Headline
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
Pendidikan kedokteran Indonesia harus beradaptasi dengan dinamika zaman.
SEBAGIAN besar masyarakat Indonesia merupakan muslim yang religius. Namun, dalam pilihan politik, religiositas itu ditanggalkan menjadi sekuler.
Kepala Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Kuskridho Ambardi menyampaikan hal itu saat peluncuran buku Voting Behavior in Indonesia since Democratization dan Piety and Public Opinion Understanding Indonesian Islam di Perpustakaan Nasional, Jakarta, kemarin.
“Kita lihat bagaimana kecilnya perolehan partai-partai berbasis Islam sejak Pemilu 1955. Ini pada dasarnya pemilih kita rasional,” ujarnya.
Kuskridho merupakan salah satu penulis buku tersebut bersama pendiri Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saiful Mujani serta peneliti politik Indonesia asal Universitas Ohio, Amerika Serikat, William Liddle.
Buku itu berisi perilaku pemilih Indonesia sejak Pemilu Presiden 1999 sampai 2014.
Kuskridho menambahkan, pemilih muslim sesungguhnya bersifat rasional.
Buku tersebut, tandasnya, membuktikan bahwa di tengah maraknya politik emosional, sesungguhnya masyarakat juga bisa rasional jika partai memiliki program yang sesuai dengan keinginan mereka.
Namun, Kuskridho tidak hendak mendikotomikan bahwa mereka yang taat semestinya irasional. “Buku ini berbicara rasionalitas bisa memenangkan elektoral jika ada program partau yang menginspirasi mereka,” tandasnya.
Politik identitas
Cendekiawan Azyumardi Azra yang turut hadir dalam acara itu mengatakan, setelah proses transisi relatif lancar dan damai menuju demokrasi sejak 1999, Indonesia membuktikan demokrasi tidak hanya kompatibel dengan Islam, tetapi juga dapat diselenggarakan dengan berkeadaban.
Gejala lain yang juga menumbuhkan harapan bagi konsolidasi demokrasi lebih sehat ialah pemilih kian rasional. Misalnya saat pilkada, menurutnya, pemilih muslim di beberapa daerah lebih memilih pasangan calon atas rekam jejak keberhasilan daripada kesetiaan ideologis.
Hal itu menunjukkan politik identitas tidak punya masa depan di Indonesia. “Kalau konteks pilkada DKI Jakarta, saya melihat itu kasus menarik. Orang sebetulnya tidak melihat identitas Ahok, tetapi personanya yang ceplas-ceplos dan kasar. Demikian pula di Sumut, bukan karena agama, melainkan identitas Djarot yang orang Jawa,” jelasnya.
Sementara itu, Saiful menilai rasionalitas pemilih terbukti dalam sejarah pemilu nasional. Ketika identitas agama sama, kesalehan calon pemimpin ternyata tidak menjadi pertimbangan pemilih muslim. Hal itu terbukti pada dalam sejarah pilpres. “Hamzah Haz yang lebih religius tidak bisa mengalahkan Megawati. Demikian pula Jusuf Kalla ternyata bisa dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono,” tandasnya.
Pendapat senada dikatakan Liddle. Menurutnya, karakteristik pemilih Indonesia tidak banyak berubah dalam 20 tahun terakhir. “Orang Indonesia sudah mampu sekali untuk menciptakan demokrasinya sendiri. Saat ini ada kecenderungan negara-negara maju menggunakan politik indentitas seperti di Amerika dan Prancis, di Indonesia faktor populisme cenderung tidak banyak mendapatkan tempat.” (X-10)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved