Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
KETUA Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) Abdul Mukti Fajar menyebutkan hakim konstitusi Patrialis Akbar paling sering diperiksa Dewan Etik MK terkait dengan laporan masyarakat.
Berdasarkan penelusuran Media Indonesia di laman MK, Patrialis sudah dua kali dilaporkan ke Dewan Etik. Salah satunya ketika Patrialis menghadiri sidang kasus korupsi mantan Ketua MK Akil Mochtar pada 2014 lalu.
Saat itu, Patrialis beralasan bahwa kehadirannya hanya silaturahim terhadap kawan yang terkena musibah. Patrialis juga pernah dilaporkan menerima suap oleh LSM MK Watch. Namun, pihak pelapor tidak pernah menghadiri pemeriksaan oleh Dewan Etik.
“Beliau paling sering merasa terima kasih karena sering diingatkan oleh kami. Nah, kalau sekarang kena musibah, ya, inna lillahi (wa inna ilaihi) rojiun saja,” ujar Mukti di Gedung MK, Jakarta, kemarin.
Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan dan Peneliti Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar mengaku tidak terkejut dengan penangkapan mantan menteri hukum dan HAM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Erwin menyebut penangkapan mantan anggota DPR Fraksi PAN itu membuktikan sistem seleksi yang buruk sejalan dengan hasil yang buruk. Pasalnya, sudah ada dua hakim yang ditangkap KPK, yakni Akil dan Patrialis, yang pemilihannya oleh pemerintah tidak dilakukan melalui seleksi, tetapi penunjukan langsung.
Desakan mundur
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia CorruptionWatch (ICW) Tama S Langkun mengatakan Ketua MK Arief Hidayat sebaiknya mundur dari jabatannya karena tidak berhasil mengontrol hakim-hakimnya untuk bersih dari korupsi.
“Kita juga mengharapkan, karena sudah dua kali ada hakim konstitusi yang tersangkut korupsi, mungkin ada baiknya Ketua MK mundur dari posisinya. Ini bentuk tanggung jawab dia karena tidak bisa mengontrol hakim-hakim untuk menjaga nilai-nilai antikorupsi,” ujar Tama.
Mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein membenarkan bahwa pada awal Patrialis masuk MK, banyak yang mempertanyakan dan ada pula yang akan menggugat, salah satunya ICW.
Sementara itu, komisioner Komisi Yudisial Farid Wajdi mengaku prihatin dan sangat menyayangkan Patrialis Akbar ditangkap KPK. Menurutnya, integritas profesi hakim kembali tercoreng akibat perbuatan tidak patut yang dilakukan Patrialis.
“Peristiwa ini harus menjadi pelajaran dan masukan evaluasi bagi kita semua mengingat kejadian ini bukan yang pertama. Terdapat hal mendasar yang harus diperbaiki dalam praktik penyelenggaraan peradilan. Kekuasaan yang tanpa kontrol berpotensi untuk menjadi penyelewengan, tidak terkecuali pada ranah yudikatif,” sebutnya.
Ketua Setara Institute Hendardi menilai praktik suap yang diduga ditukar dengan putusan hakim konstitusi memiliki daya rusak lebih serius ketimbang suap biasa. Pasalnya putusan MK bersifat final dan mengikat.
Apalagi, MK bertugas menguji konstitusionalitas sebuah norma dalam UU yang merupakan produk kerja DPR dan presiden. Itu kewenangan yang sangat besar dan memiliki daya ikat luar biasa.
“Putusan MK berlaku bagi semua orang meski sebuah norma UU hanya dipersoalkan oleh satu orang. Putusan MK jika sebuah permohonan judicial review dikabulkan, berarti membatalkan produk kerja anggota DPR dan presiden yang bersifat final and binding (final dan mengikat),” ujarnya. (Nyu/Gol/Put/LD/P-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved