Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
MESKI Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim telah menampik rumor pembukaan kembali sekolah pada Juli, gelombang penolakan dari orangtua terus terjadi.
Pembukaan kembali sekolah, seperti dijelaskan Mendikbud, masih menunggu keputusan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Hampir serupa suara masyarakat, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Prof Unifah Rosyidi juga meminta pemerintah mengkaji lagi rencana pembukaan sekolah di masa pandemi.
Di sisi lain, Unifah juga mengakui bahwa proses belajar mengajar di luar sekolah ini tidaklah mulus. Sejumlah hal krusial penentu kualitas pendidikan selama pandemi, belum ditetapkan pemerintah. Berikut penuturannya kepada Media Indonesia dalam wawancara melalui sambungan telepon, Kamis (28/5):
Dari pantauan Anda, bagaimana berjalannya proses belajar mengajar dari rumah sejauh ini?
Pada umumnya, yang berjalan baik ada kawasan perkotaan. Ini ada kaitannya dengan tingkat ekonomi, kesadaran dan tingkat pendidikan orangtua, serta infrastruktur sekolah. Ini secara umumnya.
Sementara itu, jika berdasar survei yang dilakukan Kemendikbud, untuk jenjang pendidikan yang sudah menyerap dan berkembang secara baik terkait pembelajaran daring berada di tingkat SMA-SMK.
Sebelum pandemi, tingkat SD yang paling sedikit persentasenya secara statistik untuk akses pembelajaran daring. Untuk guru, yang sebelumnya hanya sekitar 300-an guru yang mengakses pembelajaran daring, kini selama pandemi mencapai 3 jutaan pengakses.
Untuk pengajar di kawasan 3T, mereka mengatakan memang sekolah diliburkan. Namun, mereka berkunjung ke rumah orangtua murid untuk memberikan pelajaran. Jadi, mereka tetap mengusahakan bertanggung jawab, tetap mengajar. Dari orangtua, ada cemas dan resah dengan rumor rencana masuk sekolah lagi. Bayangkan, ini 40 juta siswa, 3,3 juta guru, kalau keran ini dibuka, siapa yang bisa menjamin keselamatan mereka? Yang saya sampaikan ini niatnya untuk membangun, bukan untuk mengkritik. Jadi saya harap ada jalinan kerja sama antar lini.
Kendala apa yang banyak disampaikan para guru dalam proses mengajar dari rumah?
Ada keluhan dari pihak guru yang merasa bahwa belajar dari rumah semuanya diserahkan ke guru. Ini karena guru diserahkan untuk memberi ‘pembelajaran bermakna’ dan diminta jangan kasih banyak tugas. Namun, maksud pembelajaran bermakna itu juga tidak jelas ukurannya. Pembelajaran yang bermakna semestinya juga harus ada capaiannya. Misalnya, output-nya pada kualitas. Maka itu, kualitas apa yang akan dilihat?
Selain itu, kita juga belum memiliki instrumen jelas mengenai pembelajaran daring, semidaring, atau pembelajaran luring (offline) di masa pandemi ini. Kondisi ini berdasarkan wawancara saya dengan guru di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal), guru di sekolah internasional, dan juga beberapa ahli. Jadi, pendapat saya ini mewakili berbagai pihak.
Apa harapannya kepada pemerintah untuk perbaikan kualitas belajar dari rumah ini?
Seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemendikbud tidak ada apology dengan situasi darurat secara terus-menerus. Darurat itu juga ada waktunya. Kualitas itu kan juga mengikuti proses yang terjadi. Ini sulit diukur, harusnya tetap punya standar. Standarnya, ya standar saat terjadi pandemi, tidak boleh juga sebebas-bebasnya.
Oleh sebab itu, seharusnya sudah disiapkan langkah. Harus dibuat modelmodel pengajaran yang bisa jadi pegangan guru. Guru akan mengikuti kurikulum. Karena kementerian tidak bisa menjangkau guru yang berada di ujung sekolah, tentunya harus berkomunikasi dengan
dinas, daerah, dan ahli.
Selain model pengajaran, bagaimana soal kurikulum? Apakah perlu ada perubahan?
Restrukturisasi kurikulum agar para ahli yang lebih banyak berbicara. Saya membagikan pikiran saya bahwa dalam restrukturisasi kurikulum perlu ada yang berubah, dari konten hingga proses. Struktur kurikulum berubah juga berarti penyampaiannya berubah.
Saya termasuk yang ikut dalam pembentukan Kurikulum 2013 (K-13). Itu luar biasa kajiannya, melibatkan berbagai ahli. Kenapa tidak dilanjutkan itu saja, jangan merasa yang lama itu jelek. Apa yang kurang, diperbaiki. Jangan ditinggal.
Problemnya ialah pada konsistensi dalam melaksanakan kebijakan sampai di ujung paling depan, yaitu sekolah. Tepatnya di kelas. Sebagus apa pun kurikulum, hanya tinggal jadi dokumen sejarah jika tidak ditingkatkan kualitas guru dan sarananya, serta pemantauan yang terukur dan timbal baliknya.
Soal skill dari para guru, menurut Anda, skill apa yang harus krusial bagi guru saat ini?
Perjalanan menuju masa depan, tantangan sudah berbeda. Tentu skill digital literacy menjadi keharusan. Jadi, ada literasi yang harus dimiliki guru, yaitu basic literacy, digital literacy, dan human literacy.
Kenapa literasi? Karena ini cara memperoleh pengetahuan dan bagaimana cara agar bisa mengomunikasikan ke siswa. Guru harus memiliki literasi digital, juga literasi dasar untuk menganalisis.
Di samping literasi digital, dengan penguasaan gawai, juga punya alat analisis. Bagaimana memaksakan diri untuk mau membaca, melatih bagaimana menyimak, bagaimana mengomunikasikan analisis, dan penting memiliki human literacy. Ini berbicara bagaimana memanusiakan manusia, berbicara tentang karakter.
Bagaimana PGRI mendorong para guru untuk mencapai kemampuan tersebut?
Sebagai organisasi guru, yakni organisasi profesi, tugas kami ialah ikut bertanggung jawab meningkatkan kualitas para guru. Pada seri webinar yang berlangsung dari 2-20 Mei, ada 15 ribu lebih guru yang berpartisipasi. Artinya, ketika kita mengalami pandemi saat ini, terlihat ada gerakan. Ada potensi dan energi. Ada kebutuhan untuk meningkatkan kualitas sebab guru juga tidak mau eksistensinya dipersoalkan.
Ini sekaligus menjungkirbalikkan asumsi bahwa guru tidak mau belajar. Ketika kami membuka seri webinar selanjutnya, sudah ada 3 ribu yang mengantre. Ini menjadi pertanda bahwa gerakan peningkatan kualitas menemukan momentumnya.
Kami juga sudah melakukan pelatihan pada 15 tahun terakhir ini di 34 provinsi dan dibantu dari beberapa negara dan organisasi. Saat ini kami sedang menyiapkan empat proyek terkait literasi digital dan bagaimana human literacy juga bisa dikembangkan melalui suatu alat yang terukur.
Jika normal baru diberlakukan, menurut Anda, apa yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan?
Indonesia ini sangat luas. Beragam dari yang sudah sangat advance, sekolahnya sangat maju, sampai daerah yang baru bisa dijangkau selama sehari untuk ke kotanya untuk bersekolah. Karena itu, persoalan pelaksanaan new normal perlu dengar dari banyak pihak.
Selain itu, juga tentu harus mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan untuk kepentingan keselamatan, proses pembelajaran, serta finansial yang mendukung. Bagaimana memikirkan adanya ruang kelas baru, infrastruktur dari protokol kesehatan untuk siswa dan gurunya. Restrukturisasi kurikulum perlu disesuaikan. Harus sudah punya tahapannya. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved