Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Tanggung Jawab tidak Berhenti di Layar Perak

Fathurrozak
05/1/2020 08:10
Tanggung Jawab tidak Berhenti di Layar Perak
Sutradara Angga Dwimas Sasongko(MI/ADAM DWI)

NAMA Angga Dwimas Sasongko sebagai sineas Indonesia semakin terdengar luas. Inovasinya di layar sinema dan terobosannya menggali kekuatan nilai karya membuat Visinema punya kedudukan yang cukup diperhitungkan.

Peraih Piala Citra Film Cerita Panjang Terbaik untuk filmnya, Cahaya dari Timur dan Filosofi Kopi, dianggap sebagai salah satu pemantik berkembang suburnya industri kopi Tanah Air, mulai munculnya tren kedai kopi hingga tenarnya profesi barista beberapa tahun belakangan. Bagi Angga, tanggung jawab sosial sineas tidak berhenti karena sudah membuat film. Lebih jauh, ia memandang visi sineas untuk memiliki sikap dan aksi nyata yang terkadang tidak semuanya diselesaikan dengan jalan layar perak.

Media Indonesia berbincang dengan CEO Visinema pada Selasa (26/11) terkait dengan pandangannya terhadap industri perfilman Tanah Air berkaca pada para nomine FFI tahun ini. Selain itu, ia juga menyampaikan pendapatnya terkait dengan pentingnya sikap warga dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan media sosial sebagai medium membangun keterbukaan. Simak petikan wawancara kami.

 

Bagaimana Anda melihat perkembangan industri film Indonesia bila berkaca pada para nomine yang masuk di FFI 2019?

Saya merasa sekarang kita punya persaingan yang semakin baik. Semakin banyak film bagus yang juga laku secara komersial. Mungkin kita melihat dua atau tiga tahun sebelumnya merasa kok film yang laku ‘kayak begini’.

Menurut  saya, ini kemajuan yang luar biasa. Film maker akhirnya tidak hanya berpikir bagaimana membuat film yang laku, tetapi juga berusaha membuat film yang bagus. Penonton, menurut saya, memberikan banyak sekali pengaruh terhadap hal tersebut karena mereka saat ini jauh lebih pintar memilih untuk menonton film yang dianggap bagus.

Bukan sekadar pemerannya siapa atau terlihat bombastis dan kontroversial. Penonton hari ini benar-benar tahu memilih film yang baik itu seperti apa.

 

Jadi, bisa dianggap kita sudah memiliki selera pasar yang tidak berkiblat melulu Hollywood?

Kalau film kita mengikuti selera Hollywood, tidak akan punya film box office seperti Dua Garis Biru atau Dilan 1991. Film yang sangat Indonesia. Sementara itu, film Hollywood yang laku di sini, ya seperti Endgame (Avengers). Sangat berbeda.

Penonton Indonesia sudah cukup paham bahwa film Indonesia punya keunikan sendiri. Yang belum paham ialah penonton yang doyan nonton film-film Hollywood saja dan menganggap film kita tidak sebagus itu. Mungkin saja memang mereka tidak kasih kesempatan film Indonesia untuk mereka tonton.

 

Apakah juga sudah cukup untuk memberikan peluang bagi film-film di luar arus utama?

Yang memberikan ruang ialah bioskop. Ranahnya bukan ruang yang dipunyai publik, melainkan sudah masuk ruang komersial. Jadi, bukan soal penontonnya yang sudah cukup memberikan ruang untuk film-film alternatif.

Kalau ruangnya lebih banyak disediakan, mungkin penonton akan mulai melirik, atau belajar film yang hanya tidak dari film arus utama. Nah, ini kan harus ada ruangnya dulu.

 

Anda dengan Visinema tampaknya beberapa waktu belakangan getol dengan film-film berbasis hak kekayaan intelektual (HKI)?

Pasti kalau kita mengadaptasi karya, sebelumnya ada dua pertimbangan. Pertama, estetika. Karya tersebut bagus dan layak difilmkan, atau dekat dengan visi kita sebagai perusahaan dan pencerita. Selain pertimbangan estetika, tentunya juga punya nilai komersial. Pertama, tentu bentuknya kita membeli lisensinya. Kedua, di titik profit, akan punya back end. Jadi sistemnya bagi hasil.

Kalau berbicara terkait bisnis, idenya ialah diversifikasi. Sama seperti investasi. Tidak bisa ditaruh hanya di satu keranjang. Cara kita memandang konten tentu harus bertumbuh. Misalnya, bagaimana kita mengembangkan dari cerita pendek seperti Filosofi Kopi menjadi film panjang, lalu ada serialnya juga. Itu merupakan suatu proses pengembangan hak kekayaan intelektual (HKI) atau IP (intellectual property). Di Indonesia, menurut saya belum banyak yang melakukan. Kami ingin menegaskan bahwa bisnis kita ialah bisnis IP.

 

Dari film Filosofi Kopi juga akhirnya melahirkan tren dan dampak konkret sosial. Apa ini bisa diterapkan pada isu lain yang juga lebih krusial?

Waktu Filkop (Filosofi Kopi) belum rilis, tidak ada lebih dari 10 kedai di Makassar. Setelah rilis, jadi sekitar 300-an kedai. Data ini diakui juga oleh data yang dimiliki Bekraf. Lalu, tiba-tiba juga banyak barista yang bergaya seperti Ben, pakai apron kulit, topi rajut. Bagi saya, that’s the power of story telling. Itulah bagaimana kita berkontribusi terhadap dunia, melalui cerita.

 

Apakah ini juga bisa dilakukan untuk menyentuh isu lain yang lebih krusial? Harusnya bisa. Memang sekarang ketika kita bicara misalnya isu lingkungan, kegelisahan saya ialah ada banyak narasi besar yang kita hadapi di Indonesia. Namun, seberapa banyak kita mendengar, misalnya, emisi karbon menjadi narasi utama dalam perbincangan?

Sulit untuk berbicara sendiri bahwa kita bisa memulai, iya. Misalnya, terkait dengan plastik. Ada berapa banyak konsumsi plastik dalam suatu produksi film? Ini bisa kita hitung dan kurangi. Ada narasi besar yang juga harus di-lead oleh orang yang bukan sekadar saya sebagai sineas, melainkan oleh pemerintah.

Kita bisa untuk berharap story telling punya kontribusi terhadap sesuatu. Namun, berharap bahwa story telling bisa bargain something, tidak bisa. Misalnya, kita bisa menarasikan kopi Indonesia, tetapi untuk mengubah industrinya sudah menjadi tanggung jawab secara holistis.

 

Jadi yang memiliki dampak sosial secara konkret memang Filkop?

Saya rasa, dengan Surat dari Praha diputar di Simposium 65, hadir di situ, dan diskusi panjang mengenai itu. Atau kalau ke Ambon, ketika bertanya ke orang Ambon, saya rasa Cahaya dari Timur juga masih menjadi salah satu representasi terbesar mereka di peta nasional. Jadi, kita berusaha berkontribusi sebenarnya.

 

Anda juga memiliki fokus pada isu tertentu, dalam politik contohnya. Ini berusaha diselipkan lewat film yang diproduksi?

Saya melihatnya, buah pemikiran itu kan dimensional. Ada yang bisa dimasukkan ke film, ada juga yang tidak. Ada yang butuh aksi langsung terhadap suatu permasalahan.

Tidak semuanya diselesaikan lewat film. Tidak semua juga tanggung jawab sosial kita sebagai sineas selesai dengan menyelipkan muatan dalam film. Ada yang lebih penting lagi. Aktivisme bukan hanya lewat film, melainkan juga bisa dilakukan secara luar jaringan (offline) di luar film atau di luar media sosial.

 

Kabinet periode sekarang melebur Bekraf ke Kemenpar. Bagaimana tanggapan Anda?

Yang saya tidak mengerti, apa hubungannya antara ekonomi kreatif dan pariwisata? Tentu irisannya ada, tapi ya irisannya kecil saja. Saya tidak mengerti kenapa Bekraf yang sudah bagus sebagai fondasi, untuk bisa melihat ekonomi kreatif menjadi kekuatan baru ekonomi Indonesia, malah dilebur. Bukannya lebih dibesarkan.

Hari ini, ekonomi kita masih ditopang komoditas. Batu bara, kelapa sawit. Kita harus bisa shifting ke intangible economy. Berbicara itu, ya lewat IP sebagai ekonomi kreatif. Yang menghidupkan Jepang, Korea, saat ini ya ekonomi kreatif. Hari ini, Thailand, Singapura, sudah ke arah sana. Tetangga-tetangga kita arahnya ke sana.

 

Lalu, bagi Anda, seberapa penting warga ikut terlibat mengkritisi kebijakan pemerintah?

Penting! Kenapa? That’s the beauty of democracy. Demokrasi ialah kita yang harusnya juga ikut terlibat dengan negara ini.

 

Berdiskusi di media sosial cukup proporsional untuk membangun kritisisme tersebut?

Saya rasa, permasalahan terbesar Indonesia itu kan keterbukaan. Di satu sisi, ada sosial media. Ada upside dan downside-nya. Pada sisi upside, bisa menjadi tekanan untuk kekuasaan yang lebih terbuka dan transparan. Namun, pada sisi downside, ketika ‘pendidikan berbayar dan internet justru gratis’ hoaks, berita bohong berkembang menyasar ke orang-orang yang tidak memiliki bekal literasi.

Ya itu memang proses. Selalu ada dua sisi. Pada sisi downside, misalnya, ada media yang entah siapa penulis dan susunan redaksinya tidak jelas menjadi rujukan banyak orang karena literasi media kita rendah. Pada sisi upside, mungkin seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, diskusi saya dan Mas Eka (Kurniawan). Ada dua orang yang punya pendapat dan bisa saling belajar dari pendapat teman-teman. (M-4)

___________________________________________________________________

Biodata:

Nama lengkap: Angga Dwimas Sasongko

Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 11 Januari 1985

Profesi: Sutradara, produser

Jabatan: CEO Visinema

 

Penghargaan

Piala Citra untuk Film Cerita Panjang Terbaik FFI (Cahaya dari Timur: Beta Maluku)

Piala Maya untuk Penyutradaraan Terpilih Piala Maya (Cahaya dari Timur: Beta Maluku)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya