Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pajak, Penanda Moral Kita

RIZKY NOOR ALAM
15/7/2018 07:30
Pajak, Penanda Moral Kita
()

PERBINCANGAN tentang kehebohan mengisi SPT, amnesti hingga pajak buat para penulis, kini hilir mudik di media sosial. Pajak telah menjadi bagian dari keseharian kita, tetapi bagaimana sebenarnya bangsa ini bisa bertumpu dari kontribusi warganya?

Berikut petikan wawancara Media Indonesia dengan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, beberapa waktu lalu di kantornya.

Kini mengemuka isu bahwa intensnya pemerintah mengejar pajak utamanya dipicu proyek infrastruktur besar-besaran?

Idealnya memang kita bertumpu pada penerimaan dalam negeri, tapi faktanya dalam beberapa tahun terakhir penerimaan pajak kita, kinerjanya tidak terlalu memuaskan.

Pilihan untuk membangun itu dari pajak, lalu utang. Idealnya memang kita menggarap pajak supaya lebih bisa digenjot sehingga pelan-pelan utang dan ketergantungan pada utang akan turun. Indonesia pun bisa membangun mandiri dengan pajak.

Akan tetapi situasi ekonomi kita masih kontraksi, belum pulih. Maka kalau pajak digenjot terlalu kencang, maka berbahaya.

Jadi, memang ada dilema dalam konteks ini. Diversifikasi pembiayaan itu penting, jangan terus-terusan mengandalkan pajak, tapi juga jangan bergantung pada utang. Pembiayaan yang kreatif juga harus dibuka, misalnya, kalau utang porsi terbesarnya adalah ke domestik, maka tidak masalah karena obligasi dijual ke rakyat kita lalu kalau dimanfaatkan juga akan menggerakkan ekonomi. Pembiayaan kreatif ini perlu menurut saya, agar kita bisa keluar dari kontroversi pajak versus utang.

Menurut Anda dalam masalah utang, apakah kita masih aman?

Secara rasio, komposisi, menurut saya, masih aman. Peruntukannya sekarang lebih besar ke sektor produktif seperti investasi, tapi bersikap waspada saya setuju, jangan sampai karena dianggap aman, maka kita berutang terus dan lupa bahwa kita punya sumber pembiayaan lain.

Saat ini banyak masyarakat yang menyatakan bahwa pajak semakin berat dan BPS juga pernah menyatakan pajak menambah beban pengeluaran masyarakat, bagaimana Anda melihatnya?

Memang kita sekarang hidup di dua dunia, yaitu persepsi dan nyata. Persepsi yang dibangun itu bisa apa saja, tapi apakah itu nyata, maka belum tentu.

Akan tetapi, kalau persepsi itu kuat, terkadang juga dipicu karena pemerintah tidak bisa mengomunikasikan dengan baik.

Dari mana munculnya persepsi ini? Menurut saya, ada 2 hal, pertama pascaamnesti dan perkembangan IT, maka yang dulu tidak tersentuh pajak, sekarang jadi tersentuh.

Kedua, tindakan-tindakan Ditjen Pajak tidak melalui analisis yang akurat dan penetapan kebijakan target yang terukur sehingga yang sudah patuh, maka dikejar terus. Pemicu lainnya, target pajak yang tinggi.

Lalu, bagaimana evaluasi Anda soal program amnesti pajak?

Sebagian pihak menempatkan amnesti sebagai tujuan, setelah dapat, maka selesai. Pengusaha seperti itu cara berpikirnya tidak salah karena mereka meminta pengampunan, jadi setelah diberikan, selesai. Akan tetapi, bagi pemerintah, tidak bisa seperti itu. Amnesti hanya sarana awal menuju reformasi karena faktanya, begitu banyak data yang tidak bisa diakses dan begitu mudah orang Indonesia lari dari pajak karena lemahnya sistem kita.

Maka, ditawarkan secara sukarela, mereka melaporkan, membayar tebusan, kemudian diampuni. Apa yang membedakan amnesti sekarang dengan yang dulu?

Setelah amnesti, yang dulu-dulu, bisa terhindar, maka sekarang tidak bisa lagi karena semua sudah terbuka. Antarnegara sudah bekerja sama, jadi masalahnya ke depan bukan soal transparansi lagi, tapi bagaimana otoritas pajak punya kemampuan yang lebih efektif dalam memungut pajak, itu tantangannya.

Pesan dari amnesti yang menurut saya penting adalah bagaimana awareness tentang pajak itu tumbuh. Belum pernah ada suatu masa pajak itu menjadi bahan perbincangan di ruang publik.

Jadi, sekarang tinggal bagaimana pemerintah menjalankan reformasi perpajakan, mulai mengubah UU, membangun IT, meningkatkan integritas, kompetensi pegawai, dan lainnya.

Kebiasaan kita adalah dalam implementasi itu oke, tapi monitoring-nya buruk dan evaluasi tidak ada sehingga tidak ada pembelajaran apa yang berhasil dan apa yang gagal.

Lalu, apa langkah yang seharusnya dilakukan setelah program amnesti selesai?

Automatic exchange, kan sudah, Perppu 1 sudah ditandatangani dan menjadi UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Perpajakan yang kini sudah berlaku. Mereka yang sudah ikut amnesti seharusnya diberlakukan berbeda dengan yang belum ikut amnesti. Ini yang belum terjadi, pemerintah harus mengejar yang tidak ikut, apakah memang benar-benar jujur sehingga yang sudah ikut tinggal di-maintain saja, dengan data automatic exchange untuk memastikan apakah sudah dilaporkan semuanya.

Sistem ini penting agar ada pembeda antara yang patuh dan yang tidak patuh sehingga ada reward and punishment. Sekarang, kan tidak, justru ada keluhan dari yang sudah patuh diperiksa terus dan dikejar-kejar, ini harus dihilangkan agar kepercayaan itu terbangun.

Belakangan pemerintah begitu bersemangat menggenjot pendapatan pajak, salah satunya melalui rencana pengenaan pajak untuk barang-barang impor yang dijual online, bagaimana pendapat Anda soal itu?

Secara umum, kebijakan pajak atau fiskal punya 2 sisi, yaitu bujeter (mencari penerimaan) dan reguler (mengatur).

Mengapa perlu diatur? Karena ada barang-barang yang mungkin membahayakan masyarakat, makanya dikenakan bea masuk bahkan dilarang. Namun, ada pula barang impor yang sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan subsidi dengan cara dibebaskan pajak-pajaknya.

Dengan adanya World Trade Organization (WTO), ASEAN Free Trade Area (AFTA), maka praktis tarif bea masuk itu rendah.

Jadi dalam konteks pajak untuk bujeter, rasanya tidak pas karena nilainya tidak signifikan. Kemungkinan yang paling pas adalah untuk mengatur. Pertama, untuk melindungi produsen dalam negeri, kedua adalah pengawasan karena tanpa dikenai bea masuk, maka barang akan bebas, dengan dikenai bea masuk meskipun rendah sekali, maka tetap akan diadministrasikan sehingga akan lebih bisa dimonitor.

Bagaimana dengan remunerasi pegawai perpajakan dikaitkan dengan OTT, seperti yang baru saja terbaru di Bangka Belitung?

Menurut saya harus dibuat mapping yang lebih profiling, ada yang integritasnya bagus, tapi tidak mau kerja keras. Ada yang pintar, tapi integritasnya buruk, dan ada yang sudah tidak peduli dengan remunerasi karena sudah unlimited, lifestyle-nya sudah terlalu tinggi sehingga remunerasi yang didapat tidak mencukupi.

Hal-hal ini bisa diidentifikasi. Namun, sistemnya belum dibangun dengan baik agar kebutuhan pegawai terpenuhi dan kepatuhan mereka terjaga.

Bagaimana dengan keluhan dari kalangan penulis maupun rumah sakit terkait besaran pajak?

Menurut saya, ini adalah soal tradisi yang sudah turun-temurun di pemerintah. Seolah-olah yang membayar pajak itu hanya pengusaha besar sehingga yang berhak mendapatkan insentif hanya mereka.

Padahal, sekarang ini ada e-commerce yang kontribusinya lumayan besar. Jadi harus dipetakan, apa yang dibutuhkan masyarakat secara real, dan menurut saya, masih banyak insentif yang bersifat bias dan belum menyentuh hal itu.

Jangan sampai pajak itu menjadi beban, bahkan bagi orang yang seharusnya mendapatkan insentif, struktur allowance insentifnya harus diperbaiki sehingga seperti penulis yang merupakan orang yang mencerdaskan, alat-alat kesehatan, obat-obatan, tidak ada salahnya diberi kelonggaran agar mereka lebih kreatif, produktif, dan bermanfaat bagi publik. Bias ini bisa hilang kalau ada panduan dan visi yang jelas.

Lalu bagaimana caranya untuk terus menggenjot pendapatan pajak tanpa memberatkan masyarakat?

Bagaimanapun, pajak kalau berbicara idealnya harus bicara definisinya. Pajak adalah kontribusi, partisipasi, dan tanggung jawab warga negara untuk pembiayaan negara. Mereka akan mendapatkan manfaat dari pembayaran itu dan imbalan itu yang menggerakkan kepatuhan.

Lalu soal roadmap, kita juga harus punya target, berapa tahun reformasi pajak, jangan sampai ganti presiden ganti kebijakan.

Kita tidak punya roadmap jangka panjang. Selama ini kenapa tidak efektif karena UU tidak ideal, IT-nya belum siap, SDM belum mumpuni, maka menurut saya, kita harus meletakkan dasar-dasar reformasi perpajakan.

Lalu soal partisipasi, pajak tidak bisa lagi urusan Ditjen Pajak. Kalau dibangun secara demokratis, pajak pilarnya ada 2, yaitu otoritas yang dipercaya dan wajib pajak yang sadar.

Kalau hal ini didorong, maka hasilnya kepatuhan yang tinggi karena ada kepercayaan. Kalau kepatuhan tinggi, maka penerimaan tinggi.

Selama ini kita hanya bicara penerimaan saja, tidak pernah mengukur kepatuhan. Target tidak akan tercapai karena kalau kepatuhan rendah.

Bagaimana dengan industri start-up yang aturannya masih belum jelas?

Hal tersebut harusnya diatur dari awal. Kekeliruan kita adalah menggampangkan hal-hal yang terlihat kecil, ketika masih kecil tidak perlu diatur, ketika besar, maka tidak bisa diatur.

Saya pernah bilang bahwa transportasi online meskipun masih kecil perlu diatur karena kalau terlanjur besar, tidak bisa diatur. Sekarang, mana yang berani mengatur?

Begitu mau diatur mereka demo.

Secara politik mereka itu aset, maka pemerintah tidak berani menegur, maka aturan jangan dibuat ketika ada masalah. Aturan itu harus bersifat antisipatif, harus bisa membaca tren masa depan. Kedua, aturan itu harus responsif sesuai dengan dinamika sehingga distorsi bisa dikurangi.

E-commerce ini menunjukkan kegamangan pemerintah, mau diatur, tapi tidak pernah keluar aturannya. Pasalnya, pemerintah ketika melihat e-commerce ini besar, maka yang ada di otaknya hanya uang. Sementara itu, e-commerce ini merintis dirinya dengan berdarah-darah, tanpa dukungan, dan ketika punya uang, diminta.

Makanya start-up yang sedang dalam fase bertumbuh ini harus diatur dan disiapkan.

Di tengah berbagai masalah terkait pajak diatas, mengapa pemerintah terlihat belum terlalu sigap?

Pertama, pajak itu bukan fenomena ekonomi belaka, tapi juga fenomena hukum, politik, budaya, dan sebagainya. Sudah mulai ada kesadaran multidimensi dan itu bagus.

Yang kedua, pajak itu ampuh untuk melakukan banyak hal, mulai redistribusi, mengurangi ketimpangan, meningkatkan kesejahteran, dan sebagainya.

Selain itu, pajak juga sebagai instrumen untuk melakukan pembangkangan sipil ketika merasa sudah menjalankan kewajiban dengan benar, tapi tidak mendapatkan reward yang memadai atau pemerintahannya korup, otoriter.

Hingga saat ini, pembuatan kebijakan tidak pernah diukur impact-nya sehingga ketika dikeluarkan, justru menjadi sumber masalah dan ditentang. Pajak masih menempatkan rakyat sebagai objek, bukan subjek.

Kalau dikomparasi dengan global, sudah sampai tingkat sistem perpajakan Indonesia?

Kita tertinggal, kalau dilihat dari tax ratio dengan negara-negara ASEAN saja kalah, dengan middle-low income countries saja kalah. Kita masih 10-11 kalau dengan pajak daerah, negara lain sudah 15-16, jadi masih jauh kalau dibahasakan sederhana.

Jadi kuenya membesar, tapi yang kita makan segitu-gitu saja, PDB membesar, tapi porsi pajak tidak membesar dan itu berbahaya. Ini perlu banyak analisis agar kita tahu penyakit utamanya dan obatnya apa.

Millenium Development Goals mensyaratkan tax ratio yang aman untuk membangun secara berkelanjutan itu 25%, Korea Selatan sudah sampai titik itu, pada 1970 Indonesia dan Korea Selatan tax ratio-nya sama, yaitu 7%, kita sekarang masih 10%, sedangkan Korea Selatan sudah 25%.

Kenapa? karena stabilitas politik Korea Selatan lebih bagus, masyarakat sipil kuat, dan moralitas juga lebih bagus jika dibandingkan dengan Indonesia sehingga kita tertinggal jauh.

Kalau mau kiblat, maka terlalu jauh kalau berkiblat pada Amerika Serikat dan Australia, tapi dalam jangka pendek, kita harus melihat kenapa India dan Tiongkok bisa.

Lalu idealnya masyarakat harus bersikap apa terkait pajak?

Yang harus dibangun, kesadaran bersama, kesukarelaan, dan rasa tidak terpaksa dalam membayar pajak. Saya ingin menawarkan suatu model, jangan terlalu kaku soal pajak, yang penting semua membayar pajak, mampunya berapa dapat dibicarakan, tapi orang merasa berkontribusi, memiliki, dan merasa berhak.

Yang lainnya adalah kerelaan, kesadaran mereka membayar pajak dan lama-lama mengerti harus membayar berapa. Proses edukasi dan literasi harus menyentuh hal ini. Tidak cukup diajari hanya di kampus maupun iklan, harus benar-benar digerakkan, salah satunya lewat komunitas. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya