Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kepingan Kisah di Stade de France

Adiyanto
11/7/2016 01:30
Kepingan Kisah di Stade de France
(AFP/FRANCK FIFE)

STADION Stade de France punya arti penting bagi masyarakat Prancis.

Di tempat itu, tepatnya pada 12 Juli 1998 atau kurang lebih 6 bulan sejak stadion itu diresmikan, tim nasional mereka untuk pertama kalinya merengkuh Piala Dunia.

Stadion yang terletak di Saint-Denis sebelah utara Paris itu menjadi saksi bagaimana Zinedine Zidane dan kawan-kawan membekuk raksasa sepak bola, Brasil.

Tak tanggung-tanggung, mereka mencukur tim 'Samba' yang kala itu telah empat kali menjadi juara dunia, tiga gol tanpa balas.

Tangis bahagia pecah di stadion berkapasitas 80 ribu tempat duduk tersebut.

November tahun lalu, tangisan juga tumpah di stadion itu.

Namun, bukan lagi air mata bahagia, melainkan duka.

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba sekelompok teroris coba menyelinap dan meledakkan bom.

Kala itu, stadion dipenuhi penonton yang menyaksikan laga persahabatan antara Prancis dan Jerman.

Tiga orang tewas dalam serangan itu dan puluhan lainnya terluka.

Akan tetapi, di luar stadion jumlah korban ternyata jauh lebih banyak, mencapai ratusan, karena di saat yang bersamaan para teroris ternyata melancarkan serangan di tiga tempat berbeda.

Bukan cuma masyarakat Prancis yang pilu, duka pun menyelimuti dunia.

Dini hari tadi, jutaan warga dunia pun terfokus ke Stade de France.

Namun, bukan lagi untuk mengenang luka lama, melainkan menyaksikan laga final Piala Eropa 2016, Prancis kontra Portugal.

Sebelum final itu digelar, Presiden Prancis Francois Hollande berharap negaranya menuai sukses ganda, sebagai penyelenggara sekaligus juara.

Mengobati luka

Jika Prancis juara, kata dia, itu setidaknya bakal mengobati luka para keluarga korban serangan teroris yang terjadi tahun lalu.

Kendati begitu, otoritas setempat tak mau gegabah.

Mereka siaga dari kemungkinan serangan teroris. Penjagaan pun superketat, termasuk pada perayaan pesta seandainya Prancis juara.

"Rakyat Prancis harus kembali seperti dulu. Kami telah menyaksikan serangan itu dan kini kita bersama-sama mencari kebahagiaan," ujar Hollande dalam tulisan yang dimuat Journal du Dimanche.

Dia juga mengingatkan bahwa pesta sepak bola yang sedang digelar di negaranya itu berpotensi menjadi target serangan teroris termasuk pada partai puncak.

Namun, retorika yang disampaikan sang presiden dalam tulisan itu dicurigai sejumlah pihak sebagai upaya pemulihan citranya yang mulai merosot.

Apalagi dia diprediksi bakal kembali mencalonkan diri dalam pemilihan umum tahun depan.

Demo kaum buruh yang terjadi sebelum dan saat Piala Eropa digelar merupakan serangan nyata bagi pemerintahan Hollande.

"Olahraga menyatukan semua orang, politiklah yang mencerai-beraikan mereka," katanya diplomatis.

Hollande berkilah dukung-annya buat timnas Prancis bukan untuk mencari popularitas.

"Saya tidak ingin memanfaatkan olahraga untuk kepentingan politik. Itu kurang baik untuk dunia olahraga maupun politik itu sendiri," tegasnya.

Apa pun yang disampaikan Hollande, dunia pasti bakal mencatat apa yang terjadi di Stade de France dini hari tadi.

Entah air mata bahagia atau justru duka yang kembali bakal menyelimuti negeri itu.

"Vonis pidana di Brasil maksimal paling berat 30 tahun, tapi saya dihukum seumur hidup," tutur Moacir Barbosa, penjaga gawang Brasil kala timnya dipecundangi Uruguay di final Piala Dunia 1950.

Kala itu, Brasil yang tampil di hadapan publik sendiri di Stadion Maracana secara menyakitkan ditaklukkan sang tamu 1-2.

Hollande mungkin harus mencatat ini, sepak bola kadang juga bisa lebih kejam daripada politik. (AFP/sat/R-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya