Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

When Less is More

Abdul Mu'ti Sekum PP Muhammadiyah
05/4/2023 06:00
When Less is More
Abdul Mu’ti Sekum PP Muhammadiyah(MI/Seno)

PSIKOLOG Jerman, Erich Fromm, dalam buku To Have or To Be (1976, 2013) mengelompokkan manusia menurut sikapnya terhadap kepemilikan materi ke dalam dua kategori: having mood dan being mood.

Having mood ialah kategori manusia yang konsumtif. Ia sangat bernafsu memiliki dan menguasai banyak hal, terutama yang bersifat material. Manusia yang seperti telah dikuasai alam kehidupan materialisme. Ia tidak pernah puas dengan apa pun yang dimiliki.

Ciri lain dari manusia yang having mood ialah perilakunya yang posesif dan eksesif. Mereka ialah para kapitalis yang ingin memiliki dan menguasai segalanya. Karena keinginan itu, mereka menjadi eksesif: berlebih-lebihan, boros, melampaui batas, arogan, dan sifat gila harta yang lainnya.

Walaupun bergelimang harta, mereka tetap saja merasa berkekurangan (needy), rakus dan tamak (greedy). Ketika sedang berkuasa (in power), seorang yang having mood tidak jarang yang menyalahgunakan kekuasaan (mis-use power) dan merusak (abuse power). Demi melanggengkan kekuasaaan dan menumpuk kekayaan, tidak jarang yang melakukan tindak pidana korupsi, kolusi, dan eksploitasi alam semesta.

Fenomena manusia having mood itu bukanlah sesuatu yang baru. Al-Qur’an Surat al-Alaq (96): 6-7 telah menengarai adanya kecenderungan <i>having mood<p> dalam diri manusia: "Sekali-kali tidak! Sungguh manusia itu benar-benar melampaui batas. Apabila melihat dirinya serbacukup."

Berbeda dengan having mood, kategori kedua ialah manusia yang merasa cukup dan menikmati kepemilikan harta dan keadaan yang mereka alami (being mood). Mereka berkeyakinan bahwa harta benda dan materi yang berlimpah tidak akan dibawa mati. Mereka membatasi diri dengan cara hidup sederhana dan memiliki sesuatu ala kadarnya (zuhud, qanaah). Manusia yang being mood senantiasa bersyukur dan berbagi dengan sesama. Inilah orang kaya yang sesungguhnya, tidak berkeluh kesah dengan keadaannya, dan menyisihkan sebagian hartanya bagi untuk yang tidak berpunya (the not have): "Dan orang-orang yang di dalam hartanya disiapkan bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta.'' (QS Al-Maarij: 24-25).

Banyak kerusakan, pertikaian, dan perang terjadi karena manusia tidak mampu mengendalikan diri. Mereka diperbudak oleh nafsu. Karena itu, Allah mensyariatkan ibadah puasa sebagai sarana pendidikan agar manusia tetap berada dalam kemuliaan dengan sifat-sifat yang utama.

Puasa, menurut Imam Syairozi dalam Tafsir al-Amtsal ialah ibadah pendidikan yang memiliki fungsi melembutkan (talthif), menahan diri (taswif), dan meluruskan (ta'dil) jiwa manusia. Puasa mendidik manusia agar bisa menahan diri (imsak) dan mencukupkan diri (al-kaff) terhadap sesuatu. Mereka memilih untuk memiliki sesuatu secukupnya (limit), hidup hemat (less, save) agar mereka bisa berbagi dan menyantuni orang lain.

Dengan cara demikian, harta mereka menjadi berkah dan bertambah (more) karena bermanfaat bagi orang lain. Ketika sedang digdaya (powerful) mereka berusaha memberdayakan (empower) yang lain, bukan menyusahkan dan memiskinkan (<i>empoverished<p>) orang miskin yang hidup susah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Renungan Ramadan
Cahaya Hati
Tafsir Al-Misbah