Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
REKLAMASI Teluk Jakarta, lebih dikenal dengan sebutan reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta, seperti adu kuat antara pemerintah dan swasta. Siapa keluar sebagai pemenang?
Proyek reklamasi menempuh jalan panjang, sangat panjang, sejak digagas pada 1994. Pada 1995, pemerintah pusat memaksakan proyek reklamasi dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang diteken Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995.
Pada 2003, Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta pada 19 Februari 2003.
Namun, SK 14 itu digugat enam perusahaan pengembang yang telah melakukan kerja sama dengan Badan Pengelola Pantai Utara untuk melakukan reklamasi. Perusahaan tersebut ialah PT Bakti Bangun Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, PT Manggala Krida Yudha, PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol dan PT Jakarta Propertindo.
Dalam persidangan di PTUN tingkat pertama dan kedua, majelis hakim mengabulkan gugatan para penggugat. Namun, di tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Menteri Lingkungan Hidup dimenangkan.
Akan tetapi, di tingkat peninjauan kembali, Mahkamah Agung kembali memenangkan para pengusaha. Putusan PK No.12 PK/TUN/2011 menyatakan Keputusan Menteri Nomor 14 tidak berlaku sehingga proyek reklamasi tetap dilanjutkan.
Sampai di sini, pengembang menang atas pemerintah. Pembangunan di kawasan reklamasi pun dilanjutkan. Pemerintah sepertinya tidak mau kalah hingga disepakati moratorium penghentian reklamasi pada 17 April 2016 antara Pemprov DKI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penghentian sepihak
Mestinya, yang namanya moratorium ialah menghentikan sementara, bukan menyetop selamanya. Namun, pemerintah memutuskan membatalkan pembangunan Pulau G di pantai utara Jakarta. Keputusan pembatalan sepihak tersebut diambil dalam Rapat Koordinasi Menteri Koorinator Kemaritiman di Jakarta, Kamis (30/6).
Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan, keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan pelanggaran yang dilakukan pengembang dalam membuat Pulau G. Pengembang Pulau G adalah PT Muara Wisesa Samudra. "Berat pelanggarannya," kata Rizal.
Rizal menuturkan, pelanggaran berat tersebut dilakukan karena pembangunan pulau dilakukan di atas kabel listrik PLN yang berguna untuk penerangan Jakarta.
Pelanggaran berat lainnya juga telah dilakukan pengembang Pulau G saat menutup dan mengganggu akses jalan nelayan.
Lalu, pelanggaran berat lain yang dilakukan pengembang itu adalah, teknis pembangunan pulau yang dinilai pemerintah serampangan dan berpotensi mematikan biota laut.
"Atas pelanggaran itu kami putuskan untuk batalkan reklamasi pulau G seterusnya," kata Rizal.
Keberatan Ahok
Namun, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok merasa keberatan dengan keputusan tersebut. "Ya kalau kami sih tentu keberatan ya. Kenapa (pemberhentian) cuma pulau G?" kata Basuki, di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (1/7).
Menurut Basuki, kerusakan lingkungan akibat reklamasi paling banyak disebabkan oleh pulau C dan D. Sedangkan, lanjut dia, pengembang pulau G, PT Muara Wisesa Samudra yang juga anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk itu telah menyepakati perjanjian kerja sama dengan PGN dan PLN. Sehingga, Ahok yakin PLN tidak akan mempermasalahkan pembangunan pulau di atas kabel.
Penjelasan Ahok dibantah Deputi IV bidang Koordinasi SDM, Iptek dan Maritim Kemenko Maritim dan Sumber Daya Safri Burhanuddin. Dia mengatakan PT PLN (persero) sendiri yang memberikan surat resmi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.
PLN, kata dia di Jakarta, Sabtu (2/7), meminta proyek reklamasi tersebut ditinjau ulang karena akan berdampak pada pengurangan kapasitas listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Muara Angke ke sistem distribusi Jakarta Raya.
"Saat kami sedang proses evaluasi proyek itu, PLN mengirim surat ke Menteri Kelautan dan Perikanan. Mereka kasih surat resmi dengan mengatakan bahaya kalau dilakukan proyek itu. Kalaupun kita tahu PLN punya kerja sama MoU dengan pengembang, tapi kita juga bingung ternyata PLN juga menyurati KKP mengutarakan kegundahan mereka," tutur Safri.
Pertanyaan mendasar ialah apakah keputusan reklamasi hanya berdasarkan sebuah rekomendasi? “Karena sifatnya rekomendasi kami harap Menko Maritim bersama menteri lain sampaikan ke Presiden, yang nantinya bisa mengeluarkan produk hukum atau Perpres," kata Pengacara publik dari LBH Jakarta, Tigor Hutapea, dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (1/7).
Ahok juga berpendapat bahwa menteri tidak bisa membatalkan keputusan presiden (keppres) terkait reklamasi Teluk Jakarta. "Ya, sekarang menteri harus ajuin (rekomendasi) ke Presiden dong. Karena enggak ada Menteri Menko (Maritim) yang bisa membatalkan keppres kan?" kata Basuki, di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (1/7/2016).
Keberatan pengembang
Pengembang pun meradang disebut ugal-ugalan. Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, sebagai induk PT Muara Wisesa Samudera (MWS), pengembang reklamasi Pulau G, Cosmas Batubara, menyatakan bahwa proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta dikerjakan secara profesional. Ia menjamin pengerjaan proyek tersebut sudah mengikuti aturan pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta.
"Kami bekerja secara profesional, kami tidak bekerja ugal-ugalan dan kami memilih kontraktor yang profesional," ujar Cosmas di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Sabtu (2/7).
Dalam mengembangkan pulau tersebut, MWS menggunakan konsultan asal Inggris Royal Haskoning DHV. Kontraktornya menggunakan perusahaan dari Belanda yaitu Van Oord dan Boskalis. Kedua perusahaan tersebut, menurut Cosmas, merupakan perusahaan bertaraf internasional.
Pantas saja jika pengembang meradang karena tidak sedikit dana yang sudah dikucurkan. Siapa yang menanggung kerugian? Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan meminta pemerintah berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait reklamasi agar pemerintah tidak sampai terkesan lepas tangan sehingga merugikan rakyat.
"Jangan ambil kebijakan yang lepas tangan, yang sudah jadi malah disuruh bongkar dan yang belum jadi dizinkan. Pembangunan reklamasi yang sudah jadi itu ada izin dari pemerintah," katanya di Jakarta, Sabtu.
Beban tumpang tindih aturan terkait rekmalasi tidak boleh ditanggung swasta. Apalagi, gagasan reklamasi sudah digulirkan sejak 1994, kenapa baru ribut sekarang seperti kurang kerjaan? Adu kuat Rizal dan Ahok di Pulau G, pada akhirnya yang keluar sebagai pemenangnya ialah Podomoro.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved