Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

PUTU WIJAYA Toleransi bukanlah Kekalahan

Abdillah Marzuqi Fathurrozak
16/12/2018 05:55
PUTU WIJAYA Toleransi bukanlah Kekalahan
(FERI LATIEF)

Ia melihat banyaknya paham radikal membuat bangsa kita tidak cukup hanya mengandalkan sejarah kebersamaan. Harus ada gerakan untuk ketahanan nasional.

SIKAP Presiden Jokowi yang berjongkok saat memberikan penghargaan kebudayaan kepada Putu Wijaya, minggu lalu, memang pantas membuat kita tersentuh. Bukan hanya soal kerendahan hati sang Presiden, melainkan juga mengingatkan akan kiprah panjang Putu untuk bangsa ini.

Lahir di Tabanan, Bali, 74 tahun lalu, Putu sedikitnya telah melahirkan 30 novel, 40 naskah drama, ratusan esai, belasan naskah sinetron dan film, hingga sekitar seribu cerpen. Lewat karya-karyanya, pria yang pernah menjadi wartawan tersebut bukan hanya menyuguhkan kekuatan sastra, melainkan juga nilai-nilai budaya dan kebangsaan kita.

Lalu, bagaimana sang budayawan besar ini melihat karakter budaya masyarakat saat ini? Mampukah nilai-nilai budaya asli kita menjadi kekuatan dalam menghadapi era keterbukaan sekaligus maraknya paham radikal? berikut wawancara dengan Media Indonesia yang dilakukan dalam dua kesempatan berbeda.

Bagaimana tanggapan Anda soal seruan Presiden Jokowi, pada Minggu (9/12), tentang pentingnya toleransi dan kolaborasi dalam menghadapi lalu lintas kompleksitas budaya?

Kolaborasi ialah kerja sama untuk menggarap sesuatu. Dalam masyarakat yang majemuk, bisa jadi sesungguhnya (mereka) bertentangan dalam hampir semua hal, kecuali satu hal untuk menghadapi yang mereka anggap lawan. Untuk itu, mau tak mau mereka terpaksa toleran. Kalau tidak, kolaborasi bisa cacat atau gagal.

Toleransi tidak diartikan kalah. Bukan juga mengalah. Namun, menghargai, menghormati keberadaan, keikutsertaan, dan partisipasi pihak lain, tanpa mempersoalkan latar belakang dan motivasinya, sejauh itu memang menyempurnakan atau melengkapi output (hasil) kolaborasi seperti yang direncanakan.

Bagi masyarakat monokultur, hal itu mungkin seperti tak masuk akal. Namun, bagi kita orang Indonesia yang terbiasa hidup damai dalam perbedaan itu sangat lumrah. Perbedaan bagi kita bukan pertentangan yang dapat mengganggu kerja sama, tapi nuansa yang memperkaya. Kalau Presiden mengingatkan, itu sangat wajar karena belakangan ini ada gejala perbedaan disulut-sulut dengan maksud menghancurkannya (kedamaian).

Apakah budaya kita cukup tangguh menghadapi infiltrasi budaya luar, baik budaya modern maupun yang radikal dan ekstrem?

Pada dasarnya kita tangguh. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita bisa bertahan sebagai NKRI sampai saat ini? Hanya saja, kini ada usaha gencar untuk menyerang kita dengan berbagai cara.

Kalau dulu musuh kita kolonialisme, kini kita sudah bebas dari penjajahan. Namun, penjajahan budaya justru bangkit. Di samping itu, berbagai paham ekstrem dan radikal diekspor ke kita dan diimpor orang kita sendiri yang menginginkan menegakkan citra baru. Lawan itu bekerja secara sistematis. Untuk itu kita tidak bisa lagi hanya percaya bahwa sejarah bersama sudah cukup menjadi pertahanan. Harus ada gerakan, kampanye, berbagai usaha swadaya, dan pendidikan ketahanan nasional. Cetak biru pendidikan kita tak cukup lagi hanya 'untuk mencetak manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif'. Harus ditambah dengan 'berkarakter, berkepribadian, atau berbudaya Indonesia".

Bagaimana cara menguatkan karakter budaya Indonesia di era digital?

Mengingat kita ialah masyarakat yang multikultur, dalam setiap satuan masyarakat pasti ada kearifan lokal yang bisa dijadikan sumber. Tentu saja untuk itu, pertama dilakukan inventarisasi kearifan lokal setempat. Kemudian dilakukan reinterpretasi. Selanjutnya, reposisi dan revitalisasi. Itu semua sudah pernah direkomendasikan Kongres Kebudayaan 2003 di Bukittinggi, tapi tak pernah dilaksanakan.

Menurut hemat saya, jangan membuat generalisasi dalam kebijakan pendidikan ketahanan budaya. Kalau toh diperlukan, cukup satu dasarnya, yaitu gotong-royong.

Digitalisasi ialah bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan. Bila cetak biru pendidikan kita tak hanya sibuk mencetak orang cerdas yang mampu berkompetisi, tapi juga mengupayakan manusia Indonesia berbudaya, ancaman digital, bahkan era 4.0 juga akan dengan teratasi dengan cara kita sendiri, tanpa harus menutup diri.

Bicara teater, apakah teater sudah cukup ikut memainkan peran di masyarakat?

Teater itu kan gabungan antara bermacam kesenian dalam bentuknya, kemudian kalau masuk dalam naskah, ada seluruh ilmu terangkum di dalamnya, yang divisualkan di atas panggung. Menjadi karya sastra dulu, lalu divisualkan, segala macam aspek ada. Teater itu multifungsi, alat yang bisa digunakan untuk segala macam. Di negara-negara yang bergejolak, tetater sangat aktif, menjadi gerakan bawah tanah, untuk memunculkan suara. Namun, ketika keadaan mulai tenang, jadi agak berkurang.

Teater itu juga seperti perlawanan batin. Melawan tidak dengan senjata, tetapi dengan peristiwa, hiburan, dan tontonan. Lebih dahsyat daripada senjata karena tidak terluka, tetapi batinnya disiksa, inilah merupakan suatu bibit perubahan.

Di Bali, ada satu bentuk teater yang akan dimainkan kala ada wabah. Tidak berarti ini klenik, tetapi dengan adanya ini maknanya, ketika dipentaskan, masyarakat jadi aware, berhati-hati, dan teater tradisi ini jadi membantu.

Sebagai penonton, sebenarnya sudah sangat terdidik lewat teater tradisi. Dia (teater tradisi) sudah mendidik masyarakat untuk menyimak apa yang tersirat.

Bagaimana Anda melihat apresiasi masyarakat terhadap teater?

Saya berbeda pendapat soal apresiasi masyarakat kurang terhadap teater. Masyarakat kita apresiasinya sangat tinggi, hanya dalam berkekspresi kita kurang mampu memakai apresiasi mereka.

Saya juga ingn kembali ingatkan bahwa kita ini majemuk. Kecocokan gaya teater ya banyak. Kita tidak bisa menggeneralisasikan definisi kecocokan gaya berteater di Indonesia. Bagi yang cocok dengan gaya Barat, silakan lakukan dengan sebaik-baiknya, jangan mencela yang lain, begitu juga yang suka dengan gaya teater tradisi. Jangan kita ukur gaya Barat dengan ukuran teater tradisi, sebaliknya juga.

Bagaimana tantangan yang dihadapi dunia teater Indonesia mendatang?

Kehidupan teater masih dipenuhi segi produksi saja. Manajemen belum ada, investor belum ada yang mau menaruh uang di sana, dan mengganggap itu sebagai bisnis belum ada.

Sumber hiburan, sekarang macam-macam, bisokop, mal, kafe, atau bahkan liburan ke luar negeri, sehingga saingan hiburannya banyak.

Tantangannya tentu manajemen kesenian yang baik dan sampai saat ini masih sedang berusaha membentuk pasarnya. Mental orang teater juga belum sebagai jalan profesi. Teater masih dianggap sebagai kesenangan dan hobi. Ketika teater jadi pekerjaan dan dituntut terus seumur hidup, siap enggak?

Pemerintah berusaha memasukkan teater ke kurikulum, ini langkah yang bagus. Namun, bagaimana mengajarkannya, apa yang diajarkan, ini jadi suatu pertanyaan. Saya takut kurikulum teater nanti menjadi usaha untuk membuat murid-murid jadi pemain teater.

Itu saya kira salah. Ekstrakurikuler teater seharusnya untuk memberikan keseimbangan jiwa pada mereka. Kalau ada yang jadi pemain itu bonus, kalau tidak ada, itu juga bukan gagal. Teater pada dasarnya memberikan keseimbangan batin, menjadikan harmoni jiwa, dan bisa menyesuaikan diri.

Biodata

Nama: I Gusti Ngurah Putu Wijaya

Tempat, tanggal lahir: Tabanan, Bali, 11 April 1944

Pendidikan

- Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

- Akademi Seni Drama dan Film, Yogyakarta.

Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta.

Kiprah teater

- Pendiri dan pimpinan Teater Mandiri (1974-sekarang).

- Bergabung dengan Bengkel Teater (1967-1969).

Beberapa karya

Novel

- Jprut (2017)

- Mala Tetralogi Dangdut (2008)

- Goro-Goro (2002)

Kumpulan cerita pendek

- Gres (1982)

- Es (1980)

- Bom (1978)

Film layar lebar

- Cas Cis Cus

- Zig Zag

- Plong

Sinetron

- Dukun Palsu

- Pas

- None

Karya teater

- Hum-Pim-Pah

- Awas

- Edan

Penghargaan dan award

- Penghargaan kebudayaan di acara Kongres Kebudayaan Indonesia 2018.

- Tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma (2010)

- Tanda kehormatan Satyalancana Kebudayaan (2004)

- 3 Piala Citra untuk skenario (skenario terbaik film Perawan Desa 1978, skenario terbaik film Kembang Kertas 1985, dan skenario terbaik film Ramadhan dan Ramona 1992).



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya