Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Layanan OTT Berbeda dengan Penyiaran Publik

Ind/P-5
27/8/2020 06:04
Layanan OTT Berbeda dengan Penyiaran Publik
Dirjen Penyelenggara Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, Ahmad M. Ramli(Dok.kominfo)

PENYIARAN menggunakan multimedia jaringan internet atau over the top (OTT) dinilai berbeda dengan lembaga penyiaran publik, seperti televisi dan radio. Karena itu, perlakuan dan aturan perundangan yang mengatur harus dibedakan.

Perbedaan itu ditegaskan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Infomatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ahmad M Ramli dalam sidang lanjutan pengujian materiil Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.

Layanan OTT di kanal media sosial, menurutnya, tidak bisa dikategorikan bagian penyiaran. Pasalnya karakteristik utama layanan OTT audio visual diakses melalui jaringan internet. Sebaliknya, siaran televisi atau radio diterima serentak melalui perangkat teknologi penyiaran.

“Memperhatikan jenis-jenis OTT yang beragam dan luas maka pengaturannya cukup kompleks dan saat ini belum dapat diakomodasi dalam satu aturan saja. Oleh karena itu, pengaturannya merujuk pada undang-undang (UU) sesuai dengan jenis layanannya, sebagai contoh UU Telekomunikasi, UU ITE, UU Pers, UU Pornografi, UU Hak Cipta,” papar Ahmad kepada Majelis Hakim MK yang diketuai Anwar Usman dengan anggota Enny Nurbaningsih dan Saldi Isra.

Pasal 1 angka 2 UU No 32/2002 digugat David Fernando Audy selaku Direktur Utama PT Media Nusantara Citra Tbk dan Rafael Utomo selaku Direktur PT Visi Citra Mitra Mulia, dan Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur PT Rajawali Citra Televisi. Mereka menilai OTT tidak terikat UU Penyiaran dan diperlakukan berbeda dengan media penyiaran lain.

Pemerintah menilai pemohon keliru apabila menyeragamkan layanan audiovisual OTT sebagai bagian dari penyiaran.

“Itu justru menimbulkan makna keliru terhadap definisi penyiaran,” ucap Ahmad.

Permintaan pemohon agar UU Penyiaran mengklasifikasikan OTT sebagai bagian dari penyiaran dapat menimbulkan permasalahan hukum mengingat penyiaran sudah diatur sangat ke- tat dan rigid dalam satu regulasi UU Penyiaran. Sementara itu, layanan OTT di Indonesia masih tumbuh dan berkembang. Jika diatur terlalu ketat, imbuhnya, pertumbuhan ekonomi kreatif dan ekonomi digital nasional dapat terhambat.

Hakim Saldi mempertanyakan langkah pemerintah menjawab keresahan pemohon karena layanan OTT tidak bisa diatur pemerintah.

Saat menanggapi pertanyaan itu, Dirjen PPI menjelaskan UU Penyiaran baru tidak mengatur layanan OTT, tapi lebih banyak berisi beleid peralihan lembaga penyiaran dari analog ke digital. (Ind/P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya