Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Menyikapi Kerusakan Ekologi

MI/Abdillah Marzuqi
10/1/2016 00:00
Menyikapi Kerusakan Ekologi
(MI/ABDILLAH MARZUQI)
SEBUAH level peninggi berada dalam sebuah ruang persegi panjang. Letaknya tepat di tengah ruang dengan bentuk mengikuti pola ruangan. Ia membagi ruangan menjadi dua sisi dengan lebar seimbang. Ujung level sengaja tidak menempel dinding pembatas. Troli beroda satu terletak di tepian level sebelah dalam. Terdapat spion pada kedua pegangannya. Troli itu berisi tanah. Bonsai pohon cemara dibenamkan dalam tanah itu. Itu karya Eddi Prambandono berjudul Green, Green, Go, Ahead. Melalui karya instalasi tersebut, Eddi ingin menampilkan parodi atas semakin maraknya pembangunan yang tidak mengindahkan kondisi alam.

Penghilangan flora dalam skala besar telah dan akan menimbulkan efek yang merugikan manusia. Semua tindakan itu mengatasnamakan pembangunan yang berkonotasi kemajuan. Karya Eddi tidak sendirian menyuarakan kerusakan ekologi dalam pameran seni rupa dan foto bertajuk Mencegah Bara di Galeri Fatahillah Jakarta, 17 Desember 2015 sampai 17 Januari 2016. Semua seni rupa dan instalasi yang dipamerkan merujuk pada hal yang sama. Begitupun para senimannya, mereka menyajikan imajinasi yang muncul dari kondisi alam sekarang.

Dengan bermedium seni, mereka bersikap atas fenomena kerusakan alam akibat ulah tangan dan keserakahan manusia. "Imajinasi-imajinasi tadi tidak sekonyong-konyong muncul, tapi akibat dari begitu banyaknya peristiwa ataupun kondisi tentang alam yang semakin lama semakin rusak. Kerusakan ini hampir semuanya dilakukan manusia," begitu menurut Bambang 'Toko' Witjaksono dalam kuratorialnya. Sebut saja Dadi Setiyadi dengan karya instalasi berjudul Daun to Earth.

Karya tersebut mencoba mendorong sisi heroik manusia atas kondisi alam, terutama kondisi pepohonan yang semakin lama semakin memprihatinkan. Karya instalasi berbentuk pohon dengan daunan yang gugur. Pohon itu berwarna merah api dan berdiri di depan latar bayangan hutan yang telah menjadi abu. Masih ada Andy Dewantoro dengan karya berjudul The Forgotten. Andy menampilkan bentuk rupa bangun menyerupai pabrik. Bangunan itu berdiri kukuh.

Di atasnya bertengger teguh empat cerobong besar. Bangunan dua tingkat itu memiliki banyak jendela dan pintu. Bangunan itu terkesan sengaja disusun dengan kukuh dan megah, tapi terlihat kumuh, tak terurus, dan ditinggalkan. Tak tampak aktivitas di sana. Karya itu dimaksudkan Andy sebagai pengandaian sekaligus harapan. Dengan The Forgotten, bangunan mirip pabrik yang tak terurus dan seolah terlupakan itu ialah simbol dari khayalan serta harapan pada matinya industrialisasi yang tidak mengindahkan kondisi alam. Selain itu, karya tersebut juga melambangkan dampak masifnya bencana kebakaran yang menyebabkan berhentinya usaha, bahkan mati. Pameran itu menampilkan karya rupa dan foto. Karya rupa terdiri atas beragam media dan dikuratori Bambang 'Toko' Witjaksono, sedangkan karya foto dikuratori Erik Prasetya.

Tentang Asap
Sebanyak 14 perupa berturut dalam pameran itu. Mereka ialah Abdi Setiawan, Agus Suwage, Ari Bayuaji, Andy Dewantoro, Anusapati, Arya Pandjalu, Dadi Setiyadi, Eddi Prabandono, Eldwin Pradipta, H Widayat, Pande Ketut Taman, Prison Art Programs (PAP's), Theresia Agustina Sitompul, dan Titarubi. Juga terdapat sembilan fotografer yang menyajikan hasil bidikan mereka, yaitu Abriansyah Liberto, Beawiharta, Bismo Agung, Bjorn Vaughn, Donang Wahyu, Jessica Helena Wuysang, Muhammad Fadli, Nova Wahyudi, dan Ulet Ifansasti.

Pameran foto menampilkan gambar peristiwa di lokasi kebakaran hutan. Lebih nyaring lagi ialah tentang asap. Terdapat penempatan menarik antara karya Center For International Forestary Research (Cifor) dan Junaidi Mahbub. Karya Junaidi berjudul Asap di Ruang DPR membingkai aksi dukungan pimpinan DPR terhadap kasus kebakaran hutan dengan memakai masker saat rapat, sedangkan dokumentasi CIFOR berjudul Aksi Patung Kota menampilkan gambar patung bermasker di Palangkaraya.

Masker tersebut dipasangkan pada patung sebagai simbol dan protes atas kebakaran lahan. Foto karya Cifor diletakkan di bawah karya Junaidi. Semua sepakat 2015 telah berakhir. Jika boleh dikatakan, tentulah semua juga setuju tahun ini ialah tahun asap yang beberapa bulan menjadi pembahasan serius semua kalangan. Lucunya, bencana ekologi itu terjadi rutin. Disengaja atau tidak dan di ruang dan waktu yang tak jauh berbeda, bencana serupa selalu berulang menampakkan muka. (M-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya