Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
Penggunaan bahasa asing untuk pergaulan tidak masalah. Namun, yang melanggar aturan harus ditindak tegas.
FENOMENA 'bahasa Jaksel' yang belakangan muncul hanyalah contoh kecil dari kegemaran sebagian masyarakat Indonesia yang gemar berbicara dengan
campuran bahasa asing. Di pihak lain, tidak sedikit pula yang terus setia mengingatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik.
Salah satu sosok pejuang bahasa Indonesia masa kini ialah Ivan Lanin. Ia rajin mengunggah soal bahasa, termasuk serapan bahasa asing terkini, dan dibagikan ribuan kali oleh warganet.
Bukan sekadar melakukan gerakan lewat media sosial, pria 43 tahun ini bahkan telah merintis situs web kamus dan Glosarium Bahasa Indonesia 2009. Kiprahnya melestarikan bahasa Indonesia pula membuatnya diganjar penghargaan Pembina Bahasa Indonesia 2016 sebagai Peneroka Bahasa Indonesia Daring dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ia juga menilai rakyat harus diberi terapi kejut berbahasa Indonesia. Seperti apa caranya? berikut perbincangannya bersama Media Indonesia, pada Senin (10/9).
Bagaimana Anda melihat keterampilan berbahasa Indonesia di generasi muda?
Pertama, soal keterampilan berbahasa Indonesia di kalangan generasi muda, menurut saya itu menurun dan ada dua hal yang menunjukkan indikasi tersebut. Pertama, ada hasil dari ujian nasional yang kalau dilihat nilai
bahasa Indonesia itu jauh lebih rendah ketimbang nilai bahasa Inggris. Kedua, pada 1990, ada penelitian yang dilakukan (almarhum) Prof Moch Tadjudin, beliau melakukan penelitian mengenai kesalahan berbahasa di dalam skripsi mahasiswa. Beliau menemukan di dalam satu halaman, kurang lebih rata-rata ada kesalahan 2 berbahasa dan itu parah sekali karena artinya dalam setiap halaman nyaris tidak ada yang tidak salah. Lalu, yang kedua yang juga bisa diamati ialah kesukaan orang akan bahasa asing itu meningkat. Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya nama-nama tempat, nama acara, spanduk iklan yang menggunakan bahasa asing. Jadi, kemampuan berbahasanya menurun dan kepedulian orang terhadap bahasa Indonesia juga menurun. Kalau kita perhatikan, sebenarnya tidak saat ini saja hal-hal tersebut terjadi, tapi sejak zaman Sumpah Pemuda, para pemuda kita dulu berkumpul di jong-jong, ada Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, dan
lain-lain. Mereka itu selain menggunakan bahasa daerah, juga menggunakan bahasa lain, seperti bahasa Belanda dan mereka merasa gengsi meningkat.
Kalangan jenderal-jenderal saat zaman setelah kemerdekaan juga mencampur bahasa Belanda dalam pergaulan. Saya tidak mengklaim, tetapi kemungkinan hal tersebut karena kita terlalu lama dijajah sehingga
melihat seolah-olah apa pun yang berasal dari bangsa asing itu bagus.
Namun, ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa minimnya perkembangan kualitas pendidikan kita ialah karena tidak 'dilegalkan' bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di Indonesia. Pembandingnya ialah Malaysia dan Singapura yang dianggap lebih maju karena juga lancar bahasa asing. Bagaimana Anda melihatnya?
Sebenarnya tidak. Contoh paling mudah Jepang yang merupakan negara maju, betapa bangganya mereka dengan bahasa nasionalnya, bahkan mereka menggunakan aksara sendiri bukan aksara latin seperti kita, tapi mereka bisa menjadi bangsa yang maju. Jadi, sebenarnya penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris itu tidak bisa menjadi indikator bahwa bangsa lain lebih maju, masalahnya hanya di mentalitas.
Di era globalisasi dan perkembangan teknologi saat ini, apa saja tantangan bahasa Indonesia menurut Anda?
Tantangannya ialah bagaimana menumbuhkan kebanggaan dalam berbahasa Indonesia. Bahasa itu identitas, mungkin memang agak klise saat kita berusaha menggunakan bahasa nasional, tapi sebagai suatu bangsa memang kita harus punya identitas tersebut. Tidak ada masalah sama sekali jika berbahasa asing karena untuk kebutuhan pergaulan internasional, tapi jangan lupakan dua hal yaitu bahasa nasional dan bahasa daerah. Slogan dari Badan Bahasa sendiri bagus, yaitu 'utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing'.
Anda mulai mendalami bahasa Indonesia sejak 2006, apa yang mendorong itu?
Yang membuat saya tertarik ialah saya sebagai orang Indonesia ternyata tidak mampu menulis bahasa Indonesia dalam kalimat yang formal, itu yang membuat saya terperangah. Maksudnya, saya orang Indonesia, sehari-hari bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia meskipun saya lebih fasih berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris formal. Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia itu sangat berbeda jauh dengan yang formal dan informal. Teman saya orang asing pernah mengatakan bahwa saat belajar bahasa Indonesia dirinya merasa belajar dua bahasa yang sangat berbeda karena apa yang dipelajari di sekolah tidak bisa dipakai saat berjalan-jalan ke pasar. Lalu, yang membuat bahasa kita lebih bagus dari bahasa yang lain ialah karena itu bahasa ibu kita, jadi mau tidak mau, semangat romantisme kebangsaan itu mesti ditonjolkan. Kalau bukan kita yang bangga dengan bahasa sendiri siapa yang mau membanggakan, itu kalau kita mengedepankan unsur emosional. Namun, kalau secara ilmiah dari segi pelafalan itu konsisten, lalu bahasa Indonesia itu tidak mengenal gender dan tidak mengenal pembedaan masa, kata jamaknya juga mudah, jadi itu kelebihan bahasa Indonesia jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain.
Bagaimana Anda melihat upaya pemerintah dalam mendorong penggunaan bahasa Indonesia yang benar?
Kalau saya lihat saat ini semakin bagus. Di 2016, KBBI V daring diluncurkan, jadi saat itu pemerintah atau paling tidak Badan Bahasa terlihat lebih modern, mereka melihat bahwa sudah tidak zamannya lagi menggunakan media buku yang cepat kedaluwarsa dan perlu biaya dalam menggandakannya. Lalu, waktu 2007 sampai 2012 itu media sosialnya Badan Bahasa tidak tanggap, jadi jika ada yang bertanya baru dijawab seminggu bahkan sebulan kemudian, kalau sekarang insya Allah sudah semakin tanggap.
Harapan saya saat ini ialah ketegasan pemerintah dalam menindak pelanggaan-pelanggaran kebahasaan (misalnya, soal spanduk-spanduk berbahasa asing, padahal ada aturan harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional). Saya tahu hal tersebut memang tidak populer sebagai terapi kejut untuk peduli dengan penggunaan bahasa Indonesia. Kalau untuk masyarakat sebetulnya sederhana. Ada dua hal yang masyarakat perlu contoh, selagi tokoh publik maupun media-media masih menggunakan bahasa yang kacau dan campur-campur, selama itu pula masyarakat akan menganggap hal itu hal yang biasa. Lalu, sumber daya atau pengetahuan kebahasaan harus semakin banyak disediakan pemerintah.
Bagaimana dengan pendapat bahwa bahasa asing lebih unggul karena lebih banyak kosakatanya? Jadi lebih ekspresif.
Sebenarnya kosakata itu selalu bermunculan seiring dengan peradaban manusia karena kebudayaan manusia itu tidak pernah berhenti untuk berkembang. Kita saat ini beruntung dengan adanya teknologi internet karena salah satu hal yang tersulit dalam proses pemadanan ialah sosialisasi. Namun, istilah yang bagus tidak akan ada artinya saat tidak dipakai masyarakat. Contohnya kata mangkus dan sangkil itu ialah padanan dari kata efektif dan efisien, itu tidak laku sampai sekarang karena tidak ada yang tahu bahwa kata tersebut ialah padanan dari kata efektif dan efisien.
Memang betul jumlah kosakata yang menyangkut emosi dalam bahasa Indonesia itu lebih sedikit ketimbang bahasa Inggris. Bahasa Indonesia itu bisa dibilang bahasa buatan. Bahasa kita itu diambil dari bahasa Melayu lalu di Kongres Pemuda yang pertama pada 1926 itu dinyatakan bahwa kita akan menggunakan bahasa Indonesia yang berdasar dari bahasa Melayu.
Berdasarkan hal itu, kosakata kita banyak diserap dari bahasa Melayu lalu dicampur bahasa Jawa, dan bahasa-bahasa lain. Jadi, jumlah kosakata kita saat ini di KBBI 5 yang sekarang sudah daring itu berjumlah 105 ribu, sedangkan kosakata Oxford Dictionary itu sudah jutaan.
Lalu, bagaimana kita meningkatkan jumlah kosakata bahasa kita? Yang paling mudah ialah dengan menyerap apa yang ada di bahasa daerah. Setiap daerah biasanya memiliki kekhasan masing-masing, misalnya, bahasa Jawa itu cukup banyak memiliki kosakata yang berkaitan dengan beras, beras yang sudah ditumbuk, dijemur, itu beda-beda kosakatanya. Kalau orang Dayak, misalnya, punya puluhan kosakata yang menyangkut lari. Jadi, memang jumlah variasi kosakata tergantung atas kebutuhan suatu budaya untuk menunjukkan suatu konsep tertentu, itu yang perlu diperkaya saat ini.
Lalu, bagaimana agar kosakata atau istilah yang ada juga diterima dengan baik di masyarakat?
Ada lima kriteria istilah yang baik. Hal itu ada di pedoman umum pembentukan istilah. Pertama ialah tepat, yaitu suatu istilah tepat mengambarkan suatu konsep tertentu. Kedua ialah singkat, kalau panjang, bukan istilah melainkan definisi. Ketiga ialah maknanya konotasinya bagus. Keempat ialah enak didengar dan yang terakhir ialah sesuai kaidah bahasa Indonesia, itu langkah pertama membuat istilah.
Tahapan kedua ialah sosialisasi di mana dengan perkembangan teknologi saat ini, Badan Bahasa jadi lebih mudah dan mereka saat ini aktif di media Instagram, sosialasi memanfaatkan teknologi menurut saya merupakan hal yang bagus dan efektif. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved