas kemampuan memimpin atau penguasaan masalah, dan yang kedua persepsi atas integritas. Ini yang baru dalam proses politik kita.
Selama ini diasumsikan yang penting itu faktor sosiologis, dalam hal ini agama, suku, dan kedaerahan. Namun, penelitian 2009-2014 dalam pemilu nasional menemukan bahwa agama itu tidak sepenting yang diperkirakan. Bahwa masyarakat Indonesia itu religius memang benar, tapi pilihan politiknya tidak demikian. Keagamaan orang Islam itu mengalami peningkatan, tapi tidak diikuti perilaku politiknya.
Jadi yang selama ini dimaksud pentingnya faktor sosiologis agama tadi bukan (kandidat atau partai) Islam vs non-Islam, tapi santri vs abangan (Islam yang tidak menjalankan ritual agama), dan itu tidak ada efeknya dalam perilaku politik partisan secara nasional.
Jika faktor sosiologis itu antara agama yang berbeda?
Kalau yang dimaksud (faktor sosiologis itu adalah) Islam vs non-Islam itu pengaruhnya ada dan signifikan. Cuma sekarang kita belum punya contoh itu di pemilihan nasional, baru ada di pilkada.
Misalnya, di Pilkada Sulut, gubernurnya selalu Kristen. Di Maluku, muslimnya sedikit lebih banyak, gubernurnya muslim. Maluku Utara selalu muslim, NTT selalu nonmuslim.
Jadi yang terjadi di pilkada DKI Jakarta itu tidak mengejutkan sama sekali karena di daerah lain gambarannya sama. Jadi pemilih rasional itu juga dengan batas-batasnya. Batasnya adalah pertama dengan mengabaikan perbedaan agama. Kedua, kalau perbedaan (kandidat) hanya santri vs abangan, hal itu akan kalah oleh rasionalitas. Kalau perbedaannya agama, hal ini akan menjadi faktor yang sangat berpengaruh.
Jadi bukan muslim yang tidak toleran, melainkan nonmuslim juga ketika di wilayah yang mayoritas agama itu, sama tidak tolerannya. Jadi identitas agama menjadi penting. Nah kalau agamanya sama, baru masyarakat melihat kinerja. Kalau incumbent dinilai berhasil, ia akan dipilih lagi, kalau tidak ia dihukum dengan tidak dipilih. Masyarakat terbuka dengan perubahan dengan cara beralih ke yang baru.
Bicara pilkada DKI Jakarta, berarti Basuki Tjahaja Purnama walau tanpa isu penodaan agama, hasil pilkadanya tidak akan berbeda?
Tidak akan berbeda. Data saya memperlihatkan bahwa (kekalahan) itu bukan karena 'uniknya' Ahok. Namun, karena keterikatan agama para pemilih masih sangat kuat. Faktanya, sebelum isu penodaan agama, sentimen pemilih sudah begitu. Ahok tidak pernah menang mayoritas. Itu jauh-jauh hari saya sudah punya tracking-nya.
Namun catatan yang menarik, yang nonmuslim di Jakarta itu kan hanya 15%. Nah, kalau pemilih yang muslim itu benar-benar ketat keagamaannya, Ahok harusnya hanya dapat 15% dari yang nonmuslim tadi. Akan tetapi, kenyataannya Ahok dapat 42%. Jadi ada 27% muslim di Jakarta yang memilih Ahok. Ini yang saya sebut sebagai pemilih yang rasional dan kritis. Jadi yang anomali bukan kekalahan Ahok, melainkan ketika Ahok dapat lebih dari 15%.
Soal pemilih rasional ini, di buku disebutkan ketika pendidikan makin tinggi, maka pemilih makin kritis, lalu golput. Bagaimana ke depannya?
Pemilih rasional itu sangat menghitung untung dan rugi dan kalau seperti itu orang memang cenderung tidak ikut pemilu. Orang yang berpendidikan itu kalkulasinya kalau mendapat sesuatu dengan ongkos yang kecil atau tanpa ongkos, maka mengapa harus mengeluarkan ongkos? Jadi semakin tinggi pendidikan, semakin kritis dan semakin tidak mau memilih.
Ke depan, saya kira semakin tinggi pendidikan masyarakat kita, maka semakin dikit yang ke TPS. Karena itu, di banyak negara, seperti di Australia, orang didenda jika tidak mau ke TPS.
Apakah itu bisa dikatakan kegagalan demokrasi?
Bisa mungkin dikatakan kegagalan. Akan tetapi catatan saya, partisipasi itu adalah sebuah keharusan dan penting dalam demokrasi, tapi sebenarnya bukan hal mutlak. Yang penting dalam demokrasi itu tidak ada paksaan. Walau mengganggu legitimasi, tapi harusnya seberapa pun yang datang ke TPS tidak boleh menggagalkan hasil pemilu. Agar yang menang bukan kotak kosong, maka harusnya undang-undang dibuat sedemikian rupa. Karena kontestasi itu kan harusnya antara manusia, pilkada tidak boleh berlangsung kalau calonnya hanya 1. Harus diatur lagi waktunya sampai ada 2 calon. Lagi pula sebenarnya (kondisi hanya 1 calon) itu terjadi karena calon yang lain dihambat. Itu yang harus diubah. Harus dimudahkan jalan calon independen, politik tanpa mahar. Lalu KPU dan Bawaslu harus mengawasi interaksi antara calon dan partai. Menurut saya, partai yang menerima bayaran dari calon harus dihukum. Itu harus dilakukan agar demokrasi kita berkualitas.
Bagaimana dengan hasil penelitian terbaru LIPI yang menyebut bahwa pemilih Jokowi menginginkan Prabowo jadi cawapresnya. Apakah berarti Jokowi dinilai tidak lagi kuat?
Pemilih Jokowi itu kebanyakan kelas menengah ke bawah. Karakteristik pemilih seperti ini sebenarnya ingin praktis saja. Jadi ini bentuk kompromi mereka. Di elite juga ada kecenderungan itu, ingin cepat hasilnya. Ini sebenarnya juga sikap rasional. Terbuka, tidak dendam, tapi ini sebenarnya mengurangi kontestasi. Padahal kontestasi itu penting demi kualitas. Selain itu, mereka memilih Prabowo juga karena faktor dikenal saja. Kalau ada tokoh lain yang dikenal juga hadir, misal, Pak Jusuf Kalla, masyarakat juga mau. Tapi kan sudah tidak dimungkinkan oleh sistem kita
Jika berkaca di luar negeri, di London, masyarakatnya nonmuslim, tetapi walikotanya muslim. Mengapa ini tidak terjadi di kita?
Walikota London dari Partai Buruh dan Partai Buruh di sana sangat kuat. Jadi afiliasi dengan partai bisa menetralisasi agama. Di Indonesia tidak bisa terjadi karena identitas partai sangat lemah. Bagi orang Jakarta partai itu tidak penting. Coba saja tanya sekarang berapa orang yang masih merasa orang partai? Padahal, partai harusnya jadi pemersatu, menjembatani keberagaman. Ini kesalahan parpol di kita yang tidak bisa meyakinkan pemilih bahwa partai itu penting.
Dari ini semua, apakah bisa dikatakan bahwa di Indonesia memang belum saatnya meminta pemilih keluar dari sentimen agama?
Memang kalau calon yang bertarung itu dari agama yang sama, maka faktor identitas keagamaan itu sudah out. Kita jadi tinggal memikirkan faktor lainnya, misal, kinerja. Kalau soal agama sudah hilang itu menjadi positif untuk demokrasi kita.
Bahwa toleransi penting itu, iya, tapi dalam jangka pendek harusnya elite kita bijaksana untuk tidak membawa identitas agama ke dalam politik. Walaupun yang saya bilang tadi bahwa pemilih rasional di Jakarta itu besar, tapi itu belum cukup untuk memenangi kontestasi. Di Amerika saja Obama bisa menang setalah berapa ratus tahun demokrasi. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved