Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
KOALISI Nasional Organisasi Disabilitas menilai kebijakan Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan pendaftaran terhadap pemilih dengan disabilitas mental merupakan langkah yang tepat. Itu sejalan dengan tuntutan organisasi disabilitas yang bertahun-tahun telah disuarakan kepada panitia penyelenggara pesta demokrasi dan pihak terkait lainnya.
Kebijakan KPU Nomor 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/XI/2018, itu juga sebagai bentuk nyata dari realisasi jaminan hak politik yang setara bagi setiap WNI. Kebijakan tersebut pun sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti disela diskusi Hak Politik dan Menghapus Stigma Negatif Terhadap Penyandang Disabilitas Mental, di Media Center Bawaslu RI, Jakarta, Sabtu (24/11), menegaskan kebijakan pendaftaran penyandang disabilitas mental sebagai pemilih dalam Pemilu 2019 harus diteruskan.
"Serta perlu ditambah dengan upaya-upaya lainnya yang dapat mendukung penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak memilihnya dengan sebaik-baiknya, seperti dukungan psikologis, sosial, dan pengobatan, sosialisasi, dan edukasi mengenai hak politik serta pengetahuan mengenai kepemiluan," katanya.
Yeni yang tergabung dalam Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas untuk Implementasi UU Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, mengemukakan orang dengan gangguan kejiwaan adalah bagian dari kelompok masyarakat penyandang disabilitas. Artinya, mereka harus mendapatkan jaminan penuh atas hak-haknya, seperti hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan politik, termasuk untuk didaftarkan sebagai pemilih dalam pesta demokrasi.
Menurut dia, ada 5 argumentasi yang mendasari mengapa penyandang disabilitas mental harus dilindungi hak politik, khususnya hak memilihnya oleh negara. Pertama, secara filosofis, penyandang disabilitas mental adalah manusia yang memiliki hak asasi yang setara sejak dia dilahirkan.
Kedua, secara yuridis, penyandang disabilitas mental merupakan WNI yang memiliki hak konstitusional yang sama sehingga wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Ketiga, secara medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan.
Keempat, secara sosiologis, perkembangan masyarakat Indonesia pascapengesahan UU Penyandang Disabilitas sudah menuju kepada pembentukan lingkungan yang inklusif, seperti pelbagai kegiatan yang sudah melibatkan penyandang disabilitas. Kelima, secara historis, pelarangan hak memilih pada penyandang disabilitas tidak sesuai dengan perkembangan HAM secara internasional.
Berdasarkan seluruh argumentasi itu, sambung Wakil Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Mahmud Fasa, koalisi mendukung kebijakan pendaftaran pemilih penyandang disabiIitas mental oleh KPU untuk pemilu 2019. Kelompok kerja koalisi juga mendorong KPU untuk membentuk kebijakan tambahan yang mendukung penyandang disabilitas mental agar ikut menggunakan hak pilihnya.
"Kebijakan tambahan itu bisa berupa koordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah untuk memberikan dukungan dan fasilitas yang dibutuhkan. Tujuannya agar para penyandang disabilitas mental yang didaftar dapat menggunakan hak memilihnya pada saat hari pencoblosan," kata Mahmud.
Selain itu, imbuh dia, kebijakan tambahan tersebut sebaiknya berisi penegasan bahwa tidak menggunakan surat keterangan dokter sebagai syarat bagi siapapun pemilih untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk penyandang disabilitas mental.
"Perlu pula melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tim sukses para calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu 2019, internal KPU, KPUD, dan penyelenggara pemilu lainnya terkait dengan hak politik penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas mental," tandasnya. (OL-4)
Surat dari DPP PDIP dibutuhkan untuk menyelesaikan perbedaan tafsir terkait penetapan caleg yang sudah meninggal pada Pamilu 2019. Dia juga menjelaskan surat balasan dari MA.
Yasonna keluar dari Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 16.45 WIB. Jalur pulang dia berbeda dengan saksi lainnya.
Sidang akan digelar pada hari Senin (24/2) pukul 13.30 WIB di Kantor Bawaslu Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan.
Selain itu, Jokowi mengatakan, NasDem selalu konsisten mendukung dirinya saat bersama Jusuf Kalla maupun kini dengan KH Ma'ruf Amin.
Revisi UU Pemilu perlu disegerakan agar penyelenggara pemilu mempunyai waktu yang cukup dalam melakukan proses sosialisasi dan tahapan Pemilu 2024.
Peserta sekolah legislatif akan mendapatkan berbagai materi pelajaran tentang kedewanan sebanyak 40%, kepartaian 30%, dan pembangunan karakter 30%
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved