MANTAN Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menyebutkan indikasi kecurangan terkait politik uang pada Pemilu 2024 mendatang sangat sulit untuk dihindari. Apalagi dari undang-undang dan aturan yang ada saat ini tidak memungkinkan untuk memeriksa akuntabilitas keuangan peserta pemilu.
“Dari undang-undang yang ada tidak memungkinkan diperiksa lebih detil perihal akuntabilitas keuangan peserta pemilu sehingga tidak mungkin bisa diperiksa jika ada indikasi kecurangan terkait dana kampanye,” ujar Bambang dalam Diskusi Daring Mukhtamar Muhamadyah Ke-48 Surakarta bertajuk “Menyisir Problematika Pemilu 2024: Refleksi dan Aksi”, Kamis (13/10).
Pernyataan ini juga didukung oleh Wakil Ketua LHKP PP Muhamadiyah Ridho Al-Hamdi, yang mengungkapkan penerapan undang-undang perihal politik uang masih belum sempurna diterapkan. Ridho menganggap ini adalah tantangan berat bagi integritas penyelenggaraan pemilu.
“Selama undang-undang belum di revisi dan hukuman terhadap politik uang hanya dibatasi terhadap peserta pemilu, penyelenggara dan tim sukses yang terdaftar maka pihak lain yang bermain diluar tidak akan kena (hukuman),” ujarnya.
Baca juga: Survei Elektabilitas Charta Politika: Ganjar Meroket di Jateng dan Lampung.
Ridho juga menyayangkan hingga saat ini belum adanya undang-undang yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi maupun pelapor kasus politik uang. Selain itu Ridho menyebutkan sentra penegakkan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu) yang terdiri dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian, dan Kejaksaan Agung tergolong masih lemah.
“Apalagi kalau menyinggung Sentra Gakkumdu yang tidak menemukan kata sepakat terkait penindakan pelanggaran termasuk politik uang,” tambahnya. Ridho menceritakan adanya kasus dimana Bawaslu telah menyisir indikasi politik uang namun terjadi ketidaksepakatan internal antara sentra gakkumdu.
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara, King Faisal, menyebutkan peningkatan hukum dalam penyelenggaraan pemilu sangat penting. Apalagi menyangkut problematika massive-nya politik uang dan kurangnya pendidikan politik terhadap masyarakat.
Faisal menyebutkan pemilu seharusnya menjadi ajang pelajaran bagi masyarakat dalam memilih kandidat yang berkomitmen terhadap kepentingan masyarakat. “Agar jualannya peserta politik (kampanye) itu program dan visi misi ketika terpilih dan komitmen peserta pemilu dalam kepentingan masyarakat, sehingga masyarakat tidak terjebak pada politik transaksional atau politik uang,” imbuhnya.(OL-4)