Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
KETUA Setara Hendardi mendesak pemerintah mencabut semua peraturan yang bertentangan dengan konstitusi, termasuk Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di DIY.
Hendardi mengatakan hal itu terkait putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta yang menolak gugatan atas Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di DIY.
Putusan ini dibacakan majelis hakim yang diketuai Cokro Hendro Mukti dengan hakim anggota Nuryanto dan Sri Harsiwi dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta pada Selasa (20/2).
Menurut Hendardi, jika mengacu pada amar putusan dimaksud, sebenarnya alasan hakim bukan pada aspek materiil larangan kepemilikan tanah, melainkan pada aspek formilnya, dimana instruksi wakil gubernur bukanlah regulasi yang bisa diuji normanya dengan UU. “Bahkan instruksi tersebut juga bukan objek regulasi yang bisa diuji ke peradilan umum. Jadi penolakan lebih disebabkan aspek formil,” tukasnya.
Hendardi menjelaskan, jika mengacu pada perluasan makna warga negara yang terdapat dalam UUD 1945, semestinya penyelenggara negara melakukan harmonisasi regulasi dan kebijakan bahwa definisi warga negara tidak lagi mengacu pada asal-usul etnis pri dan nonpri, melainkan pada status administratif apakah seseorang memang memilih menjadi warga negara Indonesia atau sebaliknya.
“Perspektif keadilan seperti berlaku di Yogya memang dimungkinkan karena faktor keistimewaan Yogyakarta. Tetapi jika keistimewaan itu bertentangan dengan UUD dan perspektif keadilan universal juga diperkokoh oleh bunyi Pasal 21(1) UU Pokok Agraria, dimana semua warga negara berhak atas kepemilikan tanah, maka Pemerintah Istimewa Yogyakarta mesti menyesuaikannya, kata Hendardi.
Menurut Hendardi, kekhawatiran akan timbulnya kesenjangan dan pentingnya perlindungan bagi si miskin, sebenarnya bukan terletak pada pembatasan pri dan nonpri atas tanah, melainkan kesungguhan dan keterampilan mengadministrasi keadilan sosial, bagaimana ia bisa dinikmati semua orang. Apalagi faktanya, kata dia, elite pribumi pun juga memiliki potensi serakah yang sama, yang bisa menimbulkan kesenjagan atas kepemilikan tanah.
“Isu kepemilikan tanah personal ini bukanlah menjadi tantangan serius pemerintah secara umum di Indonesia. Kesenjangan dan penguasaan sumber daya tanah dan bumi itu justru muncul karena pembatasan penguasaan tanah bagi korporasi yang tanpa batas, meski filosofi pembatasan itu dianut oleh UU Pokok Agraria tetapi Pemerintah Pusat melanggarnya melalui regulasi-regulasi teknis. Itulah sumber ketidakadilan yang sebenarnya,” kata Hendardi.
Bunyi Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975, “Guna Penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kepada seorang WNI nonpribumi, dengan ini diminta: Apabila ada seorang WNI nonpribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan/melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk medapatkan suatu hak.”
Menurut pendapat majelis hakim, berdasarkan fakta yang diperoleh di persidangan, kebijakan tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik karena bertujuan melindungi kepentingan umum, yakni masyarakat ekonomi lemah.
Handoko, penggugat, menjelaskan dasar dari gugatannya tersebut adalah karena Instruksi yang terbit pada 5 Maret 1975 tersebut melawan hukum karena melanggar Instruksi Presiden 26/1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Selain itu, menurut Handoko, kebijakan itu juga bertentangan dengan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi "Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik". (RO/X-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved