Apa Bedanya dengan Mobil Sewaan?

ADA rasa kaget ketika saya melihat unjuk rasa besar-besaran yang diperlihatkan para pengemudi taksi DKI Jakarta, Selasa (22/3).

Terlebih aksi itu juga diwarnai tindakan anarkistis.

Sungguh sangat disayangkan ketika akhirnya ada segelintir pengemudi yang bertindak di luar batas kepatutan.

Padahal, aksi anarkistis itu justru menimbulkan antipati masyarakat sebagai pengguna jasa taksi.

Saya pikir ada sesuatu yang mungkin bisa dipahami dari kemunculan taksi berbasis aplikasi daring ini.

Yang saya amati, moda angkutan darat ini bila ingin disebut taksi rasanya kurang pas.

Dalam persepsi saya, Uber atau Grab hanyalah mobil sewaan (car rental) seperti banyak dilakukan banyak pihak.

Bukankah banyak sekali penyewaan mobil di sepanjang jalan yang ada di Ibu Kota ini.

Semua mobil sewaan itu tak ada yang berpelat kuning, tapi pelat hitam.

Siapa pun bisa menyewa mobil-mobil tersebut.

Soal harga terserah bagaimana negosiasi antara penyewa dan pemilik rental.

Bila ada harga yang ditawarkan lebih murah dengan kondisi kendaraan yang prima, sudah pasti konsumen akan memilihnya.

Ada banyak faktor yang menyebabkan taksi konvensional kalah bersaing dengan Uber dan Grab.

Sudah banyak cerita dari mulut ke mulut bahwa konsumen tinggal pesan dan sudah mengetahui besaran tarif yang akan dibayar.

Tidak perlu khawatir soal argo kuda, penolakan order jarak dekat, hingga penampilan pengemudi yang, maaf, kadang kumal.

Kemajuan teknologi tak bisa dihindari, dan itu sebuah keniscayaan bila tak ingin ditinggal.

Pemerintah juga tak bisa main tutup saja moda ini karena suka atau tidak suka.

Ini masuk kategori industri kreatif yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Semoga para pengambil keputusan bisa mempertimbangkan hal ini.

Hamdi Zainal

Jatibening, Bekasi.