Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PERHIMPUNAN Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menilai substansi pasal per pasal dari PerPPU No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan justru berbanding terbalik dengan tujuan penerbitan Perppu tersebut.
Ketua PBHI Totok Yulianto mengatakan, sebelumnya pemerintah berdalih bahwa Perppu Ormas itu bertujuan untuk memberantas gerakan ormas berupa intoleransi berbasis SARA, makar, hingga aksi teror. "Tetapi substansinya justru bertolak belakang dengan tujuan tersebut," kata Totok dalam siaran pers, Jumat (14/7).
Dari kacamata kebijakan ketatanegaraan dan konstitusi, lanjutnya, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi syarat yang dimandatkan lewat Putusan Mahkamah Konstitusi No 38/PUU-VII/2009.
Pertama, tidak ada urgensi atau kebutuhan yang teramat mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, tidak terjadi kekosongan hukum karena sudah banyak undang-undang yang memadai terkait gerakan ormas berupa intoleransi berbasis SARA, makar, hingga aksi teror.
"Yang ketiga tidak terjadi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan prosedur standar legislasi, karena sudah ada UU Ormas No 17/2013," sebutnya.
Totok melanjutkan, paling tidak ada dua aspek kritis yang 'diinjak-injak' oleh Perppu Ormas. Pertama¸ terkait nilai-nilai demokrasi yang merupakan mandat reformasi 1998. "Demokrasi inilah yang menempatkan pemisahan kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) secara tegas dengan prinsip yang mengedepankan hukum."
Dalam konteks Perppu Ormas ini, menurut Totok, kekuasaan eksekutif seolah menguat secara absolut dengan menegasikan porsi kekuasaan politik lain. "Tentu ini bertentangan dengan semangat reformasi yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan menolak absolutisme eksekutif yang mengarah pada otoritarian seperti rezim Orde Baru," tegasnya.
Yang kedua, catat PBHI, alih-alih melindungi warga negara, Perppu justru mengancam hak asasi manusia terkait kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berekspresi yang merupakan hak konstitusional yang dijamin Pasal 28 E UUD 1945.
"Misalnya, Pasal 82A Perppu Ormas yang mengatur tentang ancaman sanksi pidana kepada siapa pun yang menjadi pengurus dan/atau anggota ormas baik langsung maupun tidak langsung yang melakukan tindakan permusuhan berbasis SARA," Totok memberi contoh.
Perppu Ormas juga dinilai melanggar hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 E dan 29 (2) UUD 1945, dengan adanya ketentuan penistaan agama dengan ancaman minimal pidana 5 tahun penjara.
"Padahal tidak pernah ada sebelumnya, dan sudah terlalu eksesif pemidanaannya lewat pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965," tukasnya.
Karena itu PBHI menyatakan menolak dengan tegas Perppu Ormas karena kontra reformasi dan melanggar hak asasi. Organisasi itu juga mendesak DPR untuk menolak Perppu Ormas dan tidak mengesahkannya. (X-12)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved