WNA Pemilik KTP-e Tidak Punya Hak Pilih

Golda Eksa
02/3/2019 17:47
 WNA Pemilik KTP-e Tidak Punya Hak Pilih
(MI/Pius Erlangga)

PENYELENGGARA pesta demokrasi dan parpol harus memastikan bahwa kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), saksi peserta pemilu, dan petugas pengawas TPS, merupakan orang terlatih yang memiliki kemampuan teknis serta menguasai tata cara pemungutan suara.

Pada hari H seluruh petugas tersebut juga wajib melakukan verifikasi terhadap status pemilih, terutama masyarakat dengan kategori daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb), dan daftar pemilih khusus (DPK).

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengemukakan hal itu disela-sela diskusi E-KTP, WNA, dan Kita, di Jakarta, Sabtu (2/3). Hadir pula sebagai pembicara, Sekretaris Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri I Gede Suratha, pakar hukum tata negara Juanda, Firman Subagyo selaku anggota TKN Jokowi-Amin, dan Ahmad Fatul Bari dari BPN Prabowo-Sandi.

Petugas nantinya akan memberikan penjelasan secara detail, serta bersama masyarakat mencermati seluruh data pemilih di TPS masing-masing. Apalagi saat ini semua pihak juga bisa mengakses nama-nama pemilih di wilayahnya. Langkah itu dinilai dapat mencegah munculnya pelanggaran.

"Selain itu, pihak-pihak yang berkepentingan dan punya otoritas, seperti Ditjen Dukcapil Kemendagri, KPU, dan Bawaslu harus cepat menjelaskan dan menyosialisasikan dengan masif soal keberadaan KTP elektronik WNA yang berbeda dengan KTP elektronik WNI. Penekanannya ialah WNA pemegang kartu identitas itu tidak boleh dan tidak bisa memilih di pemilu," kata Titi.

Di sisi lain, sambung dia, untuk mengantisipasi munculnya polemik mengenai WNA pemilik KTP-e, seperti kasus di Jawa Barat, diharapkan Kemendagri bersama KPU dan Bawaslu segera melakukan pertemuan membahas persoalan. Ketiga instansi itu harus memastikan WNA pemilik KTP-e tidak masuk dalam DPT.

I Gede Suratha menambahkan pemberian KTP-e bagi WNA diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Syaratnya ialah memiliki surat ijin tinggal tetap. Sebelum KTP-e dicetak, berkas itu diverifikasi, direkam, dan diperiksa kembali agar tidak ada duplikasi data.

"Kita harus yakin semua bahwa KTP-e bagi orang asing itu memang diwajibkan oleh UU. Jadi bukan ujug-ujug kita memberikan KTP elektronik bagi orang asing. Kemudian, tidak ada satu NIK (nomor induk kependudukan) pun yang dikeluarkan oleh sistem administrasi kependudukan bisa dimiliki dua orang," terang dia.

Menyikapi adanya polemik WNA punya KTP-e, Kementerian Dalam Negeri akhirnya memutuskan untuk sementara menghentikan proses pencetakan hingga pesta demokrasi usai. "Itu untuk menurunkan tensi politik. Kita pastikan WNA tidak punya hak pilih walaupun dia punya KTP elektronik. Karena itu jelas dalam UU Pemilu."

Senada disampaikan Firman Subagyo. Menurutnya, kemelut KTP-e memiliki kelemahan dari sisi sistem. Konsekuensinya ialah dilakukan perbaikan terhadap sistem tersebut, serta perlu penambahan sekuriti sistem yang lebih canggih.

"Regulasi terhadap masalah aturan-aturan yang masih lemah mari kita sempurnakan untuk mengejar agar pemilu itu benar-benar bisa jujur dan adil," ujar dia.

BPN Prabowo-Sandi, imbuh Ahmad Fatul Bari, menyarankan agar pemerintah secepatnya mengambil langkah antisipatif. KPU dan Bawaslu juga harus melakukan sosialisasi yang lebih baik tentang aturan dan tata cara pemungutan suara. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya