Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
NEGARA diminta hadir untuk melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan yang belakangan ini melemah karena maraknya aksi intoleransi.
Dalam kaitan itu, Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyampaikan dua desakan kepada pemerintah. Pertama, agar pemerintah segera mencabut atau merevisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional ataupun lokal yang membatasi hak atas kebebasan beragama.
"Kami mendesak pemerintah segera mencabut atau merevisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun lokal yang membatasi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan," terang Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri saat temu pewarta, di kantor Imparsial Jakarta, kemarin, dalam momentum peringatan Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November.
Menurut Gufron, problem muncul antara lain karena peraturan perundang-undangan lebih berat menekankan pada pembatasan kemerdekaan beragama, seperti Undang-Undang No 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama, SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, PBM 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah, dan perda yang membatasi kemerdekaan beragama kelompok minoritas.
Desekan kedua, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku intoleran guna mencegah aksi intoleransi terulang lagi. "Mendorong penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap para pelaku intoleran untuk mencegah potensi keberulangan aksi-aksi intoleransi," tambah Gufron.
Menurut Gufron, Hari Toleransi Internasional memiliki makna penting terhadap kondisi kekinian, yakni melawan semakin berkembangnya praktik intoleransi keagamaan terutama yang menyasar kelompok minoritas. Praktik intoleransi tidak hanya merintangi penikmatan hak asasi dan kebebasan sebagai dasar bagi perlindungan keberagaman, tetapi juga menggerus sendi pendirian negara Indonesia.
Koordinator Program Imparsial Ardimanto Adiputra memaparkan dalam kurun waktu setahun terakhir terdapat 31 kasus intoleransi atau pelanggaran terhadap kebebasaan beragama dan berkeyakinan yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia.
Jenis kasus intoleransi itu juga beragam, mulai pelarangan terhadap pendirian rumah atau tempat ibadah, hingga penolakan untuk bertetangga terhadap yang tidak seagama.
Di kesempatan yang sama, peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar meminta pemerintah tidak menggunakan cara yang tidak toleran sebagai upaya menindak pelaku intoleransi. Ia mencontohkan wacana melarang penggunaan celana cingkrang dan cadar di kalangan aparatur sipil negara (ASN).
"Orang bercelana cingkrang itu belum tentu sama dengan orang tidak toleran," tegasnya. (Zuq/P-2)
GUBERNUR Jawa Barat Dedi Mulyadi menekankan pentingnya pemulihan harmoni sosial di tengah masyarakat Cidahu, Sukabumi, setelah insiden perusakan rumah yang diduga dijadikan tempat ibadah.
Tidak hanya karena secara geografis wilayahnya berbukit-bukit dengan ketinggian 760 meter di atas permukaan laut (mdpl), tetapi juga karena desa itu tak ubahnya Indonesia mini dengan beragam agama.
BUPATI Intan Jaya, Papua Tengah, Aner Maisini mengungkapkan Hari Raya Idul Adha merupakan momen untuk memperkuat solidaritas dan toleransi umat beragama.
"Setiap ada hari besar keagamaan, warga tanpa memandang keyakinan dan namanya berkumpul, saling pengucapan selamat," jelas Kepala Dusun Thekelan Agus Supriyo.
Dialog antaragama merupakan sarana yang sangat penting bagi mahasiswa untuk meningkatkan daya kritis, membangun hubungan antaragama yang baik dan bermakna.
Toleransi, katanya, adalah kata yang paling sering terdengar tapi terkadang bisa berbalik menjadi penyebab tindakan-tindakan intoleran.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved