Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

BLBI dan Wajah Hukum Kita

Abdillah M Marzuqi
29/8/2018 09:05
BLBI dan Wajah Hukum Kita
(MI/MOHAMAD IRFAN)

SETELAH lama tidak terdengar kabar, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mencuat lagi. Ternyata delik itu belum tuntas. Ibarat bara api dalam sekam, meski sudah 20 tahun berlalu, BLBI masih dipandang belum selesai.

BLBI terkait erat dengan krisis moneter 1988 ketika rupiah mengalami pelemahan nilai tukar, dari Rp2.300/US$ melambung menjadi Rp17 ribu/US$. Dampaknya, suku bunga naik menjadi 80% bahkan pernah mencapai lebih daripada 200%.

Kondisi itu membuat masyarakat panik dan menarik dana besar-besaran dari bank. Dunia perbankan pun mengalami kesulitan likuiditas.

Untuk memulihkan kepercayaan terhadap perbankan, Bank Indonesia (BI) memberi bantuan likuiditas kepada puluhan bank lewat BLBI, termasuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Dalam penyelesaian BLBI, pemerintah menempuh cara out of court settlement atau secara perdata. Pemerintah saat itu memakai skema master settlement and acquisition agreement (MSAA) terhadap BDNI yang dinilai asetnya cukup, untuk melunasi kewajibannya.

Audit BPK pada 2002 yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban BDNI berdasarkan MSAA terpenuhi, maka closing MSAA terjadi pada 25 Mei 1999.

Babak baru dimulai ketika KPK mengorek kembali BLBI. Berbekal Audit BPK 2017 dan dugaan misrepresentasi, persidangan pun digelar. Pengacara kondang Otto Hasibuan pun angkat bicara. Ia dikenal sebagai pengacara yang pintar dengan logika yang terstruktur dan profesional.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai perkara BLBI-BDNI yang ditanganinya, mari kita simak petikan wawancara Media Indonesia dengan Otto Hasibuan di kantornya, di Jakarta Pusat, Jumat (24/8).

Bagaimana sebenarnya posisi Sjamsul Nursalim (SN) dan BDNI dalam kasus BLBI?

Jadi, ini memang seperti kaset lama yang diulang terus. Seperti juga barang semakin antik semakin mahal juga. Saya ceritakan dulu sebentar. Jadi, itu bermula ketika 1997-1998 mulai krisis multidimensi dolar naik di mana-mana.

Terus terang saja tidak ada yang kuat pada waktu itu. Jadi, ini bukan persoalan ada salah kelola atau tidak salah kelola, tapi memang ada krisis ekonomi yang sangat luar biasa. Karena krisis ekonomi, bank-bank itu lalu diambil alih pemerintah melalui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) sehingga disebut Bank Take Over (BTO). Khusus BDNI, pengambilalihannya dilakukan pada 4 April 1998. Setelah di BTO, otomatis semua kepengurusan kepengurusan BDNI dikendalikan BPPN bukan lagi pihak BDNI.

Empat bulan setelah dikelola pemerintah, ternyata mereka tidak bisa kembali sehat. Padahal, tujuan BPPN ialah menyehatkan bank, tapi tidak satu pun yang jadi sehat. BDNI kemudian pada 21 Agustus 1998 di-BBO-kan (Bank Beku Operasi).

Bagaimana dengan MSAA dan R&D yang diterbitkan?

Jadi, pemerintah saat itu mengambil kebijakan tidak menyelesaikan masalah BLBI melalui jalur hukum, tapi melalui out of court settlement
atau perdata. Kalau sudah out of court settlement, penyelesaian di luar pengadilan, tidak ada lagi persoalan siapa salah, siapa benar.

Kalau sudah mau damai, tidak ada lagi salah siapa. Siapa harus bayar, siapa harus terima? Berapa dibayar, berapa diterima? Itu yang sebenarnya.

SN menyatakan kalau begitu program pemerintah saya ikut, saya akan menyukseskan program pemerintah itu.

Pemerintah mengatakan tolong bayarin kewajiban BDNI. Kalau sudah bayar, tidak akan diusut baik ranah pidana maupun perdata. Dibikin dulu MSAA, perjanjian dengan pemerintah, di mana SN setuju mengambil alih kewajiban BDNI.

Jadi, yang harus kita pahami, ini sebenarnya bukan penghapusan utang, melainkan adalah penyelesaian utang kewajiban. Jadi, namanya penyelesaian pasti ada kesepakatan. Diteken itu.

Setelah diteken, diserahkan semua harta-hartanya. Barulah kemudian dikeluarkanlah surat release and discharge/R&D (surat pembebasan dan pelepasan) itu. Adapun inti dari surat itu, bahwa SN dan BDNI dibebaskan dari tanggung jawab lebih lanjut atas BLBI yang diterima BDNI karena telah memenuhi kewajibannya dalam MSAA. Selanjutnya, pemerintah berjanji tidak akan melakukan tuntutan hukum apa pun terhadap SN. Artinya, sesuai dengan janji pemerintah tadi, kalau SN bayar dikasih penjaminan oleh pemerintah, SN dan BDNI dilepaskan dan tidak dituntut lagi.

Selain dinyatakan dalam surat R&D, janji pemerintah ditegaskan kembali dalam Letter of Statement yang dibuat dalam akta notaris yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna, artinya isi yang diterangkan dalam akta tersebut wajib dianggap benar.

Lalu mengapa kasus BLBI masih terus bergulir terus?

Dalam perjanjian tersebut (MSAA) ada disebut closing. Artinya, dalam MSAA harus menyerahkan harta setelah itu baru dirilis (R&D). Ini namanya closing, jadi serahkan harta kemudian dilaksanakan pelaksanaannya, artinya balik nama. Sampai semua selesai itu namanya di-close. Setelah di-closing barulah dikeluarkan R&D. Selesailah sudah.

Akan tetapi, namanya politik, ganti rezim Gus Dur pada 1999. Bergejolak politik. Waktu itu kita tahu yang orde Lama juga dikorek-korek juga. Muncul lagi kenapa itu diterbitkan R&D. Akhirnya dikeluarkan UU 25/2000 tentang Propenas yang isinya ditegaskan kembali bagi yang sudah melaksanakan kewajiban itu harus diberikan kepastian hukum.

Akan tetapi, bagi yang tidak melaksanakan kewajibannya supaya diproses hukum. (Berlanjut dengan TAP MPR X/2001, Audit BPK 2002, TAP MPR VI/2002, Inpres 8/2002, FDD Ernst & Young, Surat Keterangan Lunas, Audit BPK 2006, hingga laporan Menko Perekonomian/Menkeu dalam Rapat Paripurna DPR 2008).

Dilihatnya, kan, di mana kepastian hukum ini? Sekarang kita lihat persoalannya sudah hampir 20 tahun, eh, malah ada yang kurang katanya. Jadi, kenapa ini diungkit-ungkit terus, khususnya jelang pemilu.

Inilah soal kita. Ada apa sebenarnya? Saya juga gak ngerti apa, sih, yang mau dicari? Makanya, saya selalu mengatakan mengapa harus penjara? Pidana itu adalah upaya yang terakhir.

Kalau mau jujur kita siap, kok, secara akademik dilakukan sidang terbuka di kampus atau di mana pun. Kita siap. Apakah dia layak dijadikan terpidana? Orang sudah menyelesaikan kewajibannya 20 tahun lalu dengan iktikad baik. Kok, diperlakukan seperti ini. Ini janji negara kepada rakyatnya. Kalau begini, kan, pemerintah membohongi rakyat, dong?

Adakah dampak kasus BLBI-BDNI terhadap iklim investasi?

Sangat berpengaruh. Karena luar negeri juga melihat bagaimanapun SN (Sjamsul Nursalim), kan, bisnisnya global juga, jadi pasti diikuti pemberitaan. Jadi, banyak juga yang bertanya pada saya sebagai lawyer dari klien-klien itu, apa yang sedang terjadi di Indonesia?

Kalau begitu kita bisa besok-besok janjinya 'A', besok-besok bisa 'B'. Sangat memengaruhi. Itu saya bilang ke pemerintah 'tolong hati-hati menyikapi kasus ini'.

Karena KPK melaksanakan tugas ini, oke, itu hak dia. Tapi, pidana, kan, ultimatum remidium, harus menguntungkan semua orang. Karena hukum itu gak boleh hitam-putih. Dia harus melihat hukum itu menguntungkan masyarakat, bagi bangsa dan negara, keadilan, dan sebagainya. Harus gitu melihat hukum kita.

Mengapa audit BPK bisa berbeda? Bagaimana kekuatan hukumnya?

Inilah namanya beyond reasonable doubt, kalau ada keragu-raguan, yang diambil harus yang menguntungkan terdakwa. Dalam hukum ada in dubio pro reo. Kalau ada dua hal yang meragukan hakim harus ambil yang menguntungkan, termasuk seperti peraturan. Jadi di-dismiss ini, enggak boleh dipakai dua-duanya. Atau tidak dipakai dua-duanya.

Dulu pada 2002, diperiksa auditnya masih ada, lengkap orangnya. Pejabat semuanya lengkap. Kalau 20 tahun lagi masih lengkap enggak? Sudah semakin jauh. Jadi bila bertentangan, bukan menggunakan hasil audit yang paling baru (Audit 2017) ini yang paling lama mestinya (Audit BPK 2002 dan Audit BPK 2006). Mestinya mana yang paling dekat buktinya dengan pemeriksaan (Audit BPK 2002 dan Audit BPK
2006). Itu yang dipakai.

Perlu saya tambahkan, Audit BPK 2017 menganggap utang petambak senilai US$4,8 triliun diserahkan oleh SN kepada BPPN sebagai bagian dari penyelesaian kewajiban SN. Ini pemahaman yang sangat keliru karena BPK hanya menggunakan data sepihak dari penyidik KPK dan sesuai konstruksi fakta yang dibuat penyidik KPK, tanpa mengonfirmasikan kepada pihak-pihak terkait.

Padahal, SN tidak pernah menyerahkan utang petambak sebagai bagian dari pemenuh an kewajibannya kepada BPPN. Utang petambak adalah aset BDNI yang melekat pada BDNI pada saat BDNI diambil alih pemerintah. Adapun aset yang diserahkan SN kepada pemerintah berdasarkan MSAA adalah berupa saham-saham perusahaan, bukan utang petambak. Jadi, ada kekeliruan dalam memahami konstruksi penyelesaian kewajiban SN berdasarkan MSAA. (M4-25)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya