Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
BANJIR yang melanda Jabodetabek membuat berbagai kalangan bahu-membahu untuk memberikan bantuan, tidak terkecuali para figur publik. Salah satu yang turut membuka posko bagi warga terdampak banjir dan untuk para relawan ialah Angga Dwimas Sasongko bersama rumah produksinya, Visinema.
Angga tergerak menjadi warga yang peduli dan baginya ini merupakan suatu kewajiban. Sementara itu, dengan adanya banjir Jabodetabek ini, menurut Angga, menjadikan tamparan bahwa isu perubahan iklim sudah seharusnya konsisten dijadikan narasi utama, termasuk oleh media massa.
Media Indonesia kembali berbincang dengan Angga pada Kamis (2/1). Membuka posko bantuan bukan kali pertama dilakukan Angga dan Visinema. "Kami telah melakukannya sejak Visinema berkantor di Cipete, Jakarta Selatan, sudah buat posko untuk bencana. Saat itu untuk Yogyakarta dan Mentawai. Kami percaya untuk bisa melakukan sesuatu," katanya.
Angga dan Visinema merasa mereka ialah bagian dari masyarakat. Salah satu visi konten Visinema ialah ingin mempromosikan resiliensi. Resiliensi buat Angga rupanya menjadi salah satu napas terbaiknya rakyat Indonesia. "Kita pernah terkena gempa, tsunami, semua yang menyebabkan kita bisa melaluinya karena masyarakat punya resiliensi yang besar sekali."
Dia menambahkan, pada saat seperti ini, bisa dilihat di banyak tempat, kecenderungan polarisasi politik, politik identitas malah tidak ada. "Kita bahu-membahu. Kalau bisa bantu, ya kita bantu. Menjadi nilai yang juga bisa dipromosikan oleh media atau figur publik agar kita sadar bahwa kita lebih baik dari sekadar mengumpat di media sosial, kita lebih baik dari sekadar polarisasi, rasialisme, dan politik identitas."
Suami Anggia Kharisma ini juga menilai aktivisme kerelawanan publik tidak bisa dituntut dan dibebankan pada setiap orang. Dia berpandangan setiap orang punya waktu dan kepentingannya. Jadi, tidak adil menuntut semua warga. Namun, menjadi active citizen, itu penting. "Artinya bahwa kita peduli, itu penting. Bukan hanya saat terjadi bencana, bagaimana kita belajar peduli memitigasi kebencanaan saat belum terjadi. Sadar mitigasi, sadar lingkungan, paham yang sedang kita hadapi," katanya.
Meski demikian, dia berharap pada kalangan yang lebih dekat dengan isu perubahan iklim bisa memberikan edukasi ke publik. Sama seperti tanggung jawab sosial sineas juga tidak berhenti saat sudah membuat film. "Bisa dimulai dari lingkup paling kecil, keluarga. Langkah paling sederhananya, bagaimana kita memilah sampah atau bagaimana orang dengan penghasilan lebih tinggi, kelas menengah ke atas, mau menggunakan panel surya sebagai sumber energi."
Dia pun mengungkapkan studi yang menyatakan bahwa orang-orang Indonesia paling tidak peduli dengan perubahan iklim. (Riset Yougov pada November-Desember 2015, dengan responden berasal dari 17 negara di Asia, Amerika Utara, Eropa, Timur Tengah, dan Australia. Indonesia memiliki persentase 11,4% menganggap isu perubahan iklim sebagai masalah serius, di bawah rata-rata global 12,8%).
"Namun, jangan pernah menyalahkan dulu rakyatnya, kalau sumber informasinya saja tidak menjadikan isu perubahan iklim sebagai narasi utama yang konsisten. Ada tanggung jawab media juga. Kalau tidak mau masuk ke ranah politik, kita sebagai bagian dari civil society, termasuk media massa, ada tanggung jawab kita. Media massa harusnya konsisten menjadikan isu perubahan iklim sebagai narasi utama sehingga publik juga bisa tertampar," tutupnya. (Jek/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved