Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
GURU Besar Fakultas Hukum Universitas Borobudur Faisal Santiago yang juga menjadi saksi dari ahli DPR dalam sidang gugatan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI, mengatakan bahwa proses pembentukan UU tersebut sudah sesuai prosedur pembentukan undang-undang.
Faisal menerangkan bahwa UU tersebut sah secara hukum sebab tak ada kekeliruan dalam pembentukan aturan tersebut bagi secara prosedur dan materi.
“Maka jelaslah tidak ada satu pun bukti substantif yang menunjukkan bahwa adanya cacat hukum yang dapat mendelegitimasi undang-undang,” kata dia dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (21/7).
Faisal menilai dalil pemohon yang mengklaim ketidaksesuaian adalah pandangan yang tidak didasarkan pada fakta-fakta sebenarnya dan pandangan komprehensif terhadap norma pembentukan undang-undang.
Menurutnya, proses legislasi UU TNI sudah berjalan sesuai dengan prinsip konstitusional. Selain itu kata dia, UU TNI sudah melibatkan partisipasi publik yang bermakna serta mengedepankan prinsip akuntabel dan transparan.
“Oleh karena itu, dengan segala hormat memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk menyatakan bahwa, permohonan pengajuan formiil yang diajukan oleh para pemohon tidak memiliki dasar hukum yang kuat, UU TNI merupakan UU yang sah karena telah dibentuk dengan akuntabel dan transparan”, jelasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan soal mekanisme pembentukan UU TNI di tengah waktu yang terbatas dengan sistem fast track, termasuk bagaimana pengayaan terkait implementasi partisipasi publik.
“Adakah alat yang bisa kita gunakan untuk menguji waktu ini, apakah dibenarkan atau tidak dibenarkan diletakkan dalam konteks rumitnya isu (RUU TNI) ini. Sebab waktu pembahasan menjadi salah satu isu yang paling banyak menarik perhatian,” jelasnya.
Selain itu, Saldi juga mempertanyakan apakah proses partisipasi publik telah dilakukan secara efektif dan efisien serta melibatkan masyarakat dalam memberikan masukan.
“Saya juga ingin tahu bagaimana logika menjelaskan bahwa waktu yang terbatas itu sudah cukup memenuhi hak partisipasi publik yang bermakna, yaitu right to be heard, right to be considered, dan right to be explained, meskipun tidak ada right to be accepted,” tukasnya.
Ia juga menukil putusan Doctors for Life pada Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan (Afselyang menekankan pentingnya respon memadai dari pembuat undang-undang terhadap masukan masyarakat. Menurutnya, jika tidak ada respon yang memadai, maka dapat dianggap bahwa hak partisipasi publik tidak dipenuhi.
“Saya hanya mau mengajak ahli DPR untuk apa membaca salah satu pertimbangan Hakim Konstitusi Afrika Selatan tersebut ketika memutus uji formil terkait dengan sekumpulan undang-undang tentang kesehatan,” katanya. (Dev/P-3)
Ada kelompok yang dipekerjakan secara khusus untuk mempengaruhi keputusan legislatif dan kebijakan pemerintah dengan cara berinteraksi langsung dengan anggota kongres.
Ironisnya dalam praktik pengesahan UU TNI, proses pembentukannya justru terkesan politis menjadi alat kuasa dari Presiden dan DPR.
Fajri Nursyamsi memaparkan terkait proses legislasi UU TNI yang cacat prosedural dan jauh dari prinsip konstitusional.
Presiden diwakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Supratman membantah dalil para Pemohon yang menyebutkan pembentukan UU TNI Perubahan tidak memenuhi asas keterbukaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved