RAMADAN adalah bulan istimewa dalam ajaran Islam. Keistimewaannya banyak dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Saking istimewanya Ramadan di mata Allah SWT, mereka yang berbahagia dengan kehadirannya akan diganjar dengan ampunan Allah SWT. Tidak cukup sampai di situ, mereka yang melakukan ibadah puasa tanpa pamrih selain untuk menggapai rida Allah SWT akan diampuni semua dosanya yang telah lalu.
Hakikat puasa adalah menahan diri (al-imsaak). Secara ideal makna puasa tidak sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual di siang hari. Jika puasa hanya sebatas menahan hal-hal tersebut, tentu terlalu ringan bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dan kecukupan harta.
Memang pada kenyataannya, menurut Syekh Nawawi al-Bantani, dua hal yang tergolong berat untuk dikendalikan manusia ialah dua nafsu, yaitu nafsu terhadap makanan dan seksualitas.
Dalam kehidupan masa kini, dua hal yang disinggung mahaguru Ulama Nusantara itu adalah simbol kehidupan materialistik. Krisis pangan dunia akibat perang, misalnya, tak lepas dari nafsu sebagian penghuni planet Bumi terhadap penguasaan komoditas pangan dunia.
Demikian halnya dengan unsur seksualitas, hampir identik dengan problem kemanusiaan modern di mana faktor ini tidak sepi dari dunia pariwisata dan bisnis. Bahkan praktik korupsi pun tidak sepi dari gratifikasi seksual.
Sejalan dengan perkembangan zaman, kriteria nafsu pun mengalami perluasan cakupan. Nafsu tidak terbatas pada dua hal di atas. Ia telah mencakup nafsu harta dan kekuasaan (takhta).
Puasa disyariatkan oleh Islam tidak lain untuk mengendalikan semua nafsu tersebut. Tujuannya seperti disuratkan dalam Surah al-Baqarah ayat 183 agar manusia beriman menjadi SDM tangguh, yakni manusia yang dapat mengendalikan diri. Inilah manusia beriman yang memiliki karakter kuat, dapat mengekang hawa nafsunya.
Ibadah puasa Ramadan hendaknya dijadikan momentum emas untuk melatih pengendalian diri dari sikap merasa paling benar, paling tahu, paling berpengaruh, dan paling didengar.
Selama berpuasa, sikap dan perilaku tercela tersebut harus dikendalikan dengan memaksa diri untuk bersikap belajar mendengar serta berempati terhadap pandangan atau keadaan orang dan kelompok lain.
Sikap ini dapat kita mulai dari tingkatan keluarga, tetangga, tempat kerja, hingga masyarakat luas. Ibadah puasa Ramadan kita, dengan kata lain, meningkat dari tahapan personal menjadi gerakan massal.