MELALUI putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 79 angka 1 Undang-Undang (UU) 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).
Melalui pertimbangannya, Mahkamah menilai penghitungan daluwarsa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah setelah seluruh unsur dari perumusan tindak pidana pemalsuan surat terpenuhi.
Baca juga: Presiden Sebut Sisi Politik bukan Alasan Utama Rombak Kabinet
"Yaitu pada hari sesudah barang yang dipalsu tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian. Ketiga unsur dimaksud haruslah dimaknai secara kumulatif," ungkap Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan bunyi putusan nomor 118/PUU-XX /2022 MK di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/1).
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh dua pemohon yakni Juliana Helemaya dan Asril. Suhartoyo lebih lanjut mengatakan, Pasal 263 KUHP merupakan delik sengaja. Baik perbuatan sengaja maupun sengaja sebagai maksud dan tidak ada delik kelalaian (culpa) dalam pemalsuan surat.
"Ketentuan ini pada dasarnya melindungi kepentingan umum yakni kepercayaan warga dalam hubungan masyarakat serta timbulnya kerugian," ujarnya.
Kerugian yang mungkin ditimbulkan sehubungan dengan pemalsuan berdasarkan Pasal 263 KUHP tidak harus kerugian yang bersifat materiil. Melainkan juga apabila kepentingan masyarakat dapat dirugikan. Misalnya penggunaan surat yang dipalsukan tersebut dapat menyulitkan pengusutan suatu perkara.
"Oleh karenanya Pasal 263 KUHP merupakan delik pemalsuan yang secara spesifik sangat penting bagi pergaulan masyarakat dan pidana tambahan yang dapat diterapkan ialah pencabutan hak serta tidak ada pidana perampasan," ujarnya.
Suhartoyo juga menjelaskan bahwa kriteria pemalsuan surat yang dimaksudkan harus ialah surat yang dibuat dengan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat yang seolah-olah asli dan tidak dipalsukan. Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian.
"Tidak hanya untuk yang memalsukan, tetapi yang dihukum juga yang sengaja menggunakan surat palsu, yaitu orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu maka ia tidak dihukum," ujarnya.
Kriteria surat palsu juga sudah dianggap mempergunakan kepetningan misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat di mana surat tersebut diperlukan. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Untuk menghindari adanya ketidakpastian hukum dalam penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP serta guna memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, menurut Mahkamah, terkait dengan penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah pada hari sesudah pemalsuan surat tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian.
“Dengan demikian, adanya penafsiran yang berbeda-beda oleh aparat penegak hukum di dalam mengimplementasikan ketentuan norma Pasal 79 angka 1 KUHP, yang juga sebagian didalilkan oleh para Pemohon dapat dihindari,” ucap Suhartoyo.
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan Pasal 79 angka 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak diketahui, digunakan, dan menimbulkan kerugian. (OL-6)