Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Bukan Karya Karbitan

DZULFIKRI PUTRA MALAWI
10/1/2016 00:00
Bukan Karya Karbitan
()
ERA teknologi kadang memunculkan sesuatu yang instan. Di dunia musik, misalnya, orang kini mudah menjadi musikus, bahkan rekaman dan meluncurkan album. Satu hal yang kerap kali mereka lupakan ialah proses kreatif sehingga karya yang muncul kerap kali asal jadi, sekadar memenuhi tuntutan pasar.

Namun, tidak demikian halnya dengan Barasuara. Sekelompok musikus asal Jakarta ini lebih memilih berlama-lama dan menikmati proses kreatif di dalam studio ketimbang layar komputer semata. Mereka tak tergesa mengeluarkan album. Sejak terbentuk pada 2012 lalu, baru Oktober lalu mereka merilis album yang bertajuk Taifun.

Dalam rentang kurun waktu tersebut, band yang beranggotakan Iga Massardi (gitaris, vokalis), Gerald Situmorang (basis), TJ Kusuma (gitaris), Marco Steffiano (drumer), Asteriska Widianti (vokalis), dan Puti Citara (vokalis) lebih dulu membuka network, terutama lewat jejaring sosial dan tampil di berbagai pentas seni di sejumlah kota.

Konser-konser tersebut didokumentasikan fotografer mereka, Davian Akbar, terutama di lagu Api dan Lentera yang menjadi viral di sosial media sehingga karya mereka kian dikenal. Setelahnya, tim pendokumentasi bernama Sounds from the Corner yang aktif lewat saluran Youtube mengajak Barasuara terlibat dalam proses produksi.

Tak disangka video tersebut membawa Barasuara semakin dikenal dan memperluas penikmat musik mereka. Hingga akhirnya tawaran manggung silih berganti masuk ke jadwal mereka.

Sebagai band baru, walau seluruh personelnya telah lama berkecimpung di industri musik Tanah Air, bisa dikatakan Barasuara tergolong band yang sukses mendapat simpati publik dengan sangat cepat. Belasan ribu orang sudah mengikuti mereka lewat akun Instagram dan mendominasi berbagai panggung pentas seni di berbagai kota.

"Kami sebagai band ingin disambut dengan baik, tapi apa yang kami dapat sekarang sudah melebihi ekspektasi kami karena banyak respons positif yang didapat Barasuara pada 2015," ungkap Iga mengawali perbincangan dalam Media Indonesia, Kamis (7/1).

Awalnya band ini terbentuk atas gagasan Iga yang kemudian mengajak teman-teman lainnya untuk membuat karya bersama di 2012. Hanya Puti yang paling belakangan bergabung di penghujung 2014 seusai konser perdana mereka di Tokove, Jakarta, pertengahan tahun yang sama.

"Barasuara itu bukan band yang sering duduk di satu ruangan membahas bagaimana strategi marketing dan promonya. Apa yang kami lakukan ialah bermain musik sebaik mungkin dalam setiap kesempatan. Kami selalu mendokumentasikan proses kreatif dan manggung karena itu satu-satunya cara agar orang bisa lihat," tambah Iga.

Hasil kolaborasi
Keberuntungan pun memihak. Di 2015, penyanyi Raisa mengajak Barasuara untuk bergabung dengan label buatannya bernama Juni Suara Kreasi. Raisa bersama manajernya, Boim, sekaligus menjadi produser eksekutif mereka. Perkenalan Barasuara dan Raisa rupanya sudah dibina sejak lama, ketika Iga dan kebanyakan personel lainnya masih mengiringi Raisa. Hingga kini Marco pun masih duduk di barisan belakang panggung penampilan Raisa untuk menghentak lewat permainan drumnya.

"Itu banyak kejadian yang tidak tertebak oleh kami. Semuanya tidak kami rencanakan dan belum ada sketsa marketingnya. Tapi terlepas metode itu, Barasuara termasuk band yang akhirnya jalan sendiri. Kami percaya kalau materinya dikerjakan sebaik mungkin, dampaknya juga akan baik," timpal Gerald.

Bagi Iga, hentakan drum dan kebisingan amplifier menjadi energi tersendiri untuk melewati proses kreatif. Karya-karya Barasuara memang berasal dari ciptaan Iga. Namun, ia mengatakan pada akhirnya hasil kolaborasi bersama personel lainlah yang membuat sketsa karyanya bermetamorfosis hingga menjadi musik Barasuara seperti saat ini.

"Pas saya bikin lagunya sudah terbayang suasana tertentu, tidak semua temponya kencang tapi pada praktiknya bayangan itu bermetamorfosis lebih luas dan berkembang menjadi istimewa buat kami. Alurnya sangat kreatif sekali karena banyak percobaan yang dilakukan bersama. Makanya lagu yang dibuat cukup lama sampai tiga tahun. Satu lagu bisa dua-tiga bulan baru jadi," jelas Iga.

Mereka mengaku bukan tipikal musisi yang duduk di depan komputer dan membuat lagu dari apa yang dibayangkan saja. Lewat proses kreatif dengan berlama-lama latihan di studio dianggap lebih memberikan energi dan semakin kenal karakter masing-masing.

Lirik yang dibuat Iga memang lebih banyak bercerita berbagai hal, terutama soal keluarga, keadaan sekelilingnya dalam konteks hubungan sosial antarmanusia.

Secara tersitat, Iga bahkan mengatakan lagu Api dan Lentera menjadi refleksi kariernya bermusik. "Sebetulnya lebih bagaimana kita keluar dari apa yang kita geluti sekian lama. Keluar dari apa yang kita tahu dan yang kita anggap nyaman. Jadi sikat saja apa yang ada di depan, itu ngewakilin saya pribadi, tidak dalam satu hal karier bermusik saja, lebih general sifatnya," jelasnya.

Setelah bergabung dengan label, Iga dkk lantas merekam ulang karya mereka. Alasannya tentu karena ingin mendapatkan tata suara yang maksimal. Di sela-sela itu mereka juga mengurangi dan menambahkan tembang seperti Mengunci Ingatan, Hagia, dan Taifun.

Mereka mengaku pada akhirnya tata suara yang dihasilkan banyak dibantu sound engineer dan tim produksi. "Mereka sangat bisa memfasilitasi apa yang kami inginkan. Ada Asmoro Jati, Yoga, Bayu Perkasa, Nabil, Firzy O, merekalah yang membantu kami merealisasikan sound apa yang kami inginkan," terang Iga.

"Kami juga kan sempat rekaman pertama, tapi kurang puas dengan sound yang ada. Akhirnya kami kontak engineer dan tim produksi yang baru dan mencoba studio baru juga, intinya mereka bisa membahasakan pikiran kami ke audio yang dihasilkan. Sebetulnya yang paling susah komunikasi di situ," sambung Iga dan Gerald.

Lantas bagaimana proses pertemuan mereka dan kenapa Iga selalu mengenakan batik di atas panggung? Lalu apakah Asteriska dan Puti hanya menjadi penyanyi latar saja? Temukan jawabannya dalam wawancara eksklusif dalam aplikasi Kotak Musik Media Indonesia yang bisa diunduh secara gratis minggu depan. (M-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya