Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
RENCANA pembentukan Dewan Keamanan Nasional (Wankamnas/DKN) terus mengemuka. Kepala Biro Persidangan, Sisfo, dan Pengawasan Internal Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) Brigjen TNI I Gusti Putu Wirejana mengaku sudah mengirim surat dan rancangan Perpres kepada Presiden Joko Widodo terkait perubahan Wantanas menjadi DKN.
Menanggapi itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pun mengkritik rencana pembentukan DKN. Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Teo Reffelsen menilai DKN sebagai gaya baru dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada masa Orde Baru (Orba). Ia menailai keberadaan DKN membahayakan bagi demokrasi Indonesia.
"Pembentukan DKN yang dilakukan terburu-buru dan terkesan tertutup patut dicurigai bahwa pemerintah sedang membentuk wadah represi baru seperti halnya pembentukan Kopkamtib pada masa Orde Baru," papar Teo.
Teo menambahkan pembentukan DKN ini tidak memiliki urgensi karena berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan kerja dan fungsi lembaga negara yang ada. "Saat ini sudah ada lembaga yang melakukan fungsi koordinasi bidang keamanan nasional di bawah Kemenkopolhukam," tegasnya.
"Dalam memberikan nasihat kepada Presiden juga telah ada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) serta Kantor Staf Presiden (KSP)," tambahnya.
Namun, Jika pemerintah tetap bersikeras membentuk DKN, kata Teo, maka fungsi lembaga tersebut harus dibatasi dengan hanya memberikan pertimbangan kepada Presiden. Ia juga beranggapan pembentukan DKN terkesan dilakukan terburu-buru. Hal itu menimbulkan kecurigaan jika pemerintah sedang membentuk wadah represi baru seperti pembentukan Kopkamtib pada masa Orde Baru.
Teo menjelaskan agenda pembentukan DKN merupakan agenda lama yang sebelumnya dimasukkan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional (Kamnas). Namun, Teo mengatakan pembahasan RUU Kamnas mendapat penolakan masyarakat sipil, sehingga gagal disahkan. Maka, DKN pun gagal dibentuk. "Saat ini pembentukan DKN akan dilakukan melalui peraturan presiden (perpres) setelah dulu gagal melalui RUU Kamnas," ujar Teo.
Sementara itu, peneliti Imparsial Hussein Ahmad menilai tak ada urgensi pemerintah untuk membentuk DKN. Menurut Hussein, keberadaan DKN akan menimbulkan tumpang-tindih dengan kerja dan fungsi lembaga yang ada di bawah Kemenkopolhukam.
Apalagi, kata Hussein, saat ini sudah ada Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhannas, Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres, serta Kantor Staf Presiden atau KSP. "Jika pemerintah tetap bersikeras membentuk DKN, maka fungsi lembaga tersebut harus dibatasi hanya untuk memberikan pertimbangan atau nasihat kepada Presiden,” paparnya.
Ia juga menyoroti fungsi DKN yaitu melakukan fungsi pengendalian penanganan krisis nasional, serta pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan penanganan krisis nasional. Hussein menilai hal ini membuat DKN punya kewenangan yang sangat luas yang dapat mengontrol kondisi stabilitas keamanan yang potensial berdampak pada hak asasi manusia (HAM).
"Fungsi kelembagaan pengendali seperti dewan keamanan nasional ini serupa, tetapi tak sama dengan Kopkamtib, seperti pada masa Orde Baru dan ini berbahaya bagi kondisi HAM,” pungkasnya.
Terpisah, peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie menyebut jika mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, maka pemerintah seharusnya membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN), bukan Dewan Keamanan Nasional. Dengan begitu, kebijakan tersebut akan sesuai dengan bunyi Pasal 15 UU Pertahanan Negara.
"Pembentukan DKN yang dilakukan terburu-buru dan terkesan tertutup patut dicurigai bahwa pemerintah sedang membentuk wadah represi baru," tandasnya. (OL-15)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved