Jonathan Patrick Jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran
10/1/2016 00:00
(DOK GO-MEN)
DI tengah teriknya sinar matahari di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Udin tabah menunggu seseorang di atas sepeda motornya. Matanya tidak lepas dari ponsel pintarnya. Sepintas Udin seperti menunggu pujaan hati atau temannya. Namun, Udin tengah menjemput rezekinya saat itu. Ia mahasiswa yang mengemudikan ojek di waktu luangnya. Ia pengemudi Gundala, salah satu layanan ojek berbasis daring yang dirintis dan dioperasikan mahasiswa. Ya, Go-Jek yang langsung jadi fenomena ketika muncul pada 2015 bukan cuma memacu layanan serupa yang kini jadi pesaingnya, melainkan juga bisnis anak kampus.
Anak-anak mahasiswa juga merintis start up, jasa antar dengan motor yang menargetkan mahasiswa dan beroperasi di kawasan kampus. Salah satu yang jadi lokasi mereka bertumbuh ialah Jatinangor yang kini ditempati Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), serta Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Mudah, murah, dan cepat jadi ujung tombak promosi layanan ojek yang digagas dan dioperasikan para mahasiswa itu. Mereka punya potensi pasar 50 ribu mahasiswa yang kuliah juga nge-kost di kawasan Jatinangor.
"Lebih praktis bisa langsung pesan lewat chat Line. Terus kita bisa milih mau jam berapa dijemputnya. Lebih fleksibel, murah juga, cuma Rp6.000 sampai Rp8.000," kata Revana Werdaningsih, Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Di kawasan Jatinangor sendiri kini ada Gundala, Kujang, dan Kancil. Di sekitar kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Setiabudi, Bandung, beroperasi Go-Men yang kini juga mulai merambah Jatinangor.
Rezeki mahasiswa Ganesha Raksa Pamungkas salah satu pendiri Gundala menjelaskan awalnya mereka mencari aktivitas pengisi waktu luang. "Gundala ialah putra petir, filosofi kami jemput dan antar dengan cepat," terang Gane, panggilan akrabnya ketika dijumpai Muda di kontrakannya di Perumahan Puri Indah, Jatinangor, Selasa (5/1). Bersama kawan-kawannya sesama mahasiswa tingkat akhir yang sudah tak punya jadwal kuliah dan tinggal menulis skripsi, Ganesha merintis bisnis itu.
Gane menjelaskan, pada awal pembentukannya, Gundala hanya memiliki tiga pengemudi dan dua admin. Bahkan hanya ada dua motor yang bisa digunakan. "Kita berpikir, ah baru dibikin paling berapa sih yang order. Ternyata saat pertama kali kita buka dan share, yang order itu hampir 50 orang dalam sehari," ungkap mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Prodi Hubungan Masyarakat Unpad itu. Saat ini, Gundala rata-rata mendapatkan 100 order dalam sehari. "Admin meminta setoran sebesar Rp1.000 per-order kepada pengemudi," terang Gane. Kisah seru juga dikisahkan Udin, sang pengemudi yang nama aslinya disamarkan. Ia tidak hanya mencari uang di Gundala.
"Gundala juga jadi tempat belajar menghargai waktu, berwirausaha, dan berteman. Saya ikut Gundala juga ingin menambah teman dari berbagai jurusan, fakultas, dan universitas. Anak-anak (pengemudi) Gundala kan berbeda-beda jurusan dan fakultasnya. Jadi, saya bisa kenal teman dari berbagai disiplin keilmuan. Juga bisa tambah teman dari konsumen juga," terang Udin yang dalam sehari bisa mendapat keuntungan bersih Rp50.000-Rp100.000.
Line dan ask.fm Cerita tentang ikhtiar merintis bisnis juga disampaikan Usman Nurdiansyah, pendiri Go-Men. "Go-Men dibentuk secara spontan untuk mengisi waktu luang. Awalnya saya sering diminta untuk menjemput teman yang ingin berkunjung ke rumah baca yang saya dirikan. Kemudian teman-teman memanggil saya Go-Men, perpaduan antara Go-Jek dan Umen, nama panggilan saya," kata Umen. Umen mengaku kendala di awal berdirinya Go-Men ialah minimnya jumlah follower. Jumlah follower di media sosial memang memengaruhi jumlah pesanan konsumen. Semakin banyak jumlah pengikut, semakin banyak pula jumlah pesanan.
"Saya sering promo Go-Men di postingan akun-akun dengan jumlah follower yang banyak. Untungnya spam saya di posting-an tersebut tidak dihapus admin," ujarnya terkekeh. Go-Men kemudian mulai dikenal dengan promosi mulut ke mulut. Ia sering meminta pelanggan untuk mempromosikan Go-Men lewat berbagai media sosial mereka. "Jadi yang awalnya konsumen itu didominasi anak-anak UPI, sekarang ini sudah banyak juga anak Unpad yang memesan Go-Men," terang Umen saat ditemui di kampusnya.
Cari uang cepat Bagi Popy Rufaidah, Dosen Fakultas Ekonomi Unpad, bisnis itu begitu populer di kalangan mahasiswa karena bisa dijadikan alternatif untuk mencari uang mudah dan cepat. "Hanya dengan mengandalkan kendaraan roda dua yang dimiliki mahasiswa. Mereka potensial langsung menjalankan bisnis tersebut. Pelanggannya bisa langsung kawan-kawan kuliahnya," jelas Popy. Dihubungi di tempat terpisah, Popy mengatakan salah masalah besar di Indonesia ialah tidak tersedianya alat transportasi publik yang memadai dan menjangkau lokasi-lokasi tertentu.
Jasa ojek daring menjadi salah satu pilihan tepat dan cepat. Bahkan, label ojek mahasiswa memiliki kelebihan, yaitu kepercayaan karena yang menjalankannya mahasiswa yang dianggap masih memiliki idealisme. "Bila mahasiswa pengelola bisnis ojek mahasiswa dijalankan secara profesional, tepercaya, andal, responsif pelayanannya, ojek mahasiswa menjadi peluang bisnis yang memberikan peluang menguntungkan," ujar Popy.
Jemput aku dong! Harga dan keamanan ialah faktor utama yang menyebabkan mahasiswa lebih memilih ojek mahasiswa daring daripada ojek konvensional. "Jadi dari pengalaman gue ngobrol dengan konsumen, selain harganya yang berbeda jauh dengan ojek-ojek biasa, mereka merasa aman karena kita sama-sama mahasiswa. Kita juga langsung jemput kosan tanpa mereka harus jalan ke pangkalan," terang Gane yang menerapkan tarif sebesar Rp6.000 untuk sekitaran Jatinangor, plus dijemput langsung di tempat sang pemesan.
Bagi Umen, ojek mahasiswa daring sangat diminati karena sistem jemput bola. Penerapan tarif normal Go-Jek yang kini juga memasuki kawasan Bandung dan sekitarnya juga membawa rejeki tersendiri bagi Go-Men. "Dulu kan Go-Jek promo Rp10 ribu, kemudian Rp15 ribu kemana pun, sekarang normal lagi. Oleh karena itu, penumpang lebih memilih saya, hanya kuota orderan Go-Men itu terbatas," terang Umen. Bagi Nirbita Jovenisa, mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, ojek mahasiswa dairng juga jadi penyelamat saat pulang malam. "Apalagi ada beberapa yang melayani 24 jam. Jadi kalau gue kemana-mana terus pulang malam, itu gue enggak perlu takut harus pulang sendiri karena bisa pesan ojek dairng," ungkap Bita.
Batasi agar tak bergesek Ketika Muda tanya tentang potensi gesekan dengan ojek pangkalan (opang), Umen pun mengakuinya. "Makanya, saya dan para pengemudi selalu antisipatif untuk menghindari gesekan. Saya membatasi kuota antar-jemput agar opang juga bisa mencari uang," ujar Umen. Serupa dengan Go-Men, Gundala juga membatasi jumlah kuota. "Misalnya hari ini kami mendapat 10 pesanan, tapi di daerah yang sama, ya udah kami cut jadi 5 pesanan," terang Ganesha. Selain pembatasan layanan, Ganesha dan Go-men juga sama-sama menetapkan batas maksimal pengemudi. Jadi, follow mereka yuk! (M-1)