Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Upaya Hukum Setelah DKPP Bisa Dilakukan

Indriyani Astuti
01/8/2020 16:30
Upaya Hukum Setelah DKPP Bisa Dilakukan
Evi Novida Ginting(Dok. MI/Rommy Pujianto )

KEPUTUSAN Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas pemberhentian Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2019-2022 Evi Novida Ginting Manik dianggap belum memenuhi azas keadilan, sehingga dapat dilakukan upaya hukum lanjutan.

Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Faisal Akbar Nasution menjelaskan DKPP merupakan semacam kohesi peradilan atau semi pengadilan. Oleh karena itu, hukum acaranya berbeda dengan hukum acara pada peradilan umum.

"Seandainya putusan semi pengadilan tidak mencerminkan rasa keadilan, masyarakat dapat mencari keadilan lainnya. Kemana lagi kalau tidak ke pengadilan sesungguhnya? Maka itu (putusan DKPP) bisa dilakukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)," tuturnya ketika dihubungi di Jakarta, pada Sabtu (1/8).

Faisal menyampaikan putusan DKPP bersifat final dan mengikat bagi penyelenggara pemilu dan presiden sebagai lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP. Meski keputusan itu final, kata Faisal, karena DKPP bukan peradilan murni, maka tidak ada lagi upaya hukum untuk itu.  Tetapi, ia menekankan dalam perkara pemberhentian Evi Novida, presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan surat Keputusan Presiden yang intinya memberhentikan Evi sebagai Komisioner KPU atas dasar putusan DKPP. Evi pun menggugatnya ke PTUN.

"Putusan DKPP tidak bisa langsung berkekuatan hukum kepada orang yang diambil. Oleh karena itu harus ada penguatan lagi melalui Keputusan Presiden (Keppres). Dari sana (objek) sudah beralih dari putusan DKPP menjadi keputusan TUN, maka dalam administrasi negara itu bisa menjadi objek sengketa TUN," papar Faisal.

Faisal juga menilai ada cacat hukum atas putusan pemberhentian Evi oleh DKPP. Itu disebabkan pemeriksaan terhadap Evi tidak dilakukan. Padahal, dalam pasal 48 Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu disebutkan DKPP melakukan putusan setelah melakukan penelitian dan atau verifikasi terhadap pengaduan, mendengar pembela, dan keterangan saksi setelah mempertimbangkan bukti lainnya.

"Dalam konteks seperti ini patut dipertanyakan ketika mereka melaksanakan persidangan apakah Komisoner KPU yang diperiksa semua hadir. Evi diberhentikan tidak terhormat, tapi tidak didengarkan keterangan dirinya. Ini tidak bisa kecuali dalam peradilan in abtentia yang mana hakim bisa bersidang walaupun pihak berperkara tidak hadir di persidangan," terangnya. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya