KEGADUHAN politik di DPR seakan tak kunjung selesai. Bahkan, kegaduhan dipredisksi bakal semakin kencang terjadi pada masa persidangan dewan di awal tahun ini. Hal itu tentu saja akan berimbas pada kinerja anggota dewan, terutama dalam hal pemenuhan tiga fungsi utama DPR, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Perseteruan yang memanas di penghujung 2015 yang berkenaan dengan pergantian Ketua DPR pascalengsernya Setya Novanto bakal kembali membara di masa sidang yang mulai dibuka hari ini.
Perpecahan partai politik yang tak kunjung usai pun menjadi penyebabnya. Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih belum menyelesaikan konflik internal mereka dan tentu saja itu berimbas kepada anggota fraksi kedua partai di parlemen.
Peta konstelasi politik yang bisa berubah setiap waktu pun akan tetap mewarnai dinamika di DPR. Partai Amanat Nasional (PAN) yang sebelumnya berada di luar pemerintahan kini telah beralih mendukung Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bahkan, kabarnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar pun akan mengikuti jejak PAN.
Kegaduhan pun akan muncul kembali seputar anggaran DPR yang tidak diperuntukkan kepentingan publik, tetapi lebih pada kepentingan rumah tangga DPR sendiri. Masalah anggaran DPR yang dinilai tidak masuk akal pun kembali mencuat.
Jika para wakil rakyat tidak berkaca pada perjalanan kinerja mereka setahun belakangan ini yang penuh dengan kegaduhan, tidak mengherankan bila hal serupa akan terulang pada 2016. Padahal, publik sangat berharap kinerja anggota dewan bisa lebih baik daripada tahun sebelumnya.
Permasalahan serupa yang terus berulang tentu saja tidak elok untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Di awal masa sidang sebelumnya, masyarakat disuguhi perebutan kursi pimpinan DPR, baik dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) maupun Koalisi Merah Putih (KMP). Perebutan kursi tersebut melahirkan pimpinan DPR tandingan dari kubu KIH.
Setelah itu, polemik lainnya bermunculan, mulai soal anggaran DPR terkait dana aspirasi, anggaran pakan ternak, pengharum ruangan, kenaikan tunjangan, pembangunan gedung DPR, hingga pengadaan polisi parlemen.
Tidak hanya itu, masyarakat pun dikejutkan dengan tingkah pimpinan DPR yang melanggar kode etik terkait peristiwa <>Trumpgate, yaitu Setya Novanto dan Fadli Zon turut hadir dalam acara konferensi pers Donald Trump yang merupakan bakal calon Presiden Amerika Serikat. Masyarakat mengecam Ketua DPR yang mengklaim masyarakat Indonesia menyukai Trump.
Persoalan itu belum reda, tapi sudah muncul kegaduhan baru akibat ulah Ketua DPR yang terseret dalam kasus 'papa minta saham'. Setya Novanto dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena diduga melanggar kode etik dewan. Novanto ditudah mencatut nama Jokowi-JK dan meminta saham terkait perpanjangan kontrak PT Freeport.
Sepanjang setahun terakhir, masyarakat disuguhi berbagai kegaduhan akibat ulah para wakil rakyat.
Sebagai lembaga politik, DPR boleh saja gaduh asalkan berkaitan dengan diskursus dan polemik untuk kepentingan rakyat yang mereka wakili, bukan untuk kepentingan kelompok atau pribadi.
Untuk itu, kita mengingatkan anggota dewan bahwa awal tahun baru ini bisa menjadi momentum perbaikan lembaga legislatif demi mengembalikan kepercayaan publik yang kian tergerus seiring dengan perjalanan waktu.
Bila ingin berubah, tidak ada pilihan lain bagi anggota dewan selain lebih mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi dan kelompok. Publik tidak ingin melihat para wakil rakyat dari waktu ke waktu terperosok di lubang yang sama.(P-3)