Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
MASALAH politik uang ternyata kian marak mendekati pemungutan dan penghitungan suara pilkada. Indikasi politik uang pun diduga terjadi di tujuh provinsi yang menyelenggarakan pemilihan.
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Daniel Zuchron menengarai maraknya politik uang di tujuh provinsi tersebut, yaitu Papua Barat, Aceh, Banten, Sulawesi Barat, DKI Jakarta, Kepulauan Bangka Belitung, dan Gorontalo.
Politik uang di DKI dalam bentuk pembagian voucer di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan. Selain itu, berlangsung pembagian sembako di Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu. Di Sulawesi Barat, politik uang dilakukan di Polewali berupa pembagian uang dan sarung.
"Politik uang dengan modus pemberian terhadap pemilih saat menuju tempat pemungutan suara (TPS), mendata pemilih di setiap TPS dengan jumlah tertentu untuk menjadi sasaran yang akan diberi uang atau barang agar mau memilih pasangan calon tertentu," ujar Daniel di Gedung Bawaslu, Jakarta, kemarin.
Terhadap aktivitas politik uang tersebut, Bawaslu telah berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk memantau di lapangan. Bawaslu juga meminta masyarakat untuk melapor disertai bukti-bukti.
Politik uang merupakan bagian dari empat masalah besar yang mengganggu jalannya pilkada. Sisanya terkait dengan surat keterangan dari dinas kependudukan dan pencatatan sipil (disdukcapil), formulir C6 KWK, serta keterlibatan aparat.
Mengenai surat keterangan, hasil pengawasan Bawaslu menemukan jumlah surat yang dikeluarkan disdukcapil pascapenetapan daftar pemilih tetap (DPT) masih belum jelas. Pengawas pemilu tidak mengetahui data nama pemilih yang telah dikeluarkan dan apakah mekanisme distribusi ke pemilih melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau dukcapil.
"Kejelasan ini penting untuk mencegah potensi manipulasi, pemalsuan, dan juga mobilisasi pemilih pengguna surat keterangan ini serta potensi penyalahgunaan lainnya," kata Daniel.
Permasalahan berikutnya terkait dengan formulir C6 KWK. Formulir itu merupakan surat pemberitahuan waktu dan tempat pemungutan suara. Bawaslu menemukan formulir C6 KWK yang tidak tercetak namanya atau C6 KWK yang tercetak ganda yakni seorang pemilih mendapat dua C6.
Selain itu, terdapat petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meminta pemilih untuk menunjukkan KTP-E sebagai syarat penerimaan formulir.
Masalah yang juga menghantui ialah keterlibatan aparat seperti petugas KPPS dan aparatur sipil negara (ASN) yang seharusnya netral. Dari pengawasan di lapangan ditemukan adanya petugas KPPS yang mendistribusikan formulir C6 KWK dengan menggunakan fasilitas tim kampanye pasangan calon tertentu atau ASN yang terlibat kampanye melalui media sosial.
Bawaslu menyebut hanya di dua provinsi yang belum ditemukan kasus ketidaknetralan aparat negara, yaitu di Bangka Belitung dan Gorontalo.
Di DKI sempat ada KPPS di Jakarta Barat yang menjadi tim sukses calon gubernur tertentu, tetapi KPPS itu telah diganti. Di Sulawesi Barat juga terdapat 18 kasus ketidaknetralan ASN dan 7 KPPS yang menjadi tim sukses calon.
Di Jawa Barat, menurut Ketua Bawaslu Jawa Barat Harminus Koto, ada 35 pelanggaran selama kampanye pilkada serentak di daerah tersebut. (Mtvn/X-11)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved