Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
PEMBUBARAN sejumlah organisasi yang dikategorkan radikal oleh pemerintah tidak serta merta mematikan faham tersebut di Indonesia. Sebaliknya, pemerintah kini justru harus lebih waspada.
Pasalnya para anggota organisasi tersebut kini berkamuflase dengan bergabung dengan organisasi lain. Hal tersebut diungkapkan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid dalam sebuah acara bincang-bincang, Jumat (26/3).
Baca juga: Kapolri Ajak Pemuda Masjid Lawan Radikalisme dan Intoleransi
Ahmad menerangkan, terorisme tidak bisa lepas dari radikalisme. "Jika terorisme itu hilirnya, radikalisme itu merupakan hulunya. Artinya, semua teroris itu berpaham radikal, tapi tidak semua radikalisme akan jadi teroris," ujarnya.
Di sisi lain, lanjut dia, radikalisme itu muncul juga karena politisasi agama. “Seperti FPI. Framingnya adalah antipemerintahan. Padahal ini adalah gerakan politik yang memframing agama, atau bisa dikatakan manipulator agama.”
Selain politisasi agama, Ahmad juga menyampaikan, radikalisme dipicu sikap intoleransi, kemiskinan dan kebodohan, pemahaman agama yang tidak benar, ketidakadilan sosial, ketidakpuasan politik, hingga rasa benci dan dendam. “Bahkan karakteristik kaum radikal terlihat dari sikap intoleransi, ekslusif, klaim kebenaran, merasa dizolimi, hingga playing fictim.”
Ahmad menilai paham radikalisme menjadi musuh agama dan negara. Pada satu sisi, gerakan radikalisme merusak agama karena bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai beragama. Sementara sisi lain, menjadi ancaman negara karena menginginkan perubahan secara inkonstitusional.
Ia pun setuju, jika FPI dikategorikan sebagai organisasi radikal. Hal itu sesuai dengan pengertian radikalisme yang merupakan suatu paham yang mengingingkan perubahan tatanan politik sosial yang sudah mapan dengan cara ekstrem atau kekerasan.
“Ideologi FPI sangat jelas. Bahkan Habib Rizieq jelas-jelas mendukung gerakan the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Selain itu, beberapa oknum FPI pernah ditangkap Densus 88 terkait kasus terorisme,” jelas Ahmad.
Senada, mantan Komandan NII yang juga pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan menilai pembubaran FPI secara organisasi tidak cukup. Apalagi dia melihat, ideologi FPI yang radikal masih bisa hidup di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu pemerintah tetap harus mewaspadai faham radikalisme. Ia melihat saat ini seperti ada kebangkitan gerakan FPI. Dia merujuk pernyataan Munarman yang mengaku siap membela Demokrat pimpinan AHY. Lewat pernytaan nampak bahwa Munarman tengah mencari dukungan untuk menghidupan lagi FPI.
"Dari situ bisa menjadi titik awal untuk mengeluarkan kekuatan. Karena pemerintahan sebelum Presiden Joko Widodo cenderung menerima FPI,” ujar Ken. (Ant/A-1)
PAKAR terorisme Solahudin menyebut Indonesia saat ini berada di era terbaik dalam penanganan terorisme berkat strategi kolaboratif antara soft approach dan hard approach.
Pencegahan tidak hanya dilakukan dari sisi keamanan tapi juga harus bisa memanfaatkan teknologi IT
Gubernur Khofifah dan BNPT RI berkomitmen tanamkan moderasi beragama sejak dini di sekolah untuk cegah radikalisme. Jatim perkuat sinergi pusat-daerah.
BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Komisi XIII DPR RI terus memperkuat upaya pencegahan radikalisme dan terorisme.
EKS narapidana terorisme (napiter) Haris Amir Falah mengungkapkan desa sering menjadi sasaran utama kelompok radikal dalam merekrut anggota baru.
Saat ini kita harus mendukung kebijakan pemerintah dalam memperkuat langkah strategis mengatasi radikalisme.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved