Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kembalikan Keunggulan RI sebagai Bangsa Bahari

Nurul Hidayah
22/7/2018 10:30
Kembalikan Keunggulan RI sebagai Bangsa Bahari
(Setpres/Krishadiyanto)

LAUT telah lama menjadi ruang hidup masyarakat Indonesia.Kekuatan bangsa Indonesia secara luas telah diakui ada pada kekuatan bahari yang dimilikinya. Wakil Ketua DPD RI, Nono Sampono, menegaskan hal itu saat pelaksanaan focus group discussion (FGD) bertema Membangun budaya nasional berbasis bahari di Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (21/7).

"Kehancuran kerajaan-kerajaan di Nusantara dahulu karena singgasana sang raja berpaling dari laut," ungkap Nono.

Adanya sejumlah rekayasa menyebabkan kerajaan-kerajaan di Jawa akhirnya masuk ke pedalaman. Laut pun akhirnya dipenuhi dengan mitos sehingga masyarakat enggan untuk mendekati laut.

Padahal, lanjut Nono, laut justru ruang hidup kita. Laut itu masa depan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Melalui laut, kebudayaan bisa dibangun. Namun, melalui laut pula kebudayaan asli suatu bangsa justru bisa mengalami kehancuran.

Ditambahkan Nono, Indonesia memiliki dua hal penting dalam sejarah peradaban manusia dan dunia, yaitu posisi strategisnya secara geopolitik yang menyebabkan Indonesia menjadi persilangan berbagai kepentingan internasional, dan memiliki sumber daya alam luar biasa.

"Makanya Indonesia sangat seksi, menjadi rebutan kepentingan internasional," ungkap Nono.

Karena itu, bangsa Indonesia menurut Nono, harus mengambil inisiatif sebagai poros. "Sebagai kekuatan, bukan kita yang dipengaruhi, tapi justru kita yang harus memengaruhi."

Terlebih pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah mencanangkan dan membangun visi dan misi Indonesia sebagai negara poros maritim dunia. Indonesia ialah benua maritim laut yang ditaburi pulau-pulau. "Budaya maritim ini harus benar-benar kita sadari," ungkap Nono.

Dalam kesempatan yang sama, Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat mengungkapkan jika budaya bahari merupakan budaya kerja keras, budaya gotong royong. "Budaya yang terbuka menerima masukan dengan toleransi yang sangat tinggi," ungkap Arief yang juga ketua Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN).

Keterbukaan ini, menurut Arief, sudah terlihat lebih dari 600 tahun lalu, saat kapal-kapal dagang dari India, Tiongkok, Persia, Malaka, dan bangsa lain singgah di sejumlah pelabuhan pesisir Indonesia. Ini bisa dibuktikan, lanjut Arief, dengan adanya 400 titik kapal karam di Indonesia, termasuk di Cirebon.

Dari jumlah tersebut, baru 2 titik yang diangkat pada 2009. Kondisi itu, kata Arief, membuktikan bangsa Indonesia sejak dahulu merupakan bangsa yang terbuka terhadap bangsa lain. Kini, Arief menilai, budaya bahari tersebut perlahan mulai luntur dan punah.

"Ini bisa dilihat dari banyaknya hoaks, adu domba, penipuan yang merusak tradisi peradaban bangsa Indonesia. Karena itu, kearifan lokal, kearifan bangsa ini sebagai bangsa bahari bisa diangkat kembali sehingga menjadi kekuatan untuk bangsa dan negara," ungkap Arief.

Sejarawan Anhar Gonggong, cendekiawan Azyumardi Azra, dan Guru Besar Ilmu Sejarah UGM, Bambang Purwanto, mengemukakan pandangan senada.

Anhar melihat kerajaan-kerajaan besar itu umumnya berada di pinggir sungai atau laut, termasuk beberapa kerajaan di Indonesia. Karena itu, bangsa ini menurut Anhar, harus bangkit dan memperbaiki kesalahan yang beranggapan jika laut merupakan pemisah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya