Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SETARA Insitute menyebut selama 12 tahun terakhir pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan tertinggi di Jawa Barat (Jabar). Salahsatu faktornya, karena tingginya politik identitas di Bumi Pasundan itu.
"Politik identitas keagamaan itu tinggi politisasinya di Jabar," kata Direktur Riset Setara Insitute Halili di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, (24/11).
Faktor lainnya yakni adanya aktor kunci yang menyebabkan adanya pelanggaran kebebasan beragama.
Halili menduga adanya kecendrungan konservatif Islam di Jabar. Kemudian adanya partai nasionalis yang turut memproduksi perda bernuansa syariah.
"Jika dibandingkan dengan Perda Syariah oleh kelompok nasionalis dan ini fenomena unik dan enggak terjadi di tempat lain membuat Jabar menjadi logis tertinggi kebebasan beragama," ujar Halili.
Baca juga: Medsos Buat Intoleransi Menyebar ke Pelosok Desa
Halili menjelaskan, temuan itu hasil riset Setara yang dilakukan sejak 2007. Angka intoleransi selalu tinggi dimulai sejak saat itu.
"Kami melakukan penelitian itu ada kalo secara metodologis ada kombinasi mix, ada metode campuran antara kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatifnya kami melakukan kasus 1, 2, 3, 4, 5 dan identifikasi. Tapi kami juga lakukan kualitatif dengan cara monitoring," ujar Halili.
Hasil survei Setara juga menyebutkan, Jabar selama 12 tahun menempati urutan pertama sebagai provinsi intoleransi. Posisi tak berubah dalam lima tahun terakhir dan masih menempati urutan pertama sebanyak 162 peristiwa. Kemudian 113 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama di DKI Jakarta, Jawa Timur sebanyak 98 peristiwa, Jawa Tengah sejumlah 66 peristiwa, dan Aceh sebanyak 65 peristiwa. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebanyak 37 peristiwa, Banten 36 peristiwa, Sumatra Utara 28 peristiwa, Sulawesi Selatan 27 peristiwa, dan Sumatra Barat 23 peristiwa. (OL-8)
FPHW secara tegas menolak berkembangnya organisasi masyarakat yang teridentifikasi dan menganut paham intoleransi, radikalisme dan terorisme.
DKI Jakarta menduduki peringkat kedua untuk perisitiwa intoleran dalam kurun 12 tahun terakhir di belakang Jawa Barat.
Athoilah mengatakan pembangunan musala itu sudah memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2016.
Mantan staf Basuki Tjahaja Purnama ini menegaskan, sikapnya tak akan berubah jika kasus serupa terjadi pada agama lain.
Dalam menjalankan misi untuk merekrut para generasi muda, kelompok radikal ini sering kali memanipulasi, mendistorsi, dan memolitisasi agama.
Ujaran kebencian sejatinya juga menjadi pintu masuk perilaku radikal dan terorisme yang telah terbukti merusak dan menghancurkan kehidupan dan peradaban manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved