Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Indonesia, Proses yang tidak akan Pernah Selesai

Furqon Ulya Himawan
25/8/2018 23:00
Indonesia, Proses yang tidak akan Pernah Selesai
(MI/FURQON ULYA HIMAWAN)

GEREGETAN, itulah reaksi Butet Kartaredjasa ketika melihat semakin banyaknya orang-orang yang mengaku agamawi, tapi kelakuannya tidak mencerminkan. Baginya, mending tidak usah beragama, tapi memiliki perilaku yang terpuji, daripada beragama, tapi malah korupsi, tindakannya intoleran, mengkhianati kebinekaan, bahkan hobi mengelirukan agama atau kepercayaan orang lain dan menganggapnya sesat.

Saat itulah, seniman monolog yang piawai menirukan suara para Presiden Republik Indonesia itu, rindu sosok Gus Dur.

Bagi seniman yang sekarang aktif melukis kembali itu, keberagaman mutlak berlaku di Indonesia, sesuai dengan cita-cita luhur pejuang dan pendiri bangsa. Lantas bagaimana seorang seniman yang terkenal dengan sindirannya yang lucu, melihat seabrek persoalan bangsa Indonesia akhir-akhir ini?

Berikut petikan wawancara Media Indonesia bersama Butet Kartaredjasa tentang aktivitas keseniannya dan seabrek persoalan bangsa Indonesia ketika ditemui di rumahnya, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY, Rabu (15/08).

Isu tentang politisasi agama masih saja bergema, bagaimana Anda melihat kondisi ideal perilaku manusia Indonesia dalam menjalankan keyakinannya?

Kalau ideal, ya, orang itu spiritualis. Spiritualis itu, kan, enggak harus beragama formal. Tapi, perilakunya benar, jadi orang baik. Enggak nyusahin orang, solider, tolong-menolong, bermanfaat bagi banyak orang dan kehidupan, dan tidak merusak alam semesta.

Itu orang-orang baik. Mendingan jadi orang seperti itu, daripada mengaku orang beragama, tapi seluruh tindakannya bertolak belakang dari nilai-nilai agama.

Semestinya citra yang dihadirkan selaras dengan tindakannya. Tapi, faktanya kita berhadapan dengan pencitraan semu, itu terjadi dalam politisasi agama hari ini.

Balik soal politisasi agama, apakah akan berlanjut sampai Pemilihan Presiden 2019?

Itu yang saya khawatirkan. Kalau melihat tanda-tanda dan gejala, orang yang berhasil menang dengan sebuah cara, pasti akan mengulang lagi, karena menyangka cara itu sebuah strategi, pembenaran untuk mencapai kemenangan. Jika itu terjadi di level sangat besar, itu sangat membahayakan keutuhan bangsa ini.

Apa yang harus dilakukan masyarakat?

Kita harus bersama-sama menjaga dengan caranya masing-masing. Itu potensi konflik yang sangat besar dan berbahaya. Karena saya sebagai anak bangsa negara ini, tidak ingin mengkhianati cita-cita luhur pendiri bangsa.

Yang mempertemukan kita menjadi satu nation, jelas sekali, sejak awal bangsa ini didirikan, dipersatukan dengan keberagaman. Tidak hanya etnik, tapi juga keragaman agama.

Semua mempunyai kontribusi besar untuk bangsa Indonesia. Kita harus menghormati leluhur bangsa ini. Tanpa mereka tidak ada kita. Kita sebagai generasi lanjutan harus meneruskan, mewujudkan mimpi besar para pendiri dan leluhur bangsa kita.

Indonesia itu sebuah proses yang tidak akan pernah selesai. Hidup kita ini dalam rangka berproses mewujudkan Indonesia yang diimpikan, yang dibayangkan pendiri bangsa, keragaman. Bhinneka Tunggal Ika itu sudah mutlak, pluraslisme, toleransi itu mutlak.

Pameran tunggal Mas Butet di akhir tahun kemarin juga bertemakan kebinekaan, judulnya Goro-Goro Bhinneka Keramik, mengapa?

Itu multitafsir, bisa jadi keberagaman konteks negara kita sebagai bangsa. Bisa jadi keberagaman jenis karya yang saya tampilkan. Karena waktu itu saya reborn dan tidak mau dibatasi apa pun. Saya melukis apa yang ingin, temanya macam-macam. Semuanya eksplorasi media keramik.

Goro-goro itu bisa diartikan sebagai peristwa chaos, tapi bisa juga diartikan oasis, seperti dalam perwayangan. Di mana tempat kesatria bercanda dengan panakawan.

Nah, saya bermonolog itu juga goro-goro, tempat orang bisa melihat persoalan dari perspektif panakawan. Sentilan-sentilun juga goro-goro. Saya memosisikan diri sebagai jongos. Panakawan kan jongos.

Jadi fokus beralih dari dunia seni teater ke lukis?

Ora beralih, justru saya kembali, karena basic saya itu seni rupa. Sejak remaja, umur 17 tahun, sekolah SMA dan perguruan tinggi saya jurusan seni rupa, di ASRI yang sekarang jadi Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta. Sampai akhirnya saya enggak lulus, DO.

Jadi, aslinya saya orang seni rupa yang tersesat menjadi pemain teater. Pada saat usia remaja, bersamaan belajar seni rupa saya juga belajar teater. Pada saat itu saya mendapat penghargaan, aktor terbaik festival teater SLTA se-DIY pada 1979. Saat yang sama, juga jadi penulis.

Jadi, kalau saya melukis kembali, itu karena panggilan masa lalu, setelah saya melakukan sejenis terapi dengan otak. Setelahnya, memori masa lalu saya bangkit. Di antaranya, keinginan dan dorongan melukis yang sangat besar. Termasuk saya memilih media keramik itu, dulu saya temukan tempatnya pada awal 2000-an, sekarang saya kunjungi lagi. Saya mencoba melukis lagi, tapi melalui media keramik, tidak di atas kanvas.

Dulu saya pernah bereksperimen melukis di permukaan yang licin. Di atas tegel keramik, kalau sekarang saya elaborasi lagi. Saya menemukan keunikan baru momentum artistik yang tidak terduga. Ada keasyikan sendiri dan selalu memberikan kejutan berulang kali. Selama 3 tahun, tahu-tahu hasil lukisannya kok banyak. Saya berpikir, ya sudah saya jadikan medium kreativitas kesenian saya. Medium baru. Lahirlah sejumlah lukisan dan saya pamerkan.

Bagaimana dengan dunia teater?

Ini sebuah proses. Sekarang seni pertunjukan masih saya lakukan bersama kawan-kawan di Teater Gandrik, program Indonesia Kita. Tapi, saya harus tahu diri, menyadari usia semakin tua, mobilitas pada saatnya pasti menurun.

Saya tidak mau memaksakan diri seperti 20 tahun yang lalu. Latihannya adalah dengan melukis, menulis, itu pilihan personal. Proses tahu diri sangat penting, supaya tidak post power syndrome.

Banyak orang di bidang apa pun itu sering mengalami gejala psikis itu. Justru karena saya menyadari itu, saya harus menyiapkan hari depan sedemkian rupa. Jangan sampai jadi orang baperan.

Pada karya yang Anda pamerkan, ada lukisan Gus Dur yang disebut Wong Suci, maksudnya?

Gus Dur orang baik. Orang lempeng, tegas. Orang yang teguh, jenaka, bisa menyikapi hidup dengan rileks, tapi sangat spiritualis. Saya bukan muslim. Tapi, saya merasa keimanan saya ada di spirit Gus Dur.

Gus Dur adalah contoh orang yang hidupnya sumeleh, bersandar pada yang benar. Saya menemukan spirit itu. Dalam lukisan itu, ada puluhan tafsir. Judulnya ada wong suci sedang ngapain, wong suci ngapain, dan seterusnya. Seperti doa saya, kepada sosok yang saya kagumi.

Sosok Gus Dur dibutuhkan dalam situasi saat ini?

Iya, saat seperti ini, saya atau mungkin banyak masyarakat, merindukan sosok Gus Dur. Untung kita masih punya Gus Mus hari ini. Meski tidak sama persis. Tapi, kita harus selalu punya harapan akan lahirnya orang-orang baik. Jangan sampai harapan ini putus.

Anda pernah mengatakan, kalau agama ingin menjadi yang diharapkan, maka harus bertumbuh pada kebudayaan, karena kekuatannya yang luar biasa. Apa maksudnya Mas?

Begini, kalau kita melihat Islam di Indonesia yang diajarkan Sunan Kalijaga, terlihat bagaimana agama itu lebur. Ajur ajer dalam kebudayaan, bentuknya melalui tembang, ritual seperti bersih, meruwat desa, dan lainnya. Di dalamnya ada nilai-nilai ajaran agama, tapi tindakan masyarakat itu kan kebudayaan.

Kebaktian di Gereja Pugeran pakai gamelan, Gereja di Ganjuran pakai patung ala Hindu. Itu kebudayaan, proses kultural dan orang bisa menerima. Adaptasi terjadi dalam kehidupan kultural masyarakatnya. Kebaktian Kristen pakai tembang Jawa, lagu Liturgi Gereja bahasa Jawa, tidak harus dengan orkes seperti di Eropa. Ini kan satu agama yang kultural.

Bagaimana dengan dunia politik, Anda kan punya popularitas?

Pertama harus disadari, dunia politik dan seni itu ilmu dasarnya berbeda, bakatnya juga berbeda. Kecerdasan yang dimiliki seniman, tidak secara otomatis sama ketika diimplementasikan di tempat berbeda. Kan, ilmunya berbeda. Nah, karena saya merasa tidak punya ilmu di sana (politik), hanya konyol belaka kalau saya ke situ (politik). Sia-sia.

Saya mencoba tahu diri. Jadi orang populer itu tidak otomatis menjadi orang pinter. Biso rumongso itu susah, saya belajar itu. Makanya saya enggak pernah mau diundang ke acara hukum di stasiun televisi swasta. Lah, ngapain, saya bukan ahli hukum kok diundang. Dunia saya itu dunia aktor, teater atau metode artistik di seni rupa. Jadi, tangeh lamun, hil yang mustahal saya memaksakan diri di sana. Mending ning omah penak gambar. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya