1 Februari 2020
RIWAYAT Provinsi Aceh yang terletak di ujung Pulau Sumatra tidak terlepas dari sejarah panjang melawan penjajah. Kegigihan masyarakatnya dalam mempertahankan Tanah Air termuat dalam lembaran perjuangan bangsa.
Semangat putra Aceh sangat dipengaruhi budaya dan tradisi setempat. Tidak dimungkiri konflik berkepanjangan di Aceh sempat menghambat kemajuan. Sejumlah problematika muncul, mulai pendidikan hingga tradisi dan budaya yang kian dilupakan generasi penerus Serambi Mekah.
Baca juga: Berbenah Menuju Aceh Sejahtera
Politikus Partai NasDem sekaligus penggagas Kenduri Kebangsaan Teuku Taufiqulhadi mengajak masyarakat Aceh membangkitkan kearifan lokal. Ia menjelaskan, masyarakat Aceh menginterpretasikan diri mereka dengan sebuah pribahasa, adat bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.
"Adat itu yang diciptakan Sultan Iskandar Muda sebagai jati diri orang Aceh. Hukum mengenai syariat yang dijalankan di Aceh sebagai rujukan dari ulama Aceh yang termasyur Syekh Abdurrauf As-singkil atau lebih dikenal Syiah Kuala," terang pria yang akrab disapa Taufiq, di Jakarta, Kamis (30/1).
Baca juga: Bangkitkan Ekonomi dan Pendidikan Aceh lewat Kenduri Kebangsaan
Kemudian qanun merupakan regulasi yang digagas Putroe Phang, istri Sultan Iskandar Muda. Adapun reusam merupakan tradisi yang berlaku sehari-sehari yang tidak terkait dengan hukum.
"Apabila seorang lebih paham tentang reusam, adabnya semakin mulia. Begitu juga tradisi memuliakan tamu dan menyambut tamu dengan Ranup," sebutnya.
Sosiolog Humam Hamid mengatakan tradisi dan budaya dapat berubah atau tergerus, tergantung pada daya tahan dan adaptasinya. Tugas semua pihak untuk memastikan mana yang bisa bertahan.
"Ini melihat bagaimana respons kreatif, masyatakat Islam juga merespons perkembangan zaman dengan berbagai cara," ucapnya.
Salah seorang tokoh dan seniman asal Aceh, Rafly Kande, bertekad kembali memopulerkan lagu Ranup. Ia menjelaskan lirik lagu itu menggambarkan masyarakat Aceh yang dilahirkan dalam titisan darah penuh kepedulian.
"Gaseh meugase, bila meubila, itu artinya ada kasih sayang dan tolong-menolong, ini menjadi semangat membangun Aceh yang sangat monumental pada zaman kegemilangan," sebut anggota DPR RI dari Fraksi PKS tersebut.
Rafly akan turut serta dalam Kenduri Kebudayaan yang digelar di Bireuen Aceh pada 22 Februari. Dia berharap agenda itu menjadi momentum kebangkitan masyarakat Aceh dalam berbagai sektor. Terlebih, tokoh Aceh Surya Paloh menjadi sosok inspiratif dalam merangkul semua lapisan masyarakat. (Fer/P-2)