Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Negara tidak Pernah Alergi terhadap Kritik

Ferdian Ananda Majni
09/3/2019 08:55
Negara tidak Pernah Alergi terhadap Kritik
(MI/ROMMY PUJIANTO)

NEGARA memberikan tempat seluas-luasnya bagi siapa pun untuk bereks-presi. Namun, kebebasan berekspresi jangan sampai melanggar undang-undang apalagi sampai membuat situasi nasional menjadi keruh dan memicu konflik baru. "Kalau sifatnya kritik membangun, Presiden sangat terbuka, Kantor Staf Kepresidenan (KSP) juga membuka seluas-luasnya. Silakan ngomong apa saja kita dengarkan. Tidak ada kita alergi dan membatasi cara berekspresi," kata Kepala KSP Moeldoko di kantornya, Jakarta, kemarin.

Saat disinggung soal penetapan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Robertus Robert sebagai tersangka karena melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Rabu (6/3), Moeldoko mengatakan itu merupakan we-wenang aparat kepolisian.

"Tapi, terhadap apa yang pada akhirnya mengarah pada tindakan melawan hukum itu di luar domain kami. Itu sepenuhnya domain tugas kepolisian. Kami tidak bisa ikut campur," tambah Moeldoko yang juga mantan panglima TNI tersebut.

Baca Juga: Panglima TNI: Perangi Separatisme di Papua Bisa dengan Baksos

Untuk diketahui, Robertus dituduh merendahkan institusi TNI dalam aksi Kamisan di depan Istana Merdeka pada 28 Februari 2019. Saat itu, ia melakukan orasi yang menolak wacana kebangkitan kembali dwifungsi TNI di Indonesia sembari menyanyikan lagu plesetan Mars ABRI.

Robert dikenakan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 UU ITE karena dinilai telah menyebarkan konten yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Namun, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu tidak ditahan. Robertus langsung dibebaskan penyidik Polri pada Rabu (6/3). Lebih jauh Moeldoko berharap jangan ada pihak yang mencari gara-gara dengan TNI. Jangan pula mencari po-pularitas melawan TNI.

"TNI milik kita semua. Dulu boleh TNI diposisikan musuh bersama. Itu 1998 saya masih ingat, tapi sekarang jangan, kita hidup berdampingan dengan baik, kritik boleh tapi jangan merusak psikologi prajurit," imbuhnya.

Antek Orba

Politikus Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menduga pelapor Robertus Robet masih berhubungan dengan Orde Baru dan memiliki pola pikir seperti militer Orde Baru.Ace menilai pelapor ingin mewujudkan negara otoriter dengan mencampuradukkan urusan politik dengan militer. "Mereka punya paradigma hubungan sipil dan militer. Dan (berpikiran) semua harus dikuasi militer. Saya kira itu paradigma negara otoriter," kata Ace kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.

Di sisi lain, politikus PDI Perjuangan Charles Honoris berharap semua pihak bisa melihat kasus yang menim-pa Robertus secara objektif dalam kerangka menjaga nilai-nilai demokrasi. "Jangan ada yang mengait-ngaitkan dengan politik praktis atau pilpres," ucap Charles.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengakui kebebasan berpendapat di muka umum dijamin Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.

Namun, kebebasan berekspresi itu tidak bersifat mutlak dan harus mematuhi rambu-rambu lainnya seperti tidak boleh mengumbar kebencian. "Undang-undang itu tak berlaku absolut, tapi memberikan batasan. Ada batasan yang harus sama-sama ditaati seluruh warga negara," kata Dedi. (MTVN/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : PKL
Berita Lainnya