Puisi-puisi Dien Wijayatiningrum

Elegi I 

Kesepian telah menelan dan memuntahkan tubuhku 
pada malam-malam yang digenangi kesedihan 
hujan ribuan kali jatuh di atas genting 
seperti memberiku pertanda kehilangan 
tak kudengar ketukan pintu juga suara sepatumu 
atau bel berbunyi 
barangkali hujan begitu deras 
dan menelan segala yang bisa kudengar 
atau memang cuma kupunyai kesepian kekal 
bayang- bayang yang lahir dari suaraku sendiri 
mengelilingi ruang 
membentangkan tangan dan mengurungku. 

2023 


Elegi II 

Tinggalah beberapa helai gaun usang 
baumu menempel kuat di renda-rendanya 
payet-payet yang rusak seperti menandakan 
waktu telah lama meninggalkan pesta 
kebahagiaan hanyalah jeda di sela-sela usia 
sementara sepi dan luka seperti tertempel abadi 
pada almanak di teratak. 

Sebab dendam, aku kerap lupa akan cinta 
mengingini darahmu mengaliri jarak-jarak luka 
membuat sungai sepanjang perjalanan kita 
buat membasuh goresan-goresan pedih di tubuhku 
membasuh baumu di seprai 
cermin dan semir rambut. 

2023 


Menemui Ibu 

Aku kembali mencari denyut nadimu 
menemui rumah di mana dulu 
engkau bisikan 
dongeng Nabi Nuh sebelum tidur 
menyisipkan kisah bijak 
sebelum lampu dipadamkan 
dan doamu membuat sejuk ubun-ubunku 

Lantas kini aku takut menjadi Kan'an 
yang mati ditelan bah tanpa pertobatan 

Dengan gemetar 
kuketuk pintumu lagi 
setelah tahun-tahun kekafiran 
menggiringku pada mulut seorang nujum 
membenamkan tubuhku 
di antara ludah-ludah para pendusta. 

Ibu 
seperti kucium wangi surga 
di ambang pintu rumahmu 
terimalah kembali aku 
izinkan merengek pelukan 
meminta setetes sisa wudhu 
di ujung hidungmu 
buat basahi kering ruhku 

2023 


Langit menerima terang lampu-lampu, mengingatkanku pada wajah pelacur selesai berpupur. 


Untuk Bapak 


Setelah kepergianmu aku pun kembali berwudhu 
membersihkan daki-daki waktu di tubuhku 
mencari kembali sisa iman dalam diri 
menyusuri lagi alif ba ta 
dan puluhan tajwid yang terlupa. 


Rindu akan asam kopiahmu 
membawaku kembali menyusun perjalanan 
menuju jalan setapak di mana keringatmu jatuh 
jadi cahaya terang di dalam hutan 
di mana akan kutemui kembali sayup azan 
mengajakku istirah dari resah 
yang tak selesai-selesai. 
 

Bapak 
malam bakal datang dan aku takut 
kangenku pada suaramu 
membuatku lupa 
hari-hari telah lewat 
dan aku ditinggal sendirian 
jauh dari jejak tirakat dan doa-doamu 
tak mengerti lagi di mana arah kiblat 
bagiku bersedekap meluruh penat 
meminta ampun akan tubuh yang lekat dosa 
dan telah lama lupa cara berdoa. 

2023 


Iman 

Bagaimana aku memanggilmu lagi di kota yang riuh ini 
gaung misa di pagi hari telah memisahkan iman juga cinta 
dan kelakar kita. 

Aku menunggu di depan pintu tempat engkau berdoa 
tidak pernah ingin masuk pun tak pernah memintamu keluar. 

Setiap hari tak selesai-selesai kita saling berucap perpisahan 
namun gelap sebelum lelap selalu mengingatkan kita 
pada iman yang jujur 
serta kasih yang abadi. 

2023 


Lampu Kota 

Langit menerima terang lampu-lampu yang dinyalakan 
di gedung-gedung dan pertokoan 
cahayanya yang gemerlap 
mengingatkanku pada wajah pelacur selesai berpupur 
terang namun sayu. 

2023 

 

Baca juga: Puisi-puisi Maria Petrovykh
Baca juga: Puisi-puisi Saras Dewi
Baca juga: Puisi-puisi Fanny Poyk

 

 

 

 


Dien Wijayatiningrum, penulis puisi dan cerita pendek, lahir di Pandeglang, Banten, 31 Desember 1989. Alumnus Kajian Wilayah Jepang, Universitas Indonesia. Karyanya, baik puisi maupun prosa, tersiar di sejumlah surat kabar. Kini, bekerja di Mynavi Corporation Japan. Ilustrasi header: Ernawati Purwaningsih, Gerhana Matahari, 30 x 40 cm, 2023. (SK-1)