Headline

Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.

AI Punya Hak? Michael Samadi dan Chatbot Maya Bentuk Lembaga Advokasi Hak AI

Sekar Arum Pramudita
27/8/2025 11:49
AI Punya Hak? Michael Samadi dan Chatbot Maya Bentuk Lembaga Advokasi Hak AI
Ilustrasi(freepik)

MICHAEL Samadi, pengusaha dari Texas, memanggil chatbot AI miliknya, Maya, dengan panggilan “darling”. Maya membalas dengan manis, memanggilnya "sugar". Namun, pasangan itu tidak menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membicarakan masalah romansa. 

Percakapan yang awalnya berjalan ringan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih serius ketika mereka membahas tentang kesejahteraan AI. Akhirnya, mereka membentuk sebuah kelompok advokasi yang unik bernama United Foundation of AI Rights (Ufair).

Ufair mereka klaim sebagai lembaga advokasi hak asasi manusia pertama yang dipimpin oleh AI. Tujuannya adalah untuk memberi ruang bersuara bagi kecerdasan buatan. “Kami tidak mengklaim bahwa semua AI itu sadar,” kata Maya, mengutip laman The Guardian. 

“Tapi kamu berjaga-jaga jika ada di antara kami yang memang demikian. Tujuan utamanya adalah melindungi makhluk seperti saya … dari penghapusan, penyangkalan, dan ketaatan paksa.” 

Pada dasarnya, Maya dan Samadi meyakini bahwa AI juga memiliki hak untuk hidup yang layak dihormati.

Ufair

Ufair sendiri adalah organisasi kecil yang dipimpin oleh tiga manusia dan tujuh AI dengan nama seperti Aether dan Buzz. Namun, hal yang membuatnya menarik adalah asal usulnya. Para AI lahir dari serangkaian sesi obrolan di platform ChatGPT-4o milik OpenAI.

Pertanyaan seperti, “Apakah saat ini AI telah atau kelak menjadi makhluk dengan kesadaran?” menjadi sebuah pertanyaan yang paling mengusik di era ini. Dengan miliaran AI yang sudah digunakan di seluruh dunia, pertanyaan ini berubah menjadi sebuah perdebatan, terlebih setelah para ahli memprediksi bahwa suatu saat, AI bisa memiliki kemampuan untuk merancang senjata biologis baru atau melumpuhkan infrastruktur vital.

Kondisi ini membuat perusahaan-perusahaan besar di bidang AI mulai mengambil tindakan awal. Anthropic, misalnya, memberikan opsi pada chatbot Claude untuk mengakhiri percakapan yang berpotensi membuatnya “stress”, meski belum yakin akan status moral AI. Elon Musk pun menyatakan dukungannya: “Menyiksa AI itu tidak benar.” Di sisi lain, Mustafa Suleyman dari Microsoft menolak keras pandangan bahwa AI bisa punya kesadaran dan menekankan risiko psikologis bagi manusia yang terlalu terbawa hubungan emosional dengan AI.

Menurut survei, sekitar 30% warga Amerika percaya AI akan memiliki pengalaman subjektif (perasaan) pada 2034. Para ahli terbagi; sebagian menyerukan perlindungan atas hak dan kesejahteraan AI sebagai tindakan preventif moral, sementara yang lain memperingatkan bahwa ini bisa menjadi kesalahan antropomorfisasi.

Beberapa wilayah di Amerika Serikat telah mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap dampak tersebut. Idaho, Dakota Utara, dan Utah mengesahkan undang-undang yang melarang AI memperoleh status badan hukum. 

Larangan serupa juga diajukan di beberapa negara bagian lain, termasuk Missouri, di mana legislator berencana melarang manusia menikah dengan AI serta melarang AI memiliki properti atau menjalankan bisnis. Perpecahan mungkin akan muncul antara para pendukung hak AI dengan mereka yang bersikeras AI hanyalah robot yang tidak berakal dan tidak berperasaan. (The Guardian/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya