Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
KEBERAGAMAN ialah ciri khas Nusantara sejak zaman dahulu. Sejarah mencatat banyak pelawat asing berkunjung ke Nusantara kagum dengan keanekaragaman budaya, agama, suku, dan bahasa. Sebut saja Ibnu Batuta, Rabindranath Tagore, Yi Jing, Laksamana Cheng Ho, dan Tomee Pirez yang mendokumentasikannya dalam berbagai literatur dan catatan sejarah.
Sayang, banyak masyarakat Indonesia yang melupakan sejarah itu. Mereka lupa Indonesia lahir dari keberagaman nilai luhur sumbangan dari nilai-nilai agama, kesukuan, budaya, dan semua menyatu menjadi Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan, ada orang-orang yang ingin mengganti Pancasila dan tidak suka dengan kultur keberagaman Indonesia. Kepada mereka, Guru Besar, dan Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Djoko Suryo memintanya kembali ke khitah dan menyadari kekeliruannya. Berikut petikan wawancara Media Indonesia tentang sejarah identitas kultur Indonesia dengan Profesor Djoko Suryo saat berkunjung ke rumahnya, Senin (26/11).
Bagaimana sejarah identitas kultur Indonesia pada zaman nenek moyang kita?
Karakter Nusantara waktu itu memiliki identitas yang unik, kebinekaan, pluralitas, dan multikulturalisme.
Dengan identitas itu, memiliki kemampuan menyerap dan mengadaptasi elemen yang ada di luar lalu diubah dan diolah menjadi konstruksi corak kebudayan yang lebih memilik karakter kenusantaraan atau keIndonesiaan.
Identitas ini mengagumkan bagi pelawat dari luar. Karena adanya keunikan dan kemampuan mengolah dan menguyah unsur-unsur yang datang dari luar padahal berbeda, tapi mampu dikembangkan dan menjadi satu bangunan baru yang lebih bermakna dan lebih indah. Itu salah satunya.
Seperti pelawat dari India, Rabindranath Tagore. Tagore melihat adanya keunikan di Nusantara, misalnya budaya atau ajaran Hinduisme dan Buddhisme di India. Keduanya tidak akur dan berakibat Buddhisme tidak bisa hidup di India. Lalu, hijrah ke tempat lain termasuk ke Indonesia. Nah, di Indonesia, Hinduisme dan Buddhisme bisa berdampingan dan hidup bersama. Keduanya melahirkan satu wilayah kehidupan yang membangun kebudayaan dan kehidupan baru yang lebih harmonis.
Tagore terpana dengan fenomena itu apalagi ketika dia melihat bangunan megah Borobudur yang menjadi tempat suci orang Jawa, padahal bangunan seperti itu di India sudah tidak ditemukan lagi. Dia hormat kepada masyarakat Nusantara saat itu yang memiliki kepribadian luhur, berbudaya tinggi, dan peradaban yang luar biasa.
Saking kagumnya, Tagore belajar membatik dan kesenian lainnya dan itu diajarkan dalam kurikulum lembaga pendidikannya di India. Tagore juga belajar cara mengharmonisasi keberagaman seperti Nusantara.
Dengan identitas itu, lalu bagaiamana situasi politik identitas atau politik agama saat itu?
Nah, di sini terlihat keunikannya. Dalam kehidupan perpolitikan saat itu, terjalin hubungan yang baik dan saling menghormati. Misalnya, antara kerajaan satu dengan lainnya memiliki hubungan. Ada komunikasi interaktif yang berlandaskan satu kepercayaan yang bersifat saling menghargai, menghormati atau toleran. Agama tidak dilihat sebagai pembeda yang hakiki dan mendominasi, tapi faktor perekat masyarakat untuk menjalin komunikasi dan membangun harmonisasi.
Seperti waktu Majapahit, agamanya ada Syiwa dan Buddha, dijadikan satu departemen. Itu cikal-bakal departemen agama di Indonesia. Menjadi pemersatu dan perekat rakyat Majapahit yang wilayahnya luas dan beragam sehingga menjadi Bhinneka Tunggal Ika, lalu disebut Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Mangrwa.
Pelawat asing mengagumi keberagaman kita. Apakah yang punya kultur keberagaman Bhinneka Tunggal Ika cuma Indonesia?
Kita punya kekhasan, Bhinneka Tunggal Ika yang mampu membingkai, membalut, dan mengikat keberagaman. Bhinneka Tunggal ika bisa menyelamatkan kehidupan masyarakatnya tidak sampai menuju konflik dan kehancuran. Contohnya banyak, coba lihat di Asia, Korea, dan Vietnam. Mereka juga memiliki nilai, tapi tidak memiliki keistimewaan seperti Indonesia. Kita itu terus dihadapkan konflik, tapi masyarakat kita punya kearifan.
Menurut sejarah identitas kultur Nusantara, bagaimana dengan kondisi sekarang?
Ada pergeseran-pergeseran dari perubahan modernitas dan teknologi yang membuat hubungan antarmanusia menjadi kurang harmonis. Modernisasi dan tekonologi canggih tadi tidak mampu menjadi perekat dan komunikasi, serta tidak ramah dalam menjadi media pengikat masyarakat, akibatnya terjadi kerenggangan. Tidak ramah tekonologi itu malah mendorong orang bersikap egois dan individual. Dulu kan kental komunikasinya dalam membangun kolektifitas dan kebersamaan sehingga keharmonisan bisa tercipta.
Apakah ini artinya kita mulai melupakan identias kultur Indonesia?
Iya. Itu gejala yang terjadi. Mulai tergeser melupakan atau menyimpang dari khitah dan naluri.
Apa berarti kita kurang mempelajari keindonesiaan, dan kurang mengeksplorasi nilai-nilai kultur sejarah Indonesia?
Betul. Kita mengabaikan mengenai makna Bhinneka Tunggal Ika, bahwa kita itu masyarakat yang beragam, majemuk. Itu harus kita pahami dan laksanakan. Kita perlu mempelajari sejarah kebinekaan itu. Nah, kita umumnya kurang piawai kurang memperhatikan untuk mempelajarinya. Kita menganggap itu sama dan sudah ada dengan sendirinya. Itu sebetulnya kekurangan dan kesalahan kita masa kini.
Masyarakat kita kurang mengenali esensi pada perbedaan, lokalitas daerah yang memiliki perbedaan yang perlu dipahami. Kalau paham, kita bisa melakukan sikap yang tepat, membangun hubungan yang lebih kukuh untuk menjadi satu bangsa. Masyarakat kita tidak piawai melihat perbedaan dan sikap menghormati, toleransi, membangun harmonisasi. Masyarakat kita malah menjadikan perbedaan untuk melakukan pertentangan, tidak harmonis lalu melakukan pertentangan identitas apa saja dan berujung pada konflik. Itu semua karena kurang memiliki kepiawaian untuk memahami yang ada.
Lantas apa yang harus kita lakukan?
Kita harus membaca ulang literatur sejarah agar memahami kembali sejarah kultur Indonesia. Nah, mungkin itu yang harus ditinjau kembali, bangsa Indonesia harus menyadari kembali kita harus berhenti sejenak, merenung untuk membetulkan yang keliru. Meluruskan kembali ke arah khitah atau paradigma lama yang dimiliki nenek moyang. Nenek moyang kita itu, meramu unsur-unsur budaya yang datang.
Mereka mengelolanya dengan prinsip adopsi, adaptasi, dan hibridbisasi. Hal itu dilakukan supaya bermanfaat menjadi pedoman perjalanan kehidupan manusiannya. Baik yang bersifat material maupun spriritual, terutama dalam perjalanan mengatur kehidupan sipritual.
Ini sangat penting, unsur-unsur moralitas spriritualitas yang dilandasi prinsip budaya lama tetap masih harus dipakai menjadi pedoman sebagai direction untuk memilih dan memilah.
Apa contoh konkret dari berhenti sejenak dan berpikir ulang?
Seperti yang dilakukan teman-teman di acara Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF). Mereka mengingatkan kembali dengan membaca ulang atau merenung ulang apa yang dimiliki dan dilakukan nenek moyang dalam menjalani kehidupan. Hidup terus bergerak, dinamis, dan berubah. Dari dulu pun selalu terjadi perubahan, Nusantara itu kan menjadi tempat persilangan pertemuan dari berbagai unsur budaya dan untuk membuat Nusantara dinamis harus melalui perubahan karena menerima berbagai unsur. Tapi dengan prisnisp nenek moyang kita yang bisa memilih dan memilah, mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, mana yang bernilai dan tidak bernilai, maka dengan prinsip itu nenek moyang kita bisa mengambil yang lebih tepat untuk menjadi pengangan hidup.
Nah, orang sekarang, karena tidak memiliki kesemptan untuk merenung dan cerdas memilih-memilah, semua dianggap sama. Akhirnya barang baik dianggap buruk dan buruk dianggap baik. Itu karena kita kehilangan kecerdasan yang hakiki identitas dari bangsa kita.
Mengapa kita susah memahami?
Ada fenomene budaya teknologi, komunikasi yang sekarang menghambat kita merenung. Untuk membaca kembali memerlukan adanya ruang, suasana, ada habitus yang perlu dimiliki, diciptakan. Kehidupan sekarang tidak memiliki ruang habitus itu. Itu yang harus diciptakan. Ini perlu menjadi sebuah sikap, budaya, kapan ada waktu untuk mengingat kembali, merenungi kembali dan mengevaluasi. Tradisi seperti ini yang sekarang hilang, jadi perlu ada tradisi baru supaya bisa membaca ulang sejarah kita dengan satu strategi baru.
Apakah karena generasi sekarang mengabaikan proses belajar dan ingin instan?
Persis! Itu memang bedanya kita yang cenderung sudah instan. Modernitas itu mencitpakan budaya instan yang tidak memberikan ruang bagi kita untuk merenung dan membaca ulang sejarah kultur Indonesia. Jadi perlu ada strategi budaya yang baru bagi masyarakat dan negara untuk memiliki cara yang tepat itu bagaimana. Seperti kegiatan literasi BWCF.
Anda menyebut adanya pertentangan identitas, apakah ini meniru politik identitas di Amerika atau Brasil, atau pertentangan ini selalu ada dalam sejarah Indonesia?
Saya kira pusatnya di barat, Amerika, juga Eropa. Di sana juga berhadapan dengan pluralitas yang banyak. Strategi paradigmanya ialah politik identitas. Itu yang diciptakan mereka. Mereka sebetulnya sama, ingin memiliki satu model multikulutral, namun itu baru disadari dan mencoba menciptakan strategi baru, tidak seprti kita. Kalau kita sudah memiliki sejak lama. Justru pandangan multikultural itu sudah lebih dulu kita miliki, bukan hal yang baru. Esensinya sama, hanya beda istilah. Amerika berusaha menjual ciptaannya. Tapi sebetulnya tidak cukup halus seperti yang kita miliki. Di sana landasan idiologi individualismenya tinggi, kalau di kita kan identitasnya koletivitas dan kebersamaan.
Dalam sejarahnya, nenek moyang kita itu selalu mencari yang cocok, yang sesuai, selaras. Oleh karena itu, prinsip selaras serasi, equilibrium, keseimbangan itu menjadi prinsip dalam identitas kultural nenek moyang kita. Nenek moyang kita dulu pandai melakukan harmonisasi kultur sehinga tidak banyak konflik, kalau ada tapi bisa diluluhkan dan menjadi satu integrasi, satu persesuaiain. Bisa dilihat dengan berbagai karya budayanya, sastranya bagaimana epos, epik India yang datang ke Nusantara itu tidak diterima begitu saja atau ditelan tanpa dikunyah. Nenek moyang kita menelan tapi mengunyahnya terlebih dahulu.
Diambil intinya lalu digubah karena tidak semu sama dengan kultur Nusantara, juga dalam kisah Mahabarata dan Ramayana.
Saat ini muncul gerakan menjadikan Indonesia sebagai Negara Khilafah, apakah itu bagian masyarakat yang lupa pada kultur Nusantara?
Betul. Mereka terpengaruh gerakan transnasional. Masyarakat Nusantara dulu tidak seperti itu. Yang datang ke Nusantara waktu itu berbeda-beda. Tapi nenek moyang kita memiliki kencanggihan kemampuan untuk tidak gumuman (heran), ojo gumunan ojo grusa-grusu (tidak boleh heran dan harus sabar), itu nenek moyang kita. Tidak gumuman dan terpukau langsung menganggap yang datang itu terbaik. Tidak. Mereka tetap bisa menyaring mana yang cocok dengan kultur Nusantara.
Jadi gerakan atau masyarakat yang ingin mengubah kultur kebergaman Nusantara ini apa tidak memahami sejarah?
Nah itu, akibat tidak paham kultur Nusantara. Mereka tidak memahami alur sejarah bangsanya karena kekurangan kemampuan untuk merenung memilih dan memilah apa yang datang sehingga mereka kehilangan kesadaran sejarah dari nenek moyangnya. Nenek moyang yang melahirkan mereka, yang membidani lahirnya Indonesia sehingga ada kecenderungan mereka melupakan nenek moyangnnya. Jadi mereka meninggalkan sejarah, konsep Jas merahnya luntur. Masyarakat tidak cerdas, tidak lantip, tidak pintar. Nenek moyang kita itu dulu cerdas, itulah yang menyebabkan Nusantara jadi Indonesia. Bhinneka Tungal Ika menjadi Pancasila. Itu kan penjelmaan-penjelmaan reinkarnasi dari spiritualitas, moralitas dari nenek moyang Nusantara kita. Ini identitas kita, jangan diubah.
Apakah gerakan itu bisa mengubah tatanan sejarah Indonesia?
Kalau tidak hati-hati bisa juga. Mereka mencari kelengahan. Ketika lawannnya tidak ingat dan lemah. Gerakan itu mencoba mereduksi ingatan sejarah dan terus melakukan pelemahan kolektif memori kita. Ya, ada kecenderungan mereka mereduksi kolektif memori masayarakat kita. Jadi bagaimanapun juga kolektif memori kesejarahan kita harus kita kembangkan melalui pendekatan strategi yang baru.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Saya kira perlu ada starategi budaya. Strategi pradigman baru yang harus masyarakat lakukan, baik secara politik atau Negara yang memiliki kemampuan membuat kebijakan, juga masyarakat kita yang memiliki kesadaran supaya bisa ikut menyelamatkan. Jadi harus ada satu kesadaran supaya selamat. Dari situ perlu ada gerakan yang mengakar kuat pada kesadaran yang didasarkan pada filosofi moral dan spritual. Kita perlu melakukan gerakan tanding, counter culture.
Jadi gerakan itu mesti dilawan dengan gerakan?
Penciptaan counter culture atau budaya tanding yang menandingi sempalan-sempalan itu, bagaimana supaya mereka tidak kuat, tidak menjadi. Kita harus memenangkan gerakan yang positif ini. Kalau dibiarkan kita akan dibawa ke jurang negatif. Kita harus teguh berpegang pada lentera.
Sebagai sejarawan, apa harapan Anda dengan kondisi sejarah kultur kita saat ini?
Kita perlu memegang kembali khitah kesejarahan Indonesia yang telah membuktikan kita bisa berlanjut berkesinambungan hidup dari masa lampau sampai masa kini, yaitu dari Nusantara menjadi Indonesia. Kita juga mendapat tantangan yang pernah dihadapi generasi nenek moyang. Tapi mereka bisa menghadapi dengan cerdas dan tangguh.
Oleh karena itu, salah satu unsur, yaitu bagaimana melalui membaca ulang sejarah kita, bisa menjadikan bangsa kita lebih berperadaban dan bermartabat. (M-3)
_________________________________________
BIODATA
Nama: Djoko Suryo
Tempat, tanggal lahir: Pekalongan 30 Desember 1939
Istri: Suryaningsih
Anak: 7 (5 putra, 2 putri)
Cucu: 10 (6 putra, 4 putri)
Pendidikan
- 1985 S-3 Monash University, Victory, Australia
- 1985 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Pekerjaan
- 2007-sekarang Guru Besar Pascasarjana Universitas PGRI Yogyakarta
- 2005-sekarang Guru Besar Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
- 2005-2007 Guru Besar Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
- 2005- sekarang Dosen/Guru Besar Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved