Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
Ilustrasi: Made Bayak
kepada waktu yang tak terjadi
kau telah susut menjadi gerimis.
dalam curah yang hampir mustahil
kau pun meniadakan angin pagi,
meredam cinta yang belum terjadi.
2023
dalam kerinduan akan rumah,
yang kosong dan yang lengang,
waktu seakan perlahan berhenti,
tak mungkin baginya untuk bekerja.
lagipula tak ada lagi semilir
dari selasela dedaunan kering.
dan panas yang memburu ini,
yang karenanya getahgetah jadi meleleh,
menitik pelan bagai susu yang baru lahir.
ada juga sepenggal cinta
yang tak tersentuh di ini rumah
yang bisu, teredam detak yang jauh.
dan guciguci yang tertinggal ini
ialah sisa perasaan yang terempas,
bagai lokan yang terbuang di ujung pasir.
2023
kasih, mampukah kau untuk tidur?
sebelum tiba, sebelum ia tiba
di tepi mimpi yang hampir rubuh,
dan pada kenangan yang tertinggal
di kala subuh.
kasih, mampukah kau untuk tidur?
ada juga kaca buram di kamarmu,
yang mampu membentuk warna tubuhmu
—tubuhmu yang berisi aku,
berisi hasrat yang beku.
kasih, mampukah kau untuk tidur?
hanya untuk sementara,
guna menghindar dari yang siasia.
2023
Sepenggal cinta yang tak tersentuh di rumah bisu ini telah teredam detak yang jauh.
sebelum kau hilang di dalam dekapanku,
aku tak pernah lagi menemukan bibirmu.
dan juga sentuhanmu yang utuh, dulu
betah berlamalama di tanganku.
ketika setiap hujan turun,
kau senang mengukur tubuhku.
dan dengan cinta yang penuh kecewa,
kau berhasil menghitung panjang napasku,
juga panjang kalimat yang tak berlanjut.
dan kau, yang selalu bergeming,
tak selalu mampu menahan jantungku
yang kini telah retak.
“mengapa dinding yang diam dan dingin ini
mampu membuat kita jadi tak ada?”
2023
tatkala tahun pun jatuh,
dan saat telapak tangan
yang tak berhingga ini
meninggalkan bekasnya padaku,
ia mungkin memungut detiknya kembali.
dan waktu yang telah lewat,
bermadah padaku ingin berhenti.
dan angin dingin yang jadi putih ini,
beku perlahan seperti kesabaran yang rutin diamini.
“apakah kita akan bertemu lagi
atau hanya ngungun pada sepi,
menunggu sosok yang mungkin telah lari?"
2023
Baca juga: Puisi-puisi Hasbi Yallah
Baca juga: Puisi-puisi Akhmad Sadad
Baca juga: Puisi-puisi Natalya Gorbanevskaya
Dimas Julian Anggada, pemuisi, lahir di Jakarta, 19 Juli 1998. Alumnus Sastra Indonesia di Universitas Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten. Hobi menonton film dan membaca buku sastra. Puisi-puisinya pernah dimuat di sejumlah media daring. Kini tinggal dan bekerja sebagai pengajar di Jakarta. Ilustrasi header: Made Bayak, Cosmology Bali, Homage to Social Movements as a Self-Healing (2020-2022), 180 x 300 cm, akrilik pada kanvas. (SK-1)
Kulit putih, bulu mata lentik. Kata orang itu cantik. Menurutku kita lebih manis.
Aku menyeberangi batas pantai di antara kebajikan dan kejahatan.
Petersburg, aku kan kembali bersama belahan jiwa. Mengulang janji suci kami di altar dulu
Kebebasan pun beterbangan di mana-mana serupa tarian angsa.
Kata 'kofe' sendiri berarti kondisi awal gigi balita yang tumbuh pertama kalinya. Ia kemudian goyang dan jatuh sehingga terlihat ompong.
Mungkin aku yang terlalu ingin melindungimu, namun membuatmu merasa tidak nyaman.
Saat bibir-mu terbuka sedikit, amboi, betapa itu membuatku kasmaran.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved