Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
NAMA Bambang Hero Saharjo beberapa minggu terakhir ramai dibicarakan. Ia digugat PT Jatim Jaya Perkasa (JPP) sebesar Rp510 miliar karena perannya sebagai saksi ahli pada kasus pembakaran hutan dan lahan seluas 1.000 hektare di Rokan Hilir, Riau. Namun, tuntutan itu dicabut pihak penggugat dan dikabulkan pengadilan.
Berbagai dukungan untuk Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini terus mengalir tanpa henti. Bambang menilai apa yang dilakukannya semata-mata karena tugas dan tanggung jawab moral sebagai pendidik dan membela lingkungan, serta tetap independen dan ilmiah apapun tantangan yang dihadapi.
Bagaimana sebenarnya latar belakang kasusnya tersebut? Bagaimana perkembangan kebakaran hutan di Indonesia saat ini? Berikut petikan wawancara eksklusif Media Indonesia dengan Bambang Hero Saharjo di Bogor pada 18 Oktober 2018.
Gugatan terhadap Anda akhirnya dicabut. Bagaimana tanggapan Anda?
Di satu sisi saya senang, tapi juga miris karena pihak PT JPP mungkin akan mencoba lagi menggugat. Beberapa kolega saya di luar negeri juga ikut senang karena ahli sudah sepantasnya tidak digugat apalagi yang bersangkutan itu memang kompetensinya di situ.
Untuk diplomasi luar negeri juga baik, karena bagaimana mungkin perusahaan yang nyata-nyata sudah dinyatakan bersalah meminta untuk membatalkan itu dan itu sama saja ingin melegalkan tindakan pembakaran yang nyatanya berdampak buruk.
Kalau kasus ini dilanjutkan, akan kontra produktif dengan diplomasi pemerintah di luar negeri yang menyatakan akan memberikan sanksi yang berat terhadap para pembakar, artinya dengan melanjutkan sama saja ingin melegalkan pembakaran. Saya rasa para buyer di luar negeri juga paham tentang hal ini.
Bisa Anda jelaskan bagaimana sebenarnya awal mula kasus ini?
Saya pada 2013 diminta KLHK melakukan verifikasi atas kebakaran di PT JJP, permintaan tersebut masuk ke dekan dan kemudian dekan menunjuk saya untuk melakukan tugas tersebut. Akhirnya kami langsung terjun ke lapangan. Saat itu ada dua kasus, yaitu perkara pidananya dan perkara perdatanya yang dikoordinasi KLHK.
Lalu, kami berproses dan proses untuk perkara pidananya ialah pelaku fungsional (perusahaan), di mana kita tahu pada putusan Pengadilan Negeri (PN)-nya yang tingkat pertama itu bersangkutan divonis lalai, tapi ditingkat banding di Pengadilan Tinggi Pekanbaru putusannya itu dianulir menjadi sengaja melakukan pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang mengakibatkan kebakaran seluas 1.000 hektare (ha).
Kemudian, babak keduanya diproses lagi pidananya untuk korporasi dan korporasi diwakili salah satu direkturnya. Belakangan kita tahu sudah berkekuatan hukum tetap dan pihak perusahaan JJP itu melakukan PK (Peninjauan Kembali), PN menolak PK itu.
Di sisi lain, gugatan perdata di PN Jakarta Utara berjalan. Pada putusan tingkat pertama, PN mengabulkan hanya 120 hektare dari gugatan 1.000 ha tersebut. Kenapa dia terima 120 ha? Kelihatannya 120 ha itu berasal dari laporan perusahaan di mana indikasi kebakaran hanya terjadi 120 ha, dengan kerugian yang kita ajukan saat itu hampir Rp400 miliar, tetapi untuk 120 ha itu majelis membuat perhitungan sendiri, hanya sekitar Rp20 sekian miliar.
Kemudian, KLHK mengajukan banding dan akhirnya diputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, jadi 1.000 ha dengan kerugian sesuai hampir Rp400 miliar. Kemudian pihak JJP mengajukan kasasi, pada akhirnya menguatkan putusan pengadilan tinggi.
Seperti biasanya setiap sore saya googling mencari informasi baru dan saya menemukan informasi saya digugat di PN Cibinong oleh PT JJP pada 17 September 2018. Setelah itu, saya sampaikan ke KLHK dan mendapat respons positif dari kementerian dan mereka men-support penuh atas gugatan ini.
Bagaimana tanggapan Anda terhadap urgensi/tidaknya perlindungan saksi ahli? Apakah gugatan yang menimpa Anda tersebut dapat menjadi preseden buruk di masa mendatang yang mungkin dapat menciutkan para pembela lingkungan lainnya?
Kita berharap tadinya dengan Pasal 66 di UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sudah jelas dikatakan ahli itu tidak bisa dikriminalisasi, dipidana, dan lain sebagainya. Hal itu juga tercantum dalam UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU LPSK tidak ada juga. Jadi, ini seperti diuji UU tersebut masih dianggap atau tidak dengan adanya kasus ini.
Bagaimana soal tren karhutla di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir?
Saya memberikan apresiasi yag tinggi kepada Pak Presiden melalui KLHK bahwa di tahun-tahun ini kebakaran sudah drop jauh sekali, bahkan 80%-90%. Apakah itu karena disumbang hujan yang banyak, serta di-support pergerakan yang banyak di lapangan, moratorium. Lalu, di 2016 keluar perpres mengenai Badan Restorasi Gambut yang menurut saya pertanggungjawaban luar biasa dari presiden sekarang, karena ditargetkan pada 2030 kita akan mengurangi emisi karbon 29%. Badan itu sampai 2020 bertanggung jawab merestorasi 2 juta ha gambut yang terbakar pada 2015, paling tidak pada tujuh provinsi dan aturan-aturan turunan yang dibuat. Inilah yang saya sebut penyelesaian yang terencana dan sistematis.
Jadi, sudah mulai tampak hasilnya, walaupun ada kebakaran kalau kita lihat negara lain juga banyak juga, tapi secara keseluruhan tiga tahun belakangan ini sudah sangat jauh sekali menurunnya. Persentase dropnya itu jauh sekali, misalnya 2016 ke 2017 itu maksimum range-nya 80%-90%, bisa turun 60% saja sudah luar biasa, sedangkan ini sampai 80%-90%.
Peran korporasi dan masyarakat lokal dalam karhutla sendiri bagaimana?
Saya terlibat dalam penanganan kasus ini sejak 2000. Kita bisa melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa korporasi itu dengan merendahkan masyarakat melegalkan pembakaran. Kenapa saya sebut seperti itu?
Biasanya setelah membakar nanti diklaim itu perbuatan masyarakat. Tetapi dengan kecanggihan teknologi saat ini, baik citra satelit, land sat (land satellite), atau informasi teknik yang lain kita bisa memastikan informasi itu.
Saya tahu sejak kapan terjadi kebakaran di sebuah tempat, pada tanggal berapa, pukul berapa, semuanya bisa terdeteksi, pergerakannya ke mana, termasuk apakah kebakaran tersebut berdiri sendiri atau bagian dari sebuah rekayasa. Jadi, misalnya kebakaran di 2018 itu dimana saja lokasinya maka bisa kita cek, lalu tahun sebelumnya ada tidak, itu semua kelihatan.
Hal-hal ini saya share dengan para penegak hukum yang ikut pelatihan, saya sudah beberapa kali menjadi instruktur dan para penegak hukum ini saya bawa ke laboratorium saya di Bogor, saya pertontonkan kejadian kebakaran yang berlangsung. Jadi, kita bisa merekonstruksi hal itu.
Teknologi itu canggih pakai citra satelit, land sat, bahkan bisa dikoneksikan langsung dengan Badan Ruang Angkasa Amerika, NASA, lalu kita minta data di titik koordinat yang dimau maka mereka akan keluarkan, bisa juga pakai NOAA yang juga merupakan kesepakatan negara-negara ASEAN, atau satelit FEARS yang bekerja pada malam hari seperti kasus kebakaran di Komodo itu tidak terdeteksi dua satelit ini, akhirnya kita pakai cara lain dan ketemu dengan pantauan FEARS ini.
Menurut Anda, apakah Indonesia suatu saat dapat bebas karhutla? Caranya bagaimana? (dalam konteks yang disengaja, bukan karena fenomena kemarau)
Menurut saya, untuk sampai zero itu tidak mungkin karena orang pasti akan mencoba. Paling kita berikan allowance mungkin sekitar 5%-10% atau maksimum 20% itu batasnya karena penyiapan lahan dengan pembakaran itu masih dilegalkan dan di UU 32 Tahun 2009 dan PP No 4 Tahun 2001 karena hal itu dilegalkan untuk masyarakat adat atau tradisional karena itu bagian dari budaya mereka.
Yang menjadi persoalan sekarang siapa masyarakat adat tradisional itu? Itu yang banyak dipelesetkan di lapangan. Kalau betul-betul mereka itu masyarakat adat tradisional, mereka tidak mau membakar. Saya tahu karena mahasiswa master saya melakukan penelitian tentang itu. Kita tidak hanya percaya begitu saja dengan perkataan mereka kita, kita pergunakan juga data satelit. Mereka, masyarakat adat tradisional itu tidak mau membakar meskipun lahan itu kosong melompong karena mereka tahu akan berdampak pada orang lain.
Yang banyak itu ialah oknum-oknum yang mengaku-ngaku sebagai masyarakat adat tradisional dan itu menarik. Kalau yang benar-benar masyarakat adat tradisional itu mereka tahu cara membakar yang baik seperti apa, kalau target membakarnya 2 ha maka hasilnya akan 2 ha. Kalau yang berbohong itu target membakar 2 ha jadinya 10 ha.
Masyarakat adat tradisional itu tahu bagaimana cara menabasnya, membuat sekat bakarnya, nanti pemadamannya seperti apa, lalu nanti mereka akan baca-baca mantra dan saat membaca mantra itu mereka menggiring api seperti menggiring ternak, apinya berjalan sesuai kehendak mereka, saya melihat hal itu di Sumatera Selatan, di Kalimantan, itulah bagian dari budaya dan religius yang dimaksud. Jadi, UU yang mengaturnya sebenarnya sudah ada cuma implementasi di lapangannya yang sering dipelesetkan.
Bagaimana dengan soal penegakan hukum untuk kasus kejahatan kehutanan (termasuk karhutla)? Apa sudah berlangsung lintas sektor karena banyak juga yang mengajukan Peninjauan Kembali?
Kalau saya melihatnya belakangan ini memang ngebut, saya aktor yang berhadapan langsung. Kalau sekarang itu banyak korporasi yang dulu tidak pernah tersentuh sekarang justru kena, dulu mereka seperti raja.
Artinya, penegakan hukum sekarang lebih hidup dan tingkat kesadaran masyarakat untuk melaporkan juga lebih tinggi.
Mereka sudah lebih aware terhadap lingkungan karena mereka sudah merasakan puluh tahun terdampak. Dengan adanya penegakan hukum demi menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk masyarakat tentunya mereka mendukung. Harapannya dengan seperti ini maka hak konstitusi masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik bisa dilaksanakan.
Adakah pesan untuk para saksi ahli lainnya yang menjalankan tugas mereka saat di pengadilan?
Pesan saya laksanakan saja tugas Anda sebagai saksi ahli sesuai dengan prosedur administratif dan kaidah ilmiah. Camkan bahwa Anda ialah ahli independen, sampaikan hal-hal itu semua sesuai dengan kompetensi Anda berdasarkan fakta dan data serta analisis laboratorium, jangan sekali-kali merekayasa hasil penelitian itu karena yang dirugikan bukan hanya masyarakat tapi juga Anda di masa mendatang. Jadi, maju terus pantang mundur. (M-3)
Biodata
Nama: Bambang Hero Saharjo
Tempat, tanggal lahir: Jambi, 10 November 1964
Pendidikan
S-3: Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Kyoto University, Jepang (1999)
S-2: Kehutanan Tropis di Kyoto University, Jepang (1996)
S-1: Kehutanan di Institut Pertanian Bogor (IPB) (1987)
Karier
1. Direktur Regional Fire Management Resource Center Southeast Asia (2017-sekarang)
2. Anggota Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut (BRG) (2016-sekarang)
3. Dekan Fakultas Kehutanan IPB (2011-2015)
4. Member of Pan Asia Wildfire Regional Network-UNISDR (2013-sekarang)
5. Co Director SDSU/IPB Forest Fire Project funded by NASA (2013-sekarang)
6. Chair of Southeast Asia Wildfire Regional Network-UNISDR (2011-sekarang)
7. ASEAN Forest Fire Panel Expert (2004-sekarang)
8. Kepala Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan (2000-sekarang)
9. Dosen Fakultas Kehutanan IPB (1990-sekarang)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved